Jumat, 30 November 2007

Terlalu Yakin

Pagi hari 28 Januari 1986 seluruh dunia sudah siap menyaksikan detik-detik peluncuran pesawat ulang alik Challenger.

Misi penerbangan ini sebenarnya sudah direncanakan berangkat pada tanggal 22 Januari 1986. Namun karena berbagai hal antara lain karena kerusakan teknis dan cuaca, peluncuran harus diundur beberapa kali hingga tanggal 28 Januari 1986.

Rencana utama misi ini ialah meluncurkan satelit komunikasi TDRS-2. Selain itu dengan beberapa instrumen Komet Halley yang pada waktu itu mendekat bumi juga akan diobservasi. Lalu sebagai salah satu puncak utama misi ini, Sharon Christa McAullife, seorang warga sipil yang berprofesi sebagai guru sekolah menengah, akan mengajar beberapa hal kepada para murid di seluruh dunia.

Ternyata yang terjadi kemudian adalah sebuah petaka besar yang sama sekali di luar perhitungan. Persis 73 detik setelah peluncuran, pesawat ulang-alik beserta 7 awaknya meledak pada ketinggian sekitar 15 sampai 16 kilometer.

Dunia kaget. Para ahli Nasa lebih kaget lagi. Peluncuran ulang alik ini bukanlah yang pertama kali tapi yang ke-25 kali. Selama ini semua lancar dan aman-aman saja. Dan ketika ilmuwan merasa yakin bahwa penerbangan ulang alik sangat aman, terjadilah musibah ini.

Mike Tyson punya kisah juga. Pada akhir tahun 80-an namanya sangat dikenal seantero jagat. Dalam 19 penampilan pertamanya di ring tinju professional, Mike Tyson mengalahkan lawan-lawannya maksimal dalam 6 ronde, dan 12 di antaranya diKO pada ronde ke-1. Muncul asumsi bahwa dalam sepuluh tahun ke depan akan sulit menemukan lawan sepadan buat Mike Tyson di planet ini.

Namun siapa sangka pada tanggal 11 Februari 1990 di Tokyo, Mike Tyson bisa dijungkalkan James "Buster" Douglas, petinju yang tidak dilirik sebelah mata pun oleh pasar taruhan (42-1 untuk Tyson). Dalam 35 detik di ronde ke-10 untuk pertama kalinya Tyson mencium kanvas dan kehilangan gelar. Tidak ada yang percaya dengan apa yang terjadi. Tapi realitas berbicara lain.

Sebelum bertanding dengan Douglas, Tyson sudah berani menanda-tangani kontrak untuk bertanding dengan lawan berikutnya. Mengapa Tyson berani teken kontrak untuk pertandingan berikutnya? Karena dia amat sangat yakin bahwa Douglas adalah 'ayam sayur' yang mudah dijungkalkan. Terlalu yakin membuat dia kehilangan semuanya.

Di dunia balap mobil F1 kejadian yang hampir mirip dialami oleh Lewis Hamilton. Di pertandingan terakhir di Brasil, pertandingan penentuan juara dunia F1, Hamilton sebenarnya cukup finis di urutan 5 saja. Finis nomor 5 sudah bisa membuat dia jadi juara dunia F1 yang baru.

Tapi karena terlalu yakin dan mungkin menganggap mudah balapan terakhir ini, membuat dia lengah. Kesalahan fatal yang dibuat tidak seharusnya dia lakukan sebagai pembalap profesional calon juara dunia. Hamilton salah memencet tombol yang ada di kemudi. Tangannya 'terpeleset' memencet tombol netral. Akibatnya mobilnya melambat. Dia kehilangan posisi sangat signifikan. Dan gagal jadi juara dunia F1. Gagal pula mengukir sejarah.

Kesebelasan Inggris mungkin juga demikian. Pada pertandingannya dengan Kroasia sebenarnya Inggris cukup bermain imbang untuk bisa lolos di putaran Piala Eropa 2008. Pertandingan yang sebenarnya 'mudah' mengingat Inggris diunggulkan. Ternyata pada menit-menit akhir dia kebobolan. Kalah selisih satu gol membuat 'Three Lions' ini harus mengubur keinginannya masuk kesebelesan elit Eropa 2008.

