Kamis, 27 September 2007

Mletik


Sekali lagi, saya kesulitan menemukan padanan yang pas untuk Mletik. Kalau dalam kartun ada yang pas sekali untuk menggambarkan mletik ini. Mletik digambarkan dengan seseorang yang di atas kepalanya ada gambar lampunya, mak cling...

Secara garis besar mletik berarti munculnya ide kreatif karena adanya masalah yang dihadapi. Ternyata menjelang Lebaran ini banyak sekali masalah yang dihadapi masyarakat. Baik masyarakat yang bermaksud mudik maupun masyarakat yang memutuskan untuk tidak ke kampung halaman. Semua punya problem tahunan yang sulit dihindari. Masalah yang terjadi terus menerus setahun sekali.

Bagi yang memutuskan untuk silaturahim di kampung halaman pada Lebaran ini, masalah pertama yang muncul adalah rumah yang ditinggalkan. Rumah yang kosong tentu saja menjadi rawan. Kalau hanya bangunan rumah tentu saja tidak perlu dikhawatirkan. Tidak mungkin rumah bisa pindah ke tempat lain. Tapi bagaimana dengan kendaraan, home theatre, laptop, bahkan hewan peliharaan?

Di Cijantung ada yang mletik dengan membuka tempat penitipan kucing, anjing, dan hewan peliharaan lain selama mereka ditinggal tuannya ke kampung. Tempat penitipan hewan ini cukup profesional. Dijamin hewan Anda dirawat dengan sangat baik karena di tempat penitipan ini disediakan juga dokter hewan yang selalu stand by. Biaya penitipan bervariasi antara 30.000 sampai 150.000. Cukup murah kalau diukur dengan ketenangan batin Anda meninggalkan mereka.

Bagaimana dengan mobil dan kendaraan lain? Saya cukup salut dengan kesigapan Bapak-bapak di Polres Jakarta Barat. Mereka menyiapkan tempat untuk penitipan mobil selama ditinggal pemiliknya mudik. Anda tidak perlu khawatir karena banyak polisi yang jaga di sana :)

Bagaimana kalau Anda tidak sempat membeli oleh-oleh atau kelaparan di jalan? Jangan cemas, di sepanjang pantura, di sekitar Brebes bakal bertebaran bangunan-bangunan dari gedhek (anyaman bambu) yang hanya ada pas musim mudik. Mereka menjual telur asin kualitas bagus. Sang penjual mengaku selama musim mudik mereka bisa menghabiskan 1000-an telur per hari. Luar biasa. Untuk keperluan jualan telur mereka berani "inves" membangun "rumah" di pinggir jalan yang menghabiskan jutaan rupiah. Kalau musim Lebaran habis, bangunan itu pun juga habis, dibongkar.

Sekarang bagaimana dengan yang Lebaran di Jakarta. Mereka kehilangan pembantu karena semua ikut mudik merayakan Lebaran di kampung. Lebaran di kampung ini lah ajang untuk memanusiawikan diri. Mereka juga manusia, punya hati, pingin dihargai.

Bagi yang ditinggal pembantu, ada biro jasa yang khusus menyediakan pembantu saat Lebaran. Tentu saja pembantu khusus ini upahnya lebih tinggi dari pembantu reguler. Maklum, mereka sudah berkorban waktu berharga demi untuk bisa menyejahterakan keluarga.

Sebenarnya masih banyak masalah yang dihadapi berkaitan dengan Lebaran ini. Misalnya banyaknya restoran yang tutup, sedikitnya penjual sayur yang aktif, belum adanya penitipan rumah, dan sebagainya.

Memang, banyak masalah yang dihadapi masyarakat. Kalau kita berusaha untuk memberi solusi masalah yang dihadapi orang lain, ide bisnis sebenarnya tidak akan pernah mati...

Rabu, 26 September 2007

Pondok Sepuh


"Tiap produk itu pasti ada konsumennya," kata Garin Nugroho. Apa pun yang kita buat sebenarnya pasti bisa dijual, adalah kalimat lain dari pernyataan Garin. Tapi apakah benar begitu?

Garin sudah membuktikan, apa pun yang dibuat pasti bisa dijual. Karena bisa dijual itu lah dia tidak mau membuat film yang asal-asalan, ikut arus, apalagi ikut-ikutan acara yang katanya punya rating tinggi. Padahal kita tidak tahu bahwa rating yang dibikin itu rating beneran atau bo'ongan. Kalau pun rating itu bo'ongan kan kita tidak tahu, wong tidak bisa diaudit. Alhasil kita dari dulu terus-terusan jadi bulan-bulanan dan dibohongi terus menerus. Celakanya, penyelenggara acara menikmati saja kalau mereka sebenarnya sangat mungkin dibohongi... :(

Sebaliknya, pada sekelompok komunitas tertentu pasti membutuhkan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Kebutuhan bagi segmen itu lah bisa membuahkan sebuah peluang.

Saya tertarik dengan sebuah reportase televisi beberapa hari lalu. Di Masjid Besar Payaman, sebuah desa di Magelang, Jateng, setiap Ramadhan ada pesantren menarik. Semua peserta pesantren itu adalah para manula yang berusia minimal 60 tahun.

