Senin, 12 November 2007

Apakah Ini Juga LoA?

Pada suatu hari, hatta, menurut cerita ibu mertua saya, puluhan tahun silam ketika berangkat dan pulang mengajar Beliau selalu melewati sebuah rumah.

"Rumah itu indah, cekli, tidak besar tapi sangat serasi. Bangunan dengan halamannya pas skalanya. Dan yang membuat saya kagum adalah pagarnya yang pancak suji," cerita Beliau kepada anaknya (sekarang jadi istri saya). Pancak suji adalah desain pagar yang saat itu memang jadi tren setter. Ibu mertua ingin sekali memiliki pagar seperti itu. Tiap hari pagi dan siang, kalau lewat di depan rumah itu, Beliau selalu berkata dalam hati, suatu saat kalau membangun rumah pagarnya harus pancak suji.

Dan ternyata benar. Beberapa tahun kemudian ketika cita-citanya membangun rumah kesampaian, pagarnya memang pancak suji.

Lain lagi dengan cerita Ibu saya.

Di dekat rumah orang tua saya ada sebuah rumah. Saya tidak tahu persis siapa pemiliknya. "Rumah itu pagarnya aneh. Masak pagar kok warnanya seperti itu," kata Ibu kepada saya puluhan tahun yang lalu. Pagar yang dimaksud Ibu saya adalah pagar yang warnanya kuning ndesit. Kalau bahasa gaul sekarang, kuning katro. Dari jarak 300 meter warna itu mampu membuat mata kita 'silau'. "Aku kok sebel dengan warna itu," komentar Beliau lagi.

Sayangnya, atau apesnya, tiap belanja sayur Ibu saya selalu melewati rumah dengan pagar katro itu. Jadi Beliau tidak bisa menghindar dari si 'kuning ndesit'. "Jadi panjenangan tiap hari sebel dong," goda saya. Beliau hanya tersenyum saja.

Ternyata, ketika keluarga kami akhirnya mampu merenovasi rumah tercinta, 'keajaiban' terjadi. Pagar rumah kami yang baru warnanya... kuning katro.

"Lho, warna pagarnya kok kuning, persis dengan rumah tetangga itu?" tanya kakak saya. Ibu saya juga heran kok warnanya bisa sama. Padahal yang memilih warna juga ibu saya. Orang bilang sih kualat. "Makanya kalau benci jangan benci-benci amat. Jadinya malah kepikiran terus," kami coba menggoda Ibu.

Ketika saya dan istri memulai hidup baru di Jakarta, tepatnya di Kranggan, Bekasi Selatan, kami punya tetangga dengan dua anak laki-laki yang masih kecil. Tiap hari kami selalu mendengar tangisan anak itu. Kadang tangisan itu disebabkan karena mereka berantem, atau jatuh, bisa juga karena kena marah ibunya.

"Tetangga sebelah itu kasihan ya, punya anak kok umurnya deketan banget. Jadinya kan repot." Kami sering membicarakan insiden yang sering terjadi di rumah sebelah. "Harusnya kalau punya anak jaraknya yang ideal dong," gumam kami lagi. Kami sering menggoda mereka kalau anaknya ada yang menangis. Tetangga sering hanya tersenyum saja kalau kami godain. Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka.

Ternyata ketika kami punya anak, jarak antara anak pertama dan kedua hanya 16 bulan. "Nha, sekarang rasain, repot lagi repot lagi," goda tetangga sebelah ketika melihat betapa kami cukup kelabakan menangani duo laki-laki kami. "Makanya kalau punya anak jangan deket-deket amat." Kali ini mereka punya 'amunisi' yang siap ditembakkan sewaktu-waktu.

Tidak berhenti di sini saja. Ternyata istri saya masih melahirkan lagi duo laki-laki lagi sebelum kami meninggalkan Kranggan. Ternyata kami lebih repot dibanding dengan tetangga sebelah.

Kali ini ada dua tetangga yang sering menggoda. Tetangga depan rumah punya dua anak laki-laki. Tetangga sebelah juga dua anak laki-laki. Mereka sering kompak 'bernyanyi' kalau melihat kami repot dengan empat 'pasukan'. Istri saya sering menjawab, "Paling-paling nanti sampeyan juga nggak kalah repot kalau punya anak lagi." "Kami sudah nggak ingin punya anak lagi tuh," jawab mereka sambil tertawa, hahaha...

Ajaib nggak ya. Dua tetangga kami ternyata, akhirnya, sama-sama 'menambah' dua anak lagi. Jadilah mereka masing-masing punya empat anak. Jadi lah tiga keluarga ini punya selusin anak: 11 laki-laki 1 perempuan.

Kami pun akhirnya pindah ke Bekasi. Di kompleks yang baru kami tentu saja mendapat sedikit perhatian.

Kami membawa 4 anak laki-laki. Tetangga sebelah baru satu anak laki-laki. Kedatangan kami ternyata menambah sedikit keramaian. Mereka sering mendengar saya atau istri saya yang repot menangani kalau 'pasukan' ini sedang 'berperang'. "Kasihan ibu sebelah. Tiap hari suaranya terdengar dari sini," katanya kepada pembantu kami. "Gimana nggak repot. Anaknya empat laki semua," tambahnya. Kami pun sering digoda.

"Ah, paling-paling nanti sampeyan juga banyak anak," kami tidak mau kalah kalau mendapat 'serangan' tetangga sebelah.

Apa yang terjadi sekarang... ?

Tetangga sebelah 'baru' punya 3 anak, semua laki-laki. Apa yang dulu kami alami: suara keras, tangisan, 'perang saudara', semua terdengar dari rumah kami. "Sekarang skornya satu-satu ya bu," goda istri saya kepada ibu sebelah. Dia hanya mesem-mesem saja...

1 komentar:

  1. Iya pak, sepertinya LoA bekerja dibawah sadar kita. Secara tidak sadar Panca indra merekam. Seperti mata Ibu mertua Bapak yang merekam pagar kuning itu dalam pikiran entah karena suka atau ngga suka, seperti telinga tetangga bapak yang mungkin juga merekam dalam pikiran kelak akan punya anak lagi menggenapi 4.

    Semua itu terekam dalam alam pikir, mungkin ini yang kita bilang sugesti, atau kalau kebagian apes kita bilang kualat.

    Salam sukses,
    Eka
    http://www.pernik-unikdiary.blogspot.com

    BalasHapus