Terlalu yakin memang sering membuat kita lengah.

"Kalau bagitu bagaimana cara kita membedakan apakah ini LoA, optimis, pesimis, atau terlalu yakin?"

"Untuk tahu itu semua perlu flying watch (kata Thukul)," jawab pak Agus Ali...

Rabu, 28 November 2007

Oh... EMS !

Kali ini saya mau curhat saja masalah yang sedang saya hadapi.

Sahabat saya yang jadi ekspat di Houston adalah contoh nasionalisme action. Tanpa banyak berwacana, sahabat saya ini kalau ke kantor sering mengenakan kemeja batik.

Batik adalah produk budaya Indonesia. Batik mempunyai nilai seni yang tinggi. Dan hanya orang-orang yang punya cita rasa seni tinggi lah yang bisa menghargai karya budaya ini. Dan produk budaya adalah produk yang amat sangat susah ditiru oleh bangsa lain. Maka ketika produk lain resah dengan membanjirnya produk Cina, saya merasa aman-aman saja.

Fokus pada produk budaya (bukan hanya batik) bukan masalah sederhana. Perlu daya tahan yang ekstra keras. Sama sekali tidak ada jalan instan mendapatkan profit bagus dari produk budaya. Perlu investasi waktu yang besaaar.... Apalagi Pemerintah kurang peduli dengan produk budaya. Maka wajar saja kalau Malaysia dengan sangat mudah selalu bisa mencuri produk-produk budaya kita.

Bulan lalu sahabat saya mengirim email, bos besarnya tertarik dengan kemeja batik yang sering dia kenakan. Pimpinan perusahaan minyak itu ingin membuat seragam karyawannya dengan kemeja motif batik. Sebuah berita yang sangat fantastik bagi saya. Sebuah peluang dengan nilai prestise yang begitu dahsyat!!!

Sampel pun kami siapkan. Kami pilihkan kemeja batik casual dengan pilihan bahan kelas I. Setelah melalui proses yang cukup panjang, karena bersamaan dengan libur Lebaran, akhirnya kami berhasil membuat dummy 3 pcs kemeja batik lengan pendek.

Tanggal 7 November 2007 saya kirim sampel tersebut ke Houston menggunakan jasa EMS milik PT Pos Indonesia.

Mulanya saya ragu menggunakan EMS. Maklum, PT Pos Indonesia adalah BUMN. Sebagaimana BUMN di Indonesia, mereka tidak punya jiwa kompetisi yang sehat. Terlalu lama dengan suasana nyaman yang mereka rasakan.

"Pakai EMS saja. Bagus kok. Tarifnya lebih murah pelayanannya sekarang sudah ok," kata teman saya.

Setelah mencoba cari informasi tentang EMS saya mulai agak percaya. Dalam webnya kita bisa melacak sampai di mana kiriman kita. Jadi dalam service tampaknya sudah mulai sejajar dengan perusahaan kurir semacam DHL, Fedex, TNT, dan sebagainya. Tarifnya, memang ada selisih yang cukup signifikan. Maka jadilah saya memakai EMS.

Apa yang terjadi?

Sampai sekarang paket saya belum ketahuan rimbanya. Ketika di trace pakai web cuma tercatat bahwa paket sudah berangkat dari bandara Soekarno Hatta tanggal 7 Nov 2007 jam 19.41.

Setelah itu paket ada di mana? Hanya Tuhan yang tahu.

Padahal menurut iklan, lama pengiriman antara 4 sampai 5 hari. Sudah beberapa kali saya menanyakan ke Cengkareng. Ternyata mereka tidak bisa melakukan yang lebih bagus dari yang saya lakukan.

"Kalau cuma melacak via web, dari dulu sudah saya lakukan pak," kata saya sedikit marah.

"Kami sudah mengirim ..... (saya tidak tahu istilahnya) ke USPS (US Portal Service) pak. Mudah-mudahan mereka cepat memberi balasan," jawab petugas di Bandara Cengkareng.

Tiap hari saya tanyakan ke Cengkareng. Jawabannya tidak berubah.