Sebagaimana sebuah pesantren kegiatan hariannya adalah menimba ilmu dan beribadah. Jadi selama Bulan Puasa ini para sepuh melakukan kegiatan yang terus menerus sepanjang hari. Tentu intensitas kegiatannya tidak bisa disamakan dengan Pondok Gontor yang kondang itu. Tapi keberadaan pesantren unik ini ternyata sangat dibutuhkan meski hanya ada di bulan Ramadhan. Karena semua pesertanya sudah manula pesantren ini disebut dengan Pondok Sepuh.

Saya yakin kalau di kota besar diadakan pesantren dengan semua pesertanya sudah sepuh pasti banyak peminatnya juga. Keyakinan saya, para senior pasti membutuhkan komunitas yang bisa menerima keberadaan mereka, mengakui aktualisasi mereka, mengapresiasi jalan pikiran mereka. Dan sebagaimana biasa, setiap orang pada dasarnya suka guyon (riang, canda-tawa) dan guyup (kebersamaan). Nah kalau di komunitas itu semuanya terdiri dari para sepuh mereka tidak akan sungkan untuk guyon.

Jadi lah komunitas ini menjadi hidup dan penuh makna. Untuk tahap pertama pilih lah para manula dari segmen ekonomi menengah atas. Acara diadakan di tempat yang representatif. Pengisi acaranya dipilih dari golongan usia yang sama. Dengan promosi yang cukup elegan peluang ini pasti menemukan konsumennya. Jadi lah bisnis yang unik... Bagaimana nih pak Didin? :)

Minggu, 23 September 2007

Aksi

Jumat pagi kemarin saya ditelpon seorang teman. Kami sudah lama sekali tidak bertemu muka. Tanpa banyak basa basi dia langsung bicara pada inti. "Saya penasaran dengan sampeyan. Kok berani-beraninya pindah kuadran, gimana ceritanya?" dia langsung menginterogasi.

Saya kaget juga dengan pertanyaannya yang begitu tiba-tiba dan menohok. Agak lama saya tidak menjawab pertanyaannya. Saya bingung gimana menjawabnya. Karena kaget dan masih agak ngantuk akhirnya saya jawab asal-asalan saja, "Abis terpaksa sih?"

Kami akhirnya ngobrol panjang lebar. Yang tepat sebenarnya bukan ngobrol tapi saya menjawab terus dan terus menjawab pertanyaannya yang tidak juga berhenti.

Dia bertanya bagaimana proses memulai, mengapa memilih bidang batik dan busana limited edition, berapa omset, berapa biaya iklan, pernah rugi atau tidak, pernah tertipu nggak, apakah pendapatan sekarang lebih tinggi dari saat masih jadi karyawan, gimana cara supaya tidak rugi, dan lain-lain.

Meski agak kerepotan menjawab semua pertanyaannya, dan tidak semua pertanyaan saya jawab dengan terbuka, tapi saya senang. Berarti sahabat saya ini sedang gelisah . Gelisah karena dia ingin keluar dari zona yang selama ini didiami. Dia sudah merasa tidak nyaman dengan zonanya. Artinya di dalam pikirannya sudah terjangkit "virus" cara gila jadi pengusaha :)

Apa yang dia tanyakan adalah manusiawi. Tidak ada seorang pun yang ingin rugi. Tidak ada orang yang ingin modalnya terbang entah ke mana. Semua orang ingin begitu buka usaha langsung untung.

Pak Haji Alay sering memberi analogi bahwa jadi pengusaha itu mirip dengan anak yang belajar naik sepeda. Sebelum seorang anak bisa mengendarai sepeda dia mesti harus merasakan jatuh dulu, menabrak pagar, menabrak kambing, bahkan bisa jadi masuk got. Artinya proses jatuhnya jauh lebih banyak dari pada berhasilnya. Berhasil naik sepeda itu cuma sekali tapi jatuhnya berkali-kali.

Tetapi dengan kemajuan zaman seorang anak tidak harus mengalami proses "jatuh" sebelum mampu menguasai sepeda. Sekarang banyak sekali sepeda yang dilengkapi dengan alat bantu dua roda kecil di samping kiri dan kanan bagian belakang. Jadi si anak bisa menguasai sepeda tanpa perlu jatuh.

Di dunia bisnis juga sama. Saat ini banyak lembaga yang bisa kita jadikan "dua roda kecil" supaya kita tidak perlu jatuh ketika memulai usaha.

Kembali kepada teman saya. Kepada dia saya bukan memberi analogi naik sepeda tapi analogi belajar nyopir mobil. "Meski sampeyan membaca puluhan buku teori cara nyopir mobil tapi kalau tidak mau mencoba nyopir ya tidak akan pernah bisa membawa mobil," jawab saya. "Langung belajar nyopir jauh lebih baik dari pada kemana-mana membawa buku petunjuk cara nyopir yang baik."

Sebelum kami mengakhiri obrolan saya ingat dengan sebuah kalimat di sebuah buku. Intinya, keberanian yang dimiliki balita disebabkan hanya 2 hal: Ketidak-tahuan dan Keingin-tahuan. Hanya dua sebab ini lah mengapa balita begitu berani mencoba berjalan (dan jatuh), berani mengutak atik mainan mahal, berani membanting hape, berani "memakan" tanah, dan berani menghadapi apa saja. Makin dewasa, makin banyak ilmu, ternyata makin hilang nyali, makin takut mencoba, dan makin cepat menyerah...

