Sabtu, 08 Desember 2007

Ternyata Batik Tidak Dipatenkan Malaysia


Acara Survey Interaktif Padamu Negeri pada Kamis jam 20.00 minggu lalu di MetroTV ternyata membuka wawasan saya.

Acara yang dipandu oleh Miing Bagito menampilkan Dirjen Haki dan seorang ahli Hukum sebagai panelis. Sedangkan pesertanya yang saya ingat adalah mahasiswa, Komunitas Wastraprema, dan dua kelompok lagi saya lupa dari mana. Termasuk dalam Komunitas Wastraprema adalah Iwan Tirta, sang maestro Batik Indonesia.

Wastraprema sendiri adalah Himpunan Pecinta Kain Adati Indonesia.

Acara ini sebenarnya ingin menyoroti bagaimana peran Pemerintah bersama masyarakat dalam menjaga kekayaan khazanah budaya bangsa. Jadi tidak hanya terpaku pada masalah batik saja. Maka yang dihadirkan sebagai panelis adalah Dirjen Haki yang tugasnya menjaga gawang kekayaan intelektual putra Bangsa.

Yang cukup menarik adalah ternyata pembicaraan didominasi dan muter-muter pada soal perbatikan. Maklum saja, mungkin batik merupakan kasus nyata bagaimana kekayaan asli kita yang sudah ratusan tahun dipelihara tiba-tiba diklaim sebagai hasil karya Malaysia. Malaysia adalah negeri yang sebenarnya tidak kreatif tapi pintar mengelola SDM-nya. Sedangkan kita sebaliknya.

"Paten itu meyangkut penemuan teknologi baru. Adapun batik bukan teknologi baru. Maka batik tidak bisa dipatenkan," kata Dirjen Haki. Pendapat ini dibenarkan oleh doktor hukum yang malam itu juga jadi panelis. "Paten itu hanya menyangkut penemuan teknologi baru," kata pakar hukum yang juga dosen di UI ini.

"Kalau mas Iwan Tirta menciptakan motif batik, dan dia ingin karyanya tidak dibajak orang lain, maka yang bisa dilakukan adalah mendaftarkan Hak Cipta-nya ke Haki, bukan mematenkan karyanya," tambah pak Dirjen. Jadi hanya satu motif itu yang tidak boleh ditiru/dibajak orang lain.

Ketika saya masih belum mudheng dengan penjelasan Dirjen Haki, seorang pengurus Wastraprema memberi penjelasan:

"Selama ini telah terjadi salah faham soal batik. Begini lho persoalannya, ada satu perusahaan di Malaysia. Perusahaan ini mendapat order untuk membuat motif tertentu sesuai pesanan klien. Klien ingin motif yang dibuat adalah motif batik. Maka dibuatlah motif batik ini. Nah, supaya motif ini tidak dibajak perusahaan lain, sang pembuat mendaftarkan hak cipta-nya ke World Intellectual Property Rights Organization (WIPO) . Jadi hanya motif tertentu itu saja yang didaftarkan, bukan dipatenkan."

Saya sangat lega dengan duduk persoalan kasus batik ini. Motif batik jumlahnya bisa jutaan motif. Mungkin 99% diciptakan oleh orang Indonesia. Tadinya saya mengira hanya Malaysia yang berhak memakai kata batik di dunia ini....

Lalu bagaimana dengan Rasa Sayange, Reog, Rendang, Sate, dan lain-lain?

"Malaysia itu cuma nekat saja mengatakan bahwa itu berasal dari budaya mereka. Mereka cuma main nyali. Toh kita tidak punya database yang bisa diakses dunia bahwa semua itu berasal dari Indonesia..." kata Miing.

Jadi semuanya memang berpulang pada kita sendiri, diri sendiri. Bisa nggak kita menjaga kekayaan budaya Indonesia...?

2 komentar:

  1. Salam dari Malaysia,

    Saudara Muhmamad Abduh,

    Memang diaku bahawa motif batik atau apa-apa rekacipta fikiran yang diekpressikan dalam bentuk karya seperti lukisan, lirik lagu, penulisan buku hatta program komputer sekalipun adalah dilindungi oleh undang-undang hakcipta. Masalahnya sekarang, walaupun ada undang-undang, bagaimanakah caranya ianya boleh dikuatkuasakan secara efektif untuk melindungi kepentingan pemilik hakcipta?

    Sebagai contoh sekiranya karya saudara diciplak/ ditiru oleh orang Malaysia, pada hemat saya, pemilik karya tersebut sendiri yang terpaksa mengambil tindakan undang-undang di Malaysia untuk menguatkuasakan haknya. Kosnya sangat tinggi untuk mengambil peguam (sarjana hukum) untuk mengambil & menguruskan tuntutan saudara.

    Saya kira situasi yang sama juga akan terpakai sekiranya hasil karya warga Malaysia diciplak oleh orang negara lain.

    BalasHapus
  2. selamat sore...........

    sebenarnya untuk soal batik ini dan unsur budaya-budaya warisan nenek moyang kita (Indonesia) harus sudah mulai di database kan untuk dicarikan perlindungan HKI-nya.

    kasus serupa juga terjadi pada pematenan tempe. tempe merupakan makanan khas masyarakat Indonesia, dimana sudah diproduksi bertahun-tahun oleh bangsa Indonesia dengan menggunakan cara tradisional.
    nah....beberapa minggu atau bulan lalu mungkin juga tahun, kita mengetahui kalo ternyata tempe dipatenkan oleh bangsa lain, anatara lain amerika serikat dan jepang. namun hal tersebut tidak berarti tempe sebagai identitas makanan khas Indonesia jatuh ke tangan mereka. dua negara itu hanya mematenkan teknologi pengolahan kedelai sehingga dapat didapatkan produk makanan tempe.
    dua negara itu mempunyai lebih dari 1 paten untuk proses pembuatan tempe, sedangkan kita, Indonesia hanya memiliki satu paten untuk tempe. itu yang seharusnya kita malu, kenapa tidak ada inovasi dari para ilmuwan kita untuk pengolahan tempe...........

    ikut nimbrung

    BalasHapus