"Harga tidak bisa menipu pak," kata Pak Arief Setiabudi, member TDA di Bandung. "Kalau kita pakai DHL atau Fedex, kita bisa mengetahui tiap jam barang kita ada di mana..." tambah pak Arief.

Yah... saya hanya bisa menyesal mempercayakan BUMN untuk sebuah urusan yang sangat penting. Apalagi sahabat saya di Houston tanggal 30 Nov 3007 ini mulai cuti sebulan....

Lagi-lagi mental pegawai negara: loyo, malas, tidak kompetitif, tidak disiplin, layanan buruk, .... :((

Senin, 26 November 2007

Sukses

Pak Erbe Sentanu, pengarang buku Quantum Ikhlas, dalam acara Bedah Buku yang diadakan TDA pada 17 Juli 2007, mengatakan bahwa kita semua sebenarnya sukses.

"Kalau ada kalimat yang berbunyi Saya ingin sukses, maka kata ingin menunjukkan nafsu. Ingin harus dihapus sehingga bunyi kalimat menjadi Saya sukses. Kalimat yang baru ini menunjukkan keikhlasan yang dicapai seseorang, bagaimana pun keadaannya saat ini," demikian ucapan yang masih saya ingat. Mudah-mudahan saya tidak salah kutip, maklum sudah 4 bulan yang lalu.

Sukses sendiri sebenarnya bukan lah sebuah pemberhentian. Sukses adalah kata sifat yang menunjukkan unsur gerak di dalamnya. Jadi kalau seseorang berhenti baru lah dia tidak sukses.

Saya sebenarnya ingin menceritakan fenomena orang-orang sukses yang barangkali tidak pernah diajarkan oleh lembaga-lembaga bisnis. Tidak pernah dijadikan acuan dalam kasus bisnis. Tidak pernah menjadi studi kasus sekolah-sekolah MM. Dan luput dari liputan media-media wirausaha.

Bu Lies Kusbiono adalah 'buldozer'. Julukan itu melekat padanya karena sikapnya yang tidak kenal berhenti membantu para penyandang cacat. Melalui polesan Bu Lies lah para penyandang cacat bisa merasa bahwa mereka bukanlah penyandang cacat. Kemampuan mereka tidak kalah dengan manusia berfisik sempurna.

Lenes adalah sebuah contoh. Perempuan dengan tinggi badan hanya 75 cm kini menjadi guru Bahasa Inggris. Dia juga mengasuh konsultasi remaja di beberapa radio di Tuban , Jatim.

Lewat polesan Bu Lies pula puluhan anak-anak tuna rungu, tuna wicara, dan tuna daksa mampu memainkan berbagai tarian budaya Nusantara. Begitu sempurnanya mereka memainkan tariannya membuat banyak orang tidak tahu kalau mereka adalah penyandang cacat. Pengasuh Yayasan GR Siswa Gotong Royong ini juga mampu membuat anak-anak penderita Autis bersosialisasi.

"Saya tekankan kepada anak-anak saya, terutama ada empat hal. Pertama adalah self-convidence (harus percaya diri), kalo sudah percaya diri kamu harus membentuk harga diri," katanya.

"Harga dirimu bukan seperti pengemis. Setelah harga diri kemudian meniti kemandirian, apa pun, sekecil apa pun. Meniti kemandirian itu menjadi tuan dari usahanya sendiri. Prestasi itu harus mereka raih. Setelah ketiga hal itu mereka dapatkan, pasti mereka bisa," tambah Ibu yang menjadikan garasinya di Jl. Pulo Raya sebagai markas. Bu Lies adalah manusia sukses.

Bu Rosi dan Bu Rian adalah kisah sukses lain lagi. Bu Kembar adalah julukannya karena mereka berdua memang hanya berselisih 5 menit ketika lahir. Bu Kembar adalah identik dengan sekolah gratis bagi kaum yang dimarjinalkan.

Tanpa banyak publikasi, tanpa mengemis ke organisasi internasional, tanpa perlu membuat lembaga LSM, tanpa perlu menyuruh orang-orang miskin mendemo Pemerintah, Bu Kembar telah mampu melahirkan 2000-an anak didik yang sekarang tersebar ke berbagai profesi.