Kamis, 20 September 2007

Gragas

Cukup sulit mencari padanan gragas, sebuah kata berbahasa Jawa, ke dalam bahasa Indonesia. Barangkali rakus adalah kata yang cukup bisa mendekati makna gragas tersebut, meski sebenarnya mempunyai arti yang berbeda.

Tadi pagi sekitar jam 8.00 ada sms yang masuk, "Dengan hormat kami undang rekan2 alumni... (sebuah perguruan tinggi) dalam acara buka puasa bersama, Jumat 21 Sept 2007 jam 17.00 di rumah kami Jl... (komp perumahan pejabat tinggi). Besar harapan kami rekan2 dapat hadir. Terima kasih."

Membaca undangan buka bersama tersebut mengingatkan saya dengan beberapa undangan buka bersama yang pernah saya terima. Ternyata dalam acara buka bersama ada fenomena yang cukup menarik. Fenomena ini tidak sempat saya cermati. Baru tahun kemarin saya melihat ada fenomena yang cukup seragam pada setiap acara buka bersama.

Undangan buka bersama secara resmi pertama kali saya terima beberapa tahun lalu. Ceritanya sebuah bank milik Pemerinta yang cukup besar mengundang kantor saya untuk menghadiri buka bersama. Karena yang mengundang sebuah bank papan atas, di kantor pusat mereka, maka saya dan teman-teman datang dengan pakaian resmi, dan sedikit wangi. :)

Datang di tempat acara suasana masih sepi, padahal kami datang sudah pada jam yang pas, sesuai undangan. Ketika kemudian para tamu mulai berdatangan acara pun dimulai. Menjelang Maghrib ada sedikit wejangan dari Ustad tentang makna puasa.

Ternyata apa yang pernah dikatakan Emha Ainun Najib menunjukkan faktanya. "Perut yang lapar tidak cocok kalau diceramahi. Kalau sudah kenyang baru pas diberi petuah-petuah," demikian kurang lebih kata Cak Nun.

Suasana pengajian menurut saya tidak kondusif. Mungkin hanya 5% dari hadirin yang benar-benar mendengarkan ceramah. Mayoritas tamu asik sendiri dengan kegiatan mereka. Hampir semuanya ngobrol dengan sesama kawan. Ada juga yang memilih duduk di pojok belakang, lelap.

Yang menarik, begitu bedug Maghrib berkumandang, serentak tanpa komando semua tamu menyerbu makanan yang tersedia. Saya katakan menyerbu karena betul-betul menyerbu. Para tamu undangan yang terhormat berlarian berebut makanan. Saya cukup shock melihat kejadian tersebut. Sama sekali tidak menyangka kalau para dasiwan (orang berdasi) berebut makanan seperti itu. Karena saya masih katro, saya cuma dapat air putih, alhamdulillah.

Ada acara serupa yang diadakan di rumah pejabat legislatif, Dia juga pebisnis besar. Mayoritas undangannya adalah ibu-ibu yang anggun, elegan, fashionable. Sama dengan kejadian di atas. Pengajiannya nyaris tak terdengar. Yang terlihat adalah banyaknya undangan yang bergerombol di dekat meja jamuan. Dan, begitu adzan berkumandang... wusss, tiba-tiba tinggal aqua gelas dan satu-dua snack yang masih bisa saya temukan.

Mengajak tamu undangan untuk shalat Maghrib juga bukan perkara mudah. Jauh lebih mudah berkata, "di meja sebelah satenya masih ada...."

Saya sudah lupa ada berapa undangan buka bersama yang sempat saya datangi. Terakhir adalah undangan buka bersama di rumah salah seorang Pak Menteri. Sebenarnya saya agak malas datang di acara tersebut. Saya yakin fenomenanya tidak jauh berbeda. Tapi karena didesak teman kantor akhirnya saya datang juga.

Tiba di tempat acara saya merasa agak asing. Wajah-wajah yang tidak kami kenal sudah banyak yang berkumpul di tempat acara. Saya baru tahu kalau mereka ternyata aktivis parpol pendukung pak Menteri. Sama, pengajiannya tidak efektif. Dan penyerbuan ke meja jamuan juga berlangsung singkat, cepat, lenyap. Hampir sama dengan mottonya Kopaska (Komando Pasukan Katak), pasukan elitnya TNI-AL: Singkat, cepat, senyap. Bedanya, Kopaska operasinya senyap kalau buka bersama operasinya lenyap... makanannya. :)

Dari fenomena buka bersama kita bisa melihat bagaimana sebenarnya puasa kita. Apakah kita berpuasa merupakan ajang melatih hawa nafsu atau hanya menunda makan karena perintah keyakinan. Dari fenomena buka bersama terlihat sifat gragas memang tidak mengenal kelas. Kalau perut sudah lapar orang mudah lupa dengan sekitar.

Yang paling parah adalah kalau jiwanya yang lapar. Maka ketika M. Fadjroel Rachman menulis di Kompas hari ini bahwa StAR (Stolen Asset Recovery), badan di bawah PBB, mengeluarkan daftar pemimpin paling korup di dunia saya tidak kaget. Dari 10 pemimpin dunia paling korup ternyata urutan pertama dipegang oleh Pak Harto dengan jumlah harta yang dicuri antara 15 miliar-35 miliar dollar AS....

Jadi apa arti puasa kita selama ini kalau hasilnya adalah pemimpin paling korup?

Yang unik adalah ketika saya datang di acara buka bersama TDA tahun lalu. Meski pengajiannya menurut saya kurang efektif tapi saya TIDAK melihat ada "penyerbuan" jamuan, sebuah "ritual" yang menunjukkan betapa gragas nya kita.

Semoga TDA memang bersama menebar rahmat, tidak gragas...

Selasa, 18 September 2007

Koko Eksklusif DEBU

Hanya ingin kenalan saja.

Nikmati koleksinya di sini

Silahkan kontak kami:
Aisyah : 0815 1965 8165
Abduh : 0815 8940 350

--------

Menyambut Ramadhan dan Idul Fitri 1428 H DEBU mengeluarkan satu lagi produk eksklusif mereka: Baju Koko. Alhamdulillah kami ditunjuk menjadi salah satu distributor utama. Silahkan amati, nikmati, dan ... jual lagi. :)

Bagi reseller kami beri penawaran menarik. Kami akan kembalikan uang Anda jika Anda mengembalikan produk ini, asal belum dipakai... :). Terhitung 15 hari sejak barang diterima. Ya, kami memang "hanya" 15 hari karena produknya eksklusif dari DEBU.

Anda sangat sulit menemukan produk eksklusif ini di pasaran. Hanya di tempat-tempat tertentu saja. Dan kami adalah salah satu tempat khusus tersebut.

Jumat, 14 September 2007

Berbagi

"Kebakaran Pasar Turi yang terjadi dua kali adalah disengaja," kata Kapolda Jawa Timur. Saya cukup kaget dengan berita yang dimuat di detik.com hari ini.

Jelas, pernyataan itu punya makna yang dalam. Pernyataan itu bukan keluar dari mulut para aktivis atau masyarakat yang curiga dengan peristiwa itu tapi keluar dari orang nomor satu di Kepolisian Jawa Timur. Artinya kita patut percaya bahwa kebakaran itu memang disengaja. Pasar Turi dibakar. Pusat grosir terbesar untuk Indonesia bagian timur itu ludes. "Tanah Abang"-nya Indonesia Bagian Timur dipaksa "tutup buku". Milyaran rupiah yang berputar tiap hari di pasar tersebut dihentikan paksa. Ribuan orang yang langsung atau tidak langsung mendapatkan nafkah dari pasar itu "ditutup" kran pendapatannya.

Angan-angan saya langsung melayang nggak karuan. Jangan-jangan Pasar Turi mau disulap jadi Pusat perbelanjaan mewah atau dijadikan bangunan lain yang tidak lagi berhubungan dengan masyarakat. "Jangan berprasangka buruk pak," kata pak Tri, tetangga saya ketika kami nongkrong sehabis Jum'atan.

"Berprasangka buruk sih nggak, pak. Tapi buat apa coba kalau Pasar Turi yang besar itu dibakar kalau bukan buat hal yang buruk?" balas saya.

Bangsa ini memang tidak pernah belajar dari sejarah. Kalau ingin meraih impian dengan cara membuat celaka orang lain hasilnya PASTI nista. Banyak contoh ada di depan mata kita. Berapa banyak pejabat yang mendapatkan uang dengan cara mencuri duit negara akhirnya nista. Mereka harus ditangkap KPK. Potret mereka tersebar di mana-mana dengan cap sebagai bandit.

Begitu pula dengan keluarga mereka. Anak cucu mereka berantakan karena dimanjakan dengan uang haram. Keturunannya tidak mendapatkan ketenteraman hidup karena selalu makan harta "panas". Yang lebih parah lagi bahkan ada yang mengakhiri hidupnya dengan jalan terjun dari lantai 56 Hotel Aston.

Padahal sekarang ini muncul kesadaran dimana-mana, kalau ingin rezekinya terbuka, maka bukalah rezeki orang lain. Kalau ingin jalannya dimudahkan, maka mudahkan lah jalan orang lain.

Filosofi "memberi" ini bahkan sekarang sudah diterapkan oleh perusahaan besar pembuat pesawat terbang, Boeing.

Kompas edisi Kamis kemarin menulis bagaimana bahagianya Boeing tahun ini karena berhasil menglahkan musuh bebuyutannya dari Eropa, Airbus. Tahun ini pesanan yang masuk ke Boeing lebih banyak 13 buah dibanding yang masuk ke Airbus. Dengan pesawat andalannya 787 Dreamliner Boeing mampu menekuk A-380 milik Airbus.

Hal ini bisa terjadi setelah Boeing mengubah sistem perakitannya dari top-down dan bagaimana maunya gua menjadi system integrator yang lebih kooperatif dan berbagi (sharing).

Andrie Wongso, Mario Teguh, Ustad Yusuf Mansur, Aa Gym semua menganjurkan, berilah kemuliaan kepada orang lain, angkatlah orang lain, pikirkanlah orang lain. Jangan hanya memikirkan diri sendiri.

"Kalau kita selalu memikirkan orang lain, memberi kemudahan orang lain, memuliakan orang lain, lalu kapan dong giliran kita memikirkan diri sendiri?" tanya Hilbram Dunar, sang presenter, kepada Mario Teguh Kamis malam 2 minggu lalu.