"Tanpa ijazah nasional murid saya kerja di Carefour. Laku kok pake stempel saya, Ibu Guru Kembar, gitu," ujarnya.

Langkah mulia ini bukannya tanpa musuh. Pada 7 Agustus lalu si jago merah mengamuk di kolong jembatan tol Penjaringan. Ratusan rumah hangus. Tak terkecuali Sekolah Darurat Kartini, sekolah yang didirikan Bu Kembar. Para murid sekolah itu tak bisa lagi belajar. Mereka kini membersihkan puing-puing sekolah itu. Namun Pemerintah Jakarta Utara melarang mereka membangun kembali tempat itu. Bu Kembar dan 400 muridnya pun terusir.

"Kalau Pemerintah tidak mampu membuat sekolah, mbok ya jangan merusak yang sudah ada. Pemerintah diam saja, itu sudah bagus," kata pak Saruji, teman saya yang jadi karyawan di perusahaan kurir.

"Saya tidak bisa bayangkan bencana apa yang bakal menimpa pejabat yang membakar sekolah ini. Mungkin besuk dia kena stroke, atau asam uratnya kambuh, atau anaknya kena narkoba, atau anak perempuannya dihamili orang (husss...). Belum lagi nanti di akherat Jahanam sudah menanti mereka," Pak Saruji masih sewot dengan terbakarnya sekolah Kartini.

"Pak... pak... sabar pak. Jangan terlalu marah gitu dong," saya berusaha menenangkan pak Saruji yang mukanya merah padam.

Di TDA sebenarnya ada yang mirip dengan kisah dua Ibu teladan di atas. Saya merasa bersyukur bisa ngobrol banyak dengannya ketika acara halal bihalal kemarin. Saya tahu di rumahnya dia menyantuni puluhan anak yatim.

"Saya berusaha nothing to lose saja kok mas. Saya sudah puluhan tahun jadi karyawan. Gaji yang tidak seberapa ini sebisa-bisanya saya pakai untuk hidup keluarga dan anak-anak yatim di rumah," katanya.

"Saya cuma berfikir, tidak mungkin mengharapkan donatur terus-terusan. Maka salah satu jalan ya harus buka usaha supaya hidup kami berkembang. Keinginan saya adalah menghapus anggapan bahwa anak yatim harus dibantu. Mereka bisa mandiri. Mereka bisa bisnis." kata pegawai yang kantornya di Thamrin ini.

Dan ketika dia memulai usaha banyak sekali kemudahan yang dia terima. Kemudahan yang susah untuk dinalar secara normal. Bisnisnya cepat berkembang. Produk datang sendiri. Tempat usaha tersedia sendiri. Belum ada satu bulan buka usaha omsetnya sudah jauh melampaui banyak TDA'ers yang sudah berpengalaman.

"Apakah anak yatim adalah leverage-nya?" tanya saya

"Wah saya tidak tahu," jawabnya sambil tersenyum.

Kalau kita menggunakan nalar buku-buku bisnis, saya yakin di sana tidak tercantum orphans sebagai leverage.

Tapi kalau kita menggunakan nalar Luck Factor-nya pak A. Faiz Zainuddin, jelas sekali bahwa menyantuni anak yatim termasuk dalam kategori Blessing Others. Dan blessing others adalah 'alat dongkrak' yang jauh lebih efektif.

Kamis, 22 November 2007

Latar Belakang

Ada sebuah kisah nyata. Kisah ini diceritakan oleh James Gwee ketika menjawab pertanyaan seseorang yang merasa langkahnya tidak mendapat dukungan keluarga dan lingkungannya.

Ada sepasang kakak beradik ketika dewasa ternyata menjalani kehidupan yang sangat bertolak belakang. Sang kakak adalah seorang pengusaha sukses, bisnisnya berkembang pesat, kesibukannya tiada henti, sering diminta berbicara di berbagai forum, dan sangat dihormati oleh banyak kalangan.

Ketika ditanya apa resep kesuksesannya, dia menjawab, "Saya berasal dari keluarga miskin, orang tua saya bercerai ketika saya masih kecil, ayah saya seorang pemabuk, penjudi, perilakunya kasar, suka memukul, malas bekerja. Ibu saya lah yang menghidupi saya dan adik. Nah, saya tidak ingin mengalami peristiwa itu lagi. Saya ingin kaya, saya benci pemabuk, dan saya menginginkan keluarga yang bahagia."