"Nggak usah. Kita nggak usah memikirkan diri sendiri. Itu urusan Tuhan. Tuhan tidak akan meleset memberi kemuliaan, kemudahan, dan jalan keluar kepada orang yang telah memuliakan orang lain..."

Kamis, 13 September 2007

Beruntung


Untung, beruntung, atau keberuntungan adalah kata yang biasanya lekat dengan sebuah nasib yang tidak bisa diprediksi sebelumnya. Dan karena tidak bisa diprediksi maka orang yang mengalami keberuntungan biasanya cuma dikomentari, "Yah, dia memang lagi beruntung."


Bagi kalangan yang sedang mengalami jalan buntu maka kata keberuntungan merupakan asa terakhir yang sangat dinanti, meski biasanya tak kunjung datang jua .

Semua orang berharap menjadi orang yang beruntung. "Paling enak jadi orang yang untung." kata teman saya di kampung. Jadi orang pinter nggak jaminan bisa kaya. Jadi orang kaya nggak jaminan bisa tenteram, jadi mudah was-was memikirkan hartanya. Yang paling menyedihkan adalah sudah miskin tidak tenteram pula. Maka yang paling enak memang jadi orang beruntung. Maka tidak heran kalau ada tokoh kartun yang diberi nama Si Untung. Apa yang dilakukannya selalu mendatangkan keberuntungan. Bahkan bencana yang seharusnya menimpa dirinya bisa berubah menjadi keberuntungan. Dia lah temannya Donald bebek.

Tetapi apakah keberuntungan memang tidak bisa di-create?

Ternyata dalam seminar Luck Factor yang diadakan oleh TDA pada 2 April 2007 lalu terungkap bahwa kita bisa merekayasa keberuntungan. Keberuntungan bisa dibikin. Pak Ahmad Faiz Zainuddin, sang nara sumber, membeberkan bahwa kita sebenarnya bisa membuat faktor keberuntungan atau kerennya luck factor. Itulah sebabnya mengapa ada seseorang yang selalu menemui kebetulan yang beruntung. Begitu pula ada orang yang selalu menemui kebetulan yang menyusahkan. Semua kebetulan-kebetulan itu pasti ada sebabnya.

Di sini saya tidak akan mengulangi materi seminar tersebut karena saya yakin rekan-rekan TDA sudah mengerti betul dengan materi itu.

Saya hanya akan menceritakan sebuah kisah nyata yang diceritakan oleh Ustad Abdul Aziz. Pak Abdul Aziz adalah salah seorang pengajar di pesantren Wisata Hati milik Ustad Yusuf mansur.

Pada suatu hari datang seorang ibu dengan anak laki-lakinya yang berusia 9 tahun. Dari raut mukanya sudah tampak bahwa tamu ini sedang ada masalah berat. Meski dengan penampilan trendy dan fashionable karena mantan pramugari, sang ibu tidak dapat menyembunyikan kegundahan hatinya memikirkan masa depan sang buah hati.

"Anak saya menderita leukemia (kanker darah). Tiap bulan kami harus mengeluarkan Rp 8 juta untuk terapi dan pengobatannya," kata sang ibu membuka pembicaraan.

"Menurut dokter untuk mengatasi penyakit tersebut minimal dibutuhkan waktu 2 tahun. Kami sangat berat dengan kondisi ini. Saya datang ke sini berharap mudah-mudahan masalah kami menemukan solusinya," sang ibu menambahkan.

Semua terdiam. Hening.

Tidak lama kemudian pengasuh Wisata Hati memecahkan keheningan.

"Berapa biaya total yang dibutuhkan untuk terapi selama 2 tahun itu?"

"Tentu saja Rp 8 juta x 24 bulan atau Rp 192 juta, ustad"

"Begini saja, ambil 10%-nya (Rp 19,2 juta)... dan sedekahkan kepada yang berhak"

Sang ibu terdiam sejenak. Semua ikut terdiam.

"Ibu masih punya harta kan yang bisa dijual untuk shodaqoh Rp 19,2 juta?" tanya pengasuh Wisata Hati.

"Masih ada sih tapi kalau harus shodaqoh sebesar itu berat, ustad," jawabnya.

"Semua pilihan terserah pada ibu, memilih 'hanya' Rp 19,2 juta atau Rp 8 juta/bulan selama 2 tahun... "

Cukup lama sang ibu mengambil keputusan meski akhirnya tidak ada pilihan lain, dia setuju dengan usulan sedekah Rp 19,2 juta.

"Selain sedekah perlu juga perbaiki ibadahnya. Terus lah berdoa. Juga tidak kalah penting minta lah untuk didoakan oleh anak-anak yatim yang banyak terdapat di sini," pesan sang ustad.

Beberapa bulan kemudian sang ibu datang lagi ke Wisata Hati bersama sang buah hati. Kali ini wajahnya cerah, bersinar, penuh kebahagiaan.

"Dari pemeriksaan terakhir diketahui bahwa anak saya sudah sembuh 100%, ustad. Tim dokter juga heran dengan kondisi anak saya yang bisa sembuh secepat ini," kata sang ibu menceritakan rasa bahagianya....

Selasa, 11 September 2007

Ramadhan


Jika seluruh hari adalah nista, maka Idul Fitri lah kesuciannya.
Jika taqwa kita diuji, maka Qurban lah jawabannya.
Jika semua harta adalah racun, maka Zakat lah penawarnya.
Jika seluruh umur adalah dosa, maka taubat lah obatnya.
Jika seluruh bulan adalah noda, maka Ramadhan lah pemutihnya.

Selamat datang Ramadhan.
Mohon maaf segala khilaf.


(Anonim, puisi di atas masuk ke hp saya dari seorang sahabat)

Senin, 10 September 2007

Menyelesaikan

Saya masih ingat beberapa tahun lalu salah seorang sahabat saya, sebut saja pak Joko, merenung. Dia terlihat sedih. Tangan kanannya menyangga kepala padahal dia tidak sedang sakit kepala. Tidak sakit kepala tapi pusing karena pak Joko ini sedang memikirkan bagaimana cara keluar dari masalah yang sedang dihadapi.

Tiba-tiba sahabat saya yang lain, sebut saja pak Mukri, datang. Melihat pak Joko murung pak Mukri memandang sebentar, dan kemudian keluar lah komentarnya yang terkenal nylekit itu, "Utang itu jangan dipikir tapi dibayar."

Komentar yang nylekit dan terkesan asal-asalan itu membuat pak Joko tersenyum kecut dan tersadar dari lamunannya. Dia pun berdiri dan meninggalkan tempat. Saya tidak tahu pasti apa arti senyuman pak Joko. Kami semua yang ada di tempat itu pun hanya senyum-senyum saja.

Apa yang dikatakan pak Mukri memang tidak enak didengar. Meski begitu apa yang dikatakannya tidak salah. Hutang memang tidak perlu dipikir tapi dibayar saja. "Semua orang juga tahu mas kalau itu jawabannya," kata pak Joko kepada saya ketika kami mau pulang sehabis ngantor.

Beberapa tahun kemudian saya sadar bahwa yang dikatakan pak Mukri memang benar. Padahal ketika mengatakan demikian pak Mukri cuma asal-asalan saja. Yang pernah dikatakan pak Mukri ternyata diperkuat oleh pak Yusef Hilmi ketika Mr Fire ini memberikan presentasinya seusai TDA nonton bareng film The Secret di JDC. "Kita jangan memikirkan hutang tapi pikirkanlah bagaimana memperbesar penghasilan. Kalau penghasilan kita meningkat otomatis hutang akan selesai dengan sendirinya," kata pak Yusef.

Apa yang dikatakan pak Yusef adalah upaya bahwa kita jangan memikirkan kondisi negatif tapi pikirkanlah tindakan positif. Memikirkan kondisi negatif hanya akan mengundang kondisi tersebut datang kepada kita. Begitu pula kalau kita memikirkan kondisi positif maka kondisi tersebut akan mendatangi kita. Sayang sekali pak Yusef termasuk "malas" meng-update blognya (hehe, maaf ya Pak)... :)

Memikirkan kondisi positif memang harus terus dilatih. Berapa banyak orang yang berusaha keluar dari kondisi negatif tapi yang ada di pikirannya adalah kondisi negatif itu sendiri. Memikirkan kondisi positif adalah paradigma 'Menyelesaikan masalah'. Sedangkan memikirkan kondisi negatif adalah 'Menyesuaikan masalah'.

Berapa banyak dari kita yang masih termasuk golongan 'menyesuaikan' masalah: Selalu mengurangi pengeluaran karena penghasilan belum mencukupi, mengurangi kualitas makanan karena income belum besar, menaikkan ketinggian lantai rumah karena selalu terendam banjir. Padahal itu semua TIDAK akan menyelesaikan masalah tapi hanya menyesuaikan masalah.

Memang tidak mudah bagi kita masuk ke pola pikir 'menyelesaikan' masalah. Perlu latihan dan jam tebang. Juga banyak masalah yang penyelesaiannya harus melibatkan pihak lain.

Bagaimana kalau kita masih bingung memilah apa yang kita pikirkan ini sebenarnya pikiran positif atau negatif? Saya sendiri juga masih bingung dan belum bisa memilah dengan pasti. Tapi ada kisah nyata menarik. Kisah ini disampaikain oleh Ustad Yusuf Mansur.

Ada dua karyawan, sebuat saja Ari dan Adi. Dua karyawan ini ingin mempunyai motor untuk menunjang pekerjaannya. Ari memakai cara menabung 100 ribu per bulan. Kalau 10 bulan maka tabungannya menjadi Rp 1 juta. Uang yang terkumpul ini bisa dipakai untuk membayar DP motor. Maka jadi lah Ari mempunyai motor tapi tiap bulan dia harus menyisihkan uang yang jauh lebih besar karena untuk cicilan motornya.

Sedangkan Adi juga mengeluarkan 100 ribu perbulan tapi uang tersebut "ditabung" di panti asuhan, memberi anak yatim, men-sedekah-i fakir miskin, dan lain-lain. Miracle, genap 10 bulan dia mendapat "hadiah" motor dari kantornya. Adi pun bisa menikmati motornya TANPA harus mencicil tiap bulannya....

Jadi "libatkan" lah orang lain untuk menyelesaikan masalah kita supaya tangan-Nya membantu kita menyelesaikan masalah. Kalau Allah sudah berkehendak tidak ada satu pun yang bisa menghalangi...