Sebaliknya, kehidupan sang adik sungguh tragis. Dia menjadi pemabuk, suka judi, madat, malas, tanpa harapan masa depan. Ketika ditanya mengapa dia melakukan ini semua, jawabnya, "Saya berasal dari keluarga miskin, orang tua saya bercerai ketika saya masih kecil, ayah saya seorang pemabuk, penjudi, perilakunya kasar, suka memukul, malas bekerja. Ibu saya lah yang menghidupi kami."

"Jadi apa yang bisa saya harapkan dari latar belakang keluarga yang berantakan ini. Saya menjadi berantakan karena nasib saya memang sudah begini," tambah sang adik.

Menarik. Dengan latar belakang yang sama persis hasilnya bisa sangat berbeda. Cara pandang berbeda ternyata bisa menghasilkan output yang bertolak belakang. Semua terserah kepada masing-masing orang bagaimana mesti menyikapi latar belakang yang dimilikinya. Mario Teguh bilang, keberhasilan atau kegagalan karena sikap mental, bukan karena kapasitas mental. Berapa banyak orang yang punya pendidikan tinggi tapi bermental pengemis. Sebaliknya tidak sedikit yang pendidikannya pas-pasan tapi jadi juragan besar.

Yang menjadi pertanyaan, kalau kita sudah bisa menentukan cara pandang positif, bagaimana cara mempraktekkan sehingga bisa menjadi kenyataan?

"Pilih lah lingkungan yang pas untuk mendukung cara pandang kita. Ibaratnya kalau ingin berhenti merokok ya jauhilah para perokok," kata orang bijak.

Kalau ingin jadi pengusaha sukses ya masuklah komunitas pengusaha. Kalau ingin jadi karyawan cemerlang, ikutlah gathering-gathering yang diadakan para General Manager.

"Kalau ingin mempelajari batik gimana? Ya... dekatilah produsennya, hehe :)

Selasa, 20 November 2007

Tiru lah !

"... Jadi lah diri sendiri... Saya gak perlu memaksakan jadi Pak Roni, atau jadi Pak Abduh atau jadi Bu Yulia misalnya... atau jadi Pak Haji Ali, saya akan menjadi diri saya sendiri, kerja keras tetep, ibadah, bergaul, enjoy, tugas sosial, peduli sama keluarga, dsbnya."

Itulah komentar pak Agus Ali, juragan Auto Bridal, menanggapi tulisan "Setelah Full TDA Ngapain Ya?" nya pak Hadi Kuntoro, bos selimut Jepang.

Setuju! Tentu saja setuju dengan menjadi diri sendiri. Pertanyaannya, apakah kita sudah mengenali diri sendiri? Apakah yang kita lakukan sekarang ini sudah pas dengan karakter kita sehingga kita enjoy menjalaninya?

Pertanyaan yang sangat mudah itu ternyata cukup sulit untuk dijawab. Buktinya, seorang pengusaha sukses yang kita lihat saat ini biasanya sudah melewati fase jatuh bangun yang cukup keras. Sebelum seseorang menemukan 'jalan' yang pas buat dirinya biasanya dia mesti jatuh bangun buat menemukannya. Artinya, untuk sekadar menemukan diri sendiri seseorang biasanya 'jungkir balik' bangun dulu.

Kalau begitu bagaimana cara menemukan diri sendiri dengan cara yang cukup sederhana? Adakah metode khusus untuk menemukan diri sendiri?

Ada. Roger Hamilton sebenarnya sudah mempunyai metode yang terbukti bagus buat menemukan diri sendiri. Beberapa bulan lalu James Gwee memperkenalkan metode Roger Hamilton ini. Sayang sekali saat itu saya masih belum bisa mengikutinya. Sebabnya, biaya untuk mengikuti pelatihan metode tersebut, setelah didiskon cukup keras, kira-kira diskon 60%, biayanya masih Rp 8,5 juta. Ya sudah, sebaiknya saya 'balik kanan' dulu.

Kalau begitu adakah cara lain yang lebih efisien buat menemukan diri sendiri?

Ternyata ada juga. Kamis malam yang lalu pak Mario Teguh memberi tips cara cepat untuk bisa menemukan diri sendiri.

"Tirulah orang lain yang anda kagumi. Tiru abis dia. Bagaimana cara dia menjalankan usaha, memilih usaha, menentukan produk, memilih momen untuk launching, dan sebagainya. Pokoknya tiru saja," kata Mario Teguh.

Apakah dengan meniru itu ada jaminan kita berhasil?

"Dengan meniru anda PASTI gagal. Jelas gagal karena banyak perbedaan antara anda dan orang yang ditiru: Perbedaan latar belakang, pendidikan, kultur, waktu hidup, jam terbang, dan masih banyak lagi. Tapi dengan kegagalan itu mempercepat anda menemukan diri sendiri. Anda lebih cepat menemukan karakter yang paling pas buat anda sendiri. Dan tentu saja anda memperpendek waktu mencapai sukses."

Jadi meniru adalah sarana akselerasi untuk mencapai impian kita...

Sabtu, 17 November 2007

Klaim


"Pak Abduh, saya pembaca setia blog anda. Regarding artikel skripsi batiknya mahasiswa Malaysia, saya titip pertanyaan: Apa benar batik hak patennya Malaysia? Trus kalau bisa pak Abduh jangan terlalu mengumbar info batik, mulai sejarah, cara produksi, dan lain-lain. Kok saya khawatir ya jangan-jangan kita diperdaya lagi oleh Malaysia. Sudah mah kita sebel ama Pemerintah RI yang tidak berdaya, cuma sibuk mikirin kepentingan kelompoknya... at least kita-kita ini agak peduli. Punten ah kalau kesannya sewot. Sukses."

Kalimat di atas adalah sebuah sms yang saya terima Kamis pagi dari seorang sahabat di 08161313xxx. Ada rasa bahagia mendapat simpati dan perhatian seperti ini. Rasa ikut peduli terhadap kekayaan khazanah Bangsa adalah sebuah sikap yang harus terus didukung.

Menjawab sms tersebut saya katakan kalau mahasiswi Malaysia hanya minta izin memakai foto produk Anin Rumah Batik untuk memperkaya skripsi mereka. Bagi mereka batik ternyata tidak hanya sebuah karya seni yang ditorehkan di atas kain tapi juga bisa diaplikasikan di media non kain. Untuk batik jenis ini mereka menyebutnya dengan Batik Dimensi Baru. Dan untuk lebih meyakinkan sang dosen mereka juga minta foto proses pembuatannya.

"Terima kasih kerna sudi melayan e-mail saya...memang begitu uniq batik yang dipopularkan oleh pihak tuan. Di Malaysia sendiri belum ada lagi perusahaan seperti ini...kalau boleh, ingin saya meminta latar belakang karyawan-karyawan dari indonesia..kerana segala email ini akan dijadikan bukti dalam penulisan thesis saya nanti..disini saya sertakan biodata saya untuk pengetahuan tuan :" Demikian email dari Norafidah yang dikirim 9 September 2007.

Dia juga menambahkan, "Jika tidak menjadi keberatan boleh pihak tuan berikan gambar-gambar proses membuat batik daripada kayu."

Bagi saya tidak ada alasan untuk menolak permintaan tersebut. Hanya saja saya sudah pasang 'kuda-kuda' untuk tidak mungkin memberi tahu mereka bagaimana cara membuat Batik Dimensi Baru ini. Untuk proses pembuatannya saya hanya mengirim 3 foto. Perkiraan saya mereka tidak mungkin bisa mengetahui proses pembuatan furnitur batik hanya berdasarkan 3 foto saja. Jadi tidak ada masalah.

Secara kebetulan, malam harinya, MetroTV menayangkan acara Survey Interaktif Padamu Negeri. Pada acara tersebut dibahas bagaimana lemahnya Pemerintah kita menjaga kekayaan khazanah budaya. Sudah dua karya budaya Bangsa kita diklaim sebagai milik Malaysia. Pemerintah diam saja. Masyarakat hanya bisa marah di bibir. Adu argumen pun terjadi dengan seru.