Kamis, 06 September 2007

Fleksibel


Fleksibel bisa berarti luwes, lentur, tidak kaku. Sikap fleksibel biasanya menggambarkan sikap yang lentur dan luwes. Maka tidak mengherankan kalau kalangan yang kaku sering menganggap mazhab fleksibel sebagai sikap tidak tegas, tidak berpendirian.

Wah saya sedang bicara apa sih kok kelihatan serius amat...

Saya masih ingin ngrasani pak Mario Teguh yang bicara pada minggu lalu. Malam Jumat kemarin dia bicara tentang pentingnya action. Dan rencana harus cepat-cepat direalisasikan.

"Bicara visi-misi jangan lama-lama. Ngomong tujuan jangan lama-lama. Tapi sibuklah dalam cara-cara dan proses mencapai tujuan." kata pak Mario

"Kita harus teguh pada tujuan tapi fleksibel pada metode," tambahnya. Artinya yang penting kita harus punya goal setting. Soal bagaimana cara mencapainya adalah masalah metode. Cara yang bagus dipakai untuk masa lalu belum tentu pas kalau diterapkan sekarang. Metode yang cocok dipakai oleh seseorang belum tentu pas kalau saya yang menjalani. Metode bisa beragam banyaknya, yang penting kita jangan sampai menurunkan goal kita, mimpi kita.

Banyak orang yang terbalik, kaku dengan metode tapi fleksibel dengan tujuan, fleksibel dengan goal. Akibatnya banyak pula yang tidak sampai pada mimpi semula. Semula bermimpi mau ke Jakarta dari Bandung tapi hanya ngotot jalan kaki, akhirnya mimpinya diturunkan hanya 'sampai Padalarang cukup lah'. Padahal kalau dia mau pakai metode lain (bisa pakai kereta, mobil, motor, bahkan sepeda) pasti bisa sampai di Jakarta.

Saya bicara tentang fleksibel ini bukan tanpa sebab. Ada gara-garanya. Minggu kemarin saya bertemu dengan seorang sahabat. Orangnya ekstrovert, banyak relasi, mudal bergaul. Temannya banyak, mulai penjual mie ayam sampai pak Menteri. Mulai pedagang asongan sampai pedagang gedongan. Pokoknya gaul abis.

"Saya lagi ada masalah, mas," katanya membuka pembicaraan. "Masa gara-gara uang belanja tiap hari jadi bertengkar dengan istri," tambahnya dengan sendu. Saya hanya bisa menebak, usaha yang sedang dirintis sahabat saya ini belum menghasilkan "buah" yang layak untuk "dimakan". Sahabat saya ini kembali bercerita panjang lebar permasalah yang sedang dialami.

Sampai di sini saya belum bisa memberi saran. Saya cuma membayangkan beban berat sahabat ini. Dan saya bisa merasakan karena saya pernah mengalami. Bedanya, saya tidak bertengkar dengan istri. Jadi saya masih lebih beruntung.

"Saya jadi berfikir, kalau ada yang menawari kerja lagi mungkin apa sebaiknya saya terima saja ya," tanyanya tanpa ingin mendengar jawaban saya.

Tiba-tiba saya teringat dengan fleksibilitasnya pak Mario Teguh. "Kalau ada yang menawari kerja, terima saja," jawab saya tiba-tiba.

"Anda masih punya spirit kan jadi pengusaha?" tanya saya

"Ya, saya masih punya mimpi jadi pengusaha besar," jawabnya.

"Kalau begitu terima saja tawaran jadi karyawan. Yang penting ada cash-in buat keluarga di rumah. Yang penting suasana rumah menjadi nyaman"

Selasa, 04 September 2007

Marah

Marah dan emosi adalah tabiat manusia. Siapa pun bisa marah. Malah kalau kita mau jujur menghitung, jangan-jangan kuantitas marah kita lebih banyak dari pada senyum kita.

Banyak sekali penyebab marah. Pekerjaan tidak selesai pada waktunya kita marah, anak buah kurang cepet kerjanya kita marah, anak-anak berlarian di dalam rumah kita marah, tetangga nyetel radio kenceng kita marah, motor yang menyalip seenaknya kita marah. Bahkan hujan yang tak kunjung turun pun kita juga marah karena air tanah mulai mengering. Uniknya kita tetap marah-marah ketika hujan akhirnya turun karena jalanan jadi banjir...

Menurut psikologi marah adalah perasaan. Amarah datang dari bagian otak yang sangat tua dan biasanya berlangsung hanya selama satu hingga dua detik saja. Namun amarah ini bisa berlangsung dalam jangka waktu lama. Ciri-ciri fisik dan emosional orang yang tengah marah sudah jadi pertanda buruk bagi kesehatan:

Tekanan darah meningkat, ormon stress meninggi, nafas jadi pendek, jantung berdebar, gemetar, membentak, pupil berkontraksi tidak teratur, kekuatan fisik meningkat, impotensi (wah berabe tuh), cara bicara dan gerak lebih cepat dan sering, lebih sensitif. Jelas tanda-tanda ini akan mengakibatkan pergerakan sel dan hormon dalam tubuh jadi tak sesuai.