Dua panelis yang hadir di sana, pejabat dari Haki dan seorang pengamat, memang sangat pintar bermain kata-kata. "Indonesia punya aturan yang paling lengkap mengenai perlindungan kekayaan intelektual," kata pejabat Haki. Pernyataan ini langsung disambar oleh Miing, sang presenter, "Tapi implementasinya payah."

Saya sendiri sebenarnya bosan mengikuti adu argumen tersebut. Menurut saya kita memang paling canggih kalau diajak berdebat tapi paling ringkih kalau diajak action. Meski begitu ada sebuah pernyataan dari peserta yang menurut saya paling berbobot.

"Masalahnya hanya di nyali. Pemerintah kita tidak punya nyali untuk 'menghukum' Malaysia. Hanya itu. Kita tidak perlu muter-muter ngomongnya," kata Ngatawi al Sastro, anggota Komunitas Pecinta Gasing Indonesia. Gasing atau Gangsingan adalah sebuah mainan traditional yang dibuat dari bambu. Mainan ini akan mengeluarkan suara kalau diputar dengan kecepatan tertentu. Al Sastro sendiri adalah mantan asisten Gus Dur. Ciri khas dia adalah blangkon yang tidak pernah lepas dari kepalanya. Mirip dengan topi 'Nebula' yang jarang lepas dari kepala saya, hehe ... :)

Budiarto Shambazi menulis di Kompas hari ini,

"Apa betul wayang, batik, atau Rasa Sayange milik sah RI? Soalnya RI tak pernah memperjuangkan hak cipta - itu pun kalau mungkin - atas produk-produk itu lewat WTO atau Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia.

Mustahil bagi Perancis mendapatkan hak cipta atas 'anggur Bordeaux'. Amerika Serikat pun tak berhak atas hak cipta es krim, penemuan jajanan mereka yang paling terkenal.

Tak perlu khawatir ada yang akan mampu menjiplak kehalusan batik Jawa. Namun, ironisnya, promotor batik RI yang paling terkenal di dunia adalah Nelson Mandela yang bukan bangsa dhewe.

Lagi pula Malaysia tak pernah mengklaim batik atau Rasa Sayange sebagai milik sah mereka. Jadi kalau mau nuntut, siap-siap kalah lagi seperti kasus Sipadan-Ligitan."

Kalau menggunakan logika yang dipaparkan Budiarto Shambazi ini, Malaysia sebenarnya 'cuma' memakai dan mensosialisasikan Batik, Rasa Sayange, dan lain-lain kepada dunia. Secara otomatis masyarakat dunia akan melihat kalau Batik, Rasa Sayange, dan lain-lain berasal dari Malaysia.

Di sini lah kuncinya. Jadi kalau tidak ingin karya budaya Bangsa kita dikira milik tetangga, ya sering-sering lah memasyarakatkan batik, mensosialisasikan batik seperti yang dilakukan sahabat saya.

Sahabat saya, seorang ekspat (WNI) yang bekerja di Houston sering mengenakan batik di tempat kerjanya. Teman-temannya tertarik, bosnya kagum. Dan mereka pun ingin memesan batik nan indah ini. Inilah bentuk Nasionalisme yang sesungguhnya. Nasionalisme action, bukan nasionalisme wacana.

"Kita ini aneh. Di negara tropis kok pake jas. Untuk negara tropis yang cocok ya batik," kata Wapres Pak Yusuf Kalla.

Terima kasih ya Pak... :)

Kamis, 15 November 2007

Riba & Judi: Saudara "Kandung" ?

Saya masih ingat kira-kira 10 tahun lalu banyak teman se kantor yang ikut 'bisnis' investasi. Caranya sangat lah gampang. Kita tinggal titip uang kepada seseorang. Uang kita mereka putar di instrumen pasar uang, bursa komoditi, bursa saham, dan lain-lain yang kita sendiri tidak tahu.

"Anda nggak usah pusing. Serahkan semua pada kami. Tiap bulan anda mendapat profit 10% net dari uang yang anda 'investasikan'," katanya berpromosi.