Memang, menahan marah bukan pekerjaan gampang, sangat sulit untuk melakukannya. Ketika ada orang bikin gara-gara yang memancing emosi kita, barangkali darah kita langsung naik ke ubun-ubun, tangan sudah gemetar mau memukul, sumpah serapah sudah berada di ujung lidah tinggal menumpahkan saja. Anthoni Dio Martin menyebutnya pembajakan amikdala. Tapi jika saat itu kita mampu menahannya, maka bersyukurlah, karena kita termasuk orang yang kuat.

Sebenarnya kita tidak dilarang marah, namun diperintahkan untuk mengendalikannya agar tidak sampai menimbulkan efek negatif.


Tapi bagi Anda yang saat ini jadi busniness owner hati-hati dengan perilaku yang suka marah ini. Karena frekwensi marah kita adalah representasi nyata dari kondisi usaha yang saat ini kita jalankan.

Pak Mario Teguh bilang, "Tanda kalau organisasi perusahaan tidak bisa menjalankan maksud pimpinan adalah kalau pimpinan suka marah. Pimpinan tidak terwakili oleh perusahaan. Apa yang diinginkan pemilik lebih sering tidak nyambung dengan jalannya organisasi perusahaannya."

Pemilik sering berkata, "Sudah berapa kali saya katakan..."

Dan karyawan dalam hati juga sering menjawab, "Sudah berapa kali kami tidak mau mendengarkan..."

Apa yang menyebabkan ini bisa terjadi?

"Pimpinan/pemilik tidak menyertakan kesuksesannya dengan kesuksesan karyawan. Owner ingin menawar keras gaji karyawannya, malah kalau bisa karyawan lupa dengan gajinya. Tapi dengan entengnya dia membeli velg yang harganya lebih gede dari gaji karyawannya tanpa ditawar. Dengan entengnya dia menunjukkan baru saja ganti mobil di depan karyawannya yang sudah lama gajinya dicicil..." tambah pak Mario Teguh di O'Channel.

Tiba-tiba saya ingat dengan sahabat saya yang sudah lama tidak bertemu. Beberapa tahun lalu dia cerita kalau bosnya suka marah tiap hari. Ternyata apa yang dialami perusahaan itu persis dengan yang dikatakan pak Mario...

Beberapa hari lalu saya sms dia, apakah sang bos saat ini masih suka marah. "Sama seperti dulu," jawab sahabat saya singkat via sms. Dari situ saya tahu berarti perusahaan itu tidak mengalami kemajuan apa-apa selama beberapa tahun ini...

Sabtu, 01 September 2007

Orkestra Nan Harmoni

Ketika orang mendengar kata 'orkestra', hal yang terlintas dalam benaknya kemungkinan besar adalah sekumpulan musisi mengenakan tuxedo dan dipimpin seorang konduktor yang memainkan lagu-lagu 'serius' dan 'berat'.

Kesan ini memang tidak salah karena sebutan 'orkestra' selalu berhubungan dengan sekumpulan musisi dengan berbagai alat musik yang memainkan alatnya setelah mendapat perintah dari sang "komandan".

Padahal untuk kultur dan budaya yang berbeda sebutan 'orkestra' juga halal kalau dilekatkan pada budaya Bumi Pertiwi.

Gamelan adalah orkestra yang biasa terdapat di Pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Meski semua orkestra ini dinamakan gamelan tapi ada perbedaan yang cukup mendasar. Menurut Yunanto dari yogyes.com,
Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandangan hidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya.

Masih menurut Yunanto, pandangan hidup Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelannya adalah keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara dan bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud nyata dalam musiknya adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron, kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.

Ada yang membuat saya kagum dengan orkestra gamelan yang saya saksikan dan fotonya saya tampilkan di atas. Pada orkestra Barat setiap keputusan nada, tempo, dan alat musik yang dimainkan sepenuhnya eksplisit diarahkan oleh konduktor, maka pada orkestra gamelan setiap keputusan slendro maupun pelog, dan juga tempo nada yang dimainkan ternyata secara implisit diarahkan oleh penabuh kendang.

Bagi yang awam dengan gamelan mungkin akan keheranan, bagaimana mungkin puluhan instrumen musik bisa tiba-tiba memainkan repertoar dengan tempo yang sangat cepat, dan tidak lama kemudian bisa secara serempak namun harmonis berubah menjadi pelan dan lembut. Padahal tidak ada dirigen yang memberi aba-aba di depan. Ternyata mereka semua patuh dengan kode-kode yang dipancarkan oleh sang pemegang kendang. Kode yang sama sekali tidak dimengerti oleh orang luar, orang yang tidak faham dengan gamelan.

Pikiran saya tiba-tiba berusaha menghubung-hubungkan antara orkestra gamelan dengan gaya bisnis masyarakatnya. Mengapa gaya bisnis orang Jawa berbeda dengan orang Padang, Bali, Bugis, Madura, dan sebagainya. Mengapa pula kultur bisnis perusahaan besar lokal juga berbeda dengan perusahaan asing.

Saya akhirnya faham mengapa perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia bersedia dan berusaha menyelaraskan corporate culture-nya dengan sentuhan lokal. Karena kalau ingin sukses di suatu tempat ternyata Di mana Bumi dipijak di situ langit dijunjung harus diterapkan. Saya pun akhirnya kagum dengan sebuah bank asing yang positioningnya The World's Local Bank.