"Wah, enak sekali," kata salah satu teman saya. "Bayangkan, kita tinggal merem tiap bulan dapat 10%. Nggak ada resiko lagi," katanya menambahkan.

Maka mulailah teman saya ini memberanikan diri ber-'investasi'. Bulan pertama dan kedua dia mendapat 10%. Good. Cara mendapatkan uang dengan mudah ini ternyata mampu membuat teman-teman saya yang lain iri. Maka serentak mareka rame-rame ikut 'bisnis' yang mudah, nyaman, tidak ada resiko, tidak capek, hasilnya gede.

Anehnya, saya merasakan ada yang tidak beres dengan cara ini. Saya hanya merasa ada yang tidak beres tapi tidak mampu memberi argumen yang masuk akal.

"Kalo sampeyan nggak punya duit buat 'investasi' bilang saja. Tapi jangan ngomong kalo bisnis ini nggak betul. Kenyataannya tiap bulan saya dapat 10%," kata Sukar (sebut saja begitu), teman saya. Saya pun hanya bisa diam. Tapi tetap yakin kalo ada yang tidak beres. Jadi lah saat itu saya sendirian yang tidak ikut arus 'investasi'.

Ketika sampai beberapa bulan kemudian semua lancar-lancar saja, keyakinan saya mulai kena gerus. Saya pun mulai berfikir jangan-jangan 'bisnis' ini memang baik. Dan ketika saya mulai ancang-ancang pingin nyoba, 'badai' pun datang. Bisnis 'investasi' ini tersapu 'tsunami' dengan dahsyatnya. Semua hancur. Semua gigit jari. Tidak ada yang tersisa. Hanya saya yang 'selamat' meski nyaris jadi kurban juga.

Yang ada tinggal kenangan. Teman saya ada yang kena usd 15.000. Dia bingung mesti bilang apa kepada keluarganya. Teman yang lain lagi juga bingung mesti ngomong apa kepada pengurus masjid di kompleksnya. Ternyata selama ini dana yang dia pakai adalah kas masjid, berani benar dia. Ada juga yang pusing mesti harus bagaimana mengingat dana yang dipakai adalah dana warisan keluarga...

Dari kejadian itu saya jadi sering melamun. Mirip orang gila? mungkin ya. Saya hanya tahu ada yang salah tapi belum bisa mengemukakan.

Akhirnya saya punya kesimpulan sendiri. Judi dan riba itu 'ruh' nya sama. Saya tidak mau pusing dengan definisi apakah di situ ada unsur untung-untungannya atau tidak. 'Ruh' nya adalah keuntungan yang didapat seseorang dicapai dengan cara membuat pihak lain rugi.

Di sinilah benang merah antara bisnis halal dan bisnis TIDAK halal. Bisnis halal adalah sama-sama untung. Saya dapat uang konsumen dapat barang/jasa. Semua dilakukan atas dasar kekuatan tawar menawar. Tidak ada paksaan.

Dari sini lah kemudian saya merasa bisa menerangkan apakah sebuah praktek bisnis itu halal atau tidak halal (amat sangat syubhat banget).

"Bagaimana kalau jual beli valas?" teman saya di Solo pernah menanyakan itu kepada saya.

"Kalau kita beli valas karena valas itu dipakai untuk membeli barang impor, halal," jawab saya. "Tapi kalau yg diperjual belikan itu adalah valas an sich, maka tidak halal. Karena keuntungan yang kita dapat pasti membuat pihak lain rugi. Dan saya tetap yakin dengan jawaban saya.

Keyakinan saya ternyata mendapat 'dukungan' dari pak Mahathir (waktu masih menjabat sebagai PM), 'Soekarno kecil' dari Malaysia. Menghadapi Soros yang malang melintang dan 'merusak' Asia dengan valasnya, Mahathir bilang bahwa valas sebagai komiditi adalah haram. Yang halal adalah kita beli valas karena si penjual barang hanya mau dibayar dengan valas.

"Pak Mahathir, sampeyan telat dibanding saya," kata saya dalam hati, hehe :)

Dan praktek kuis sms yang sedang menjamur pun bisa diterangkan dengan mudah. Saat ini banyak sekali kuis sms di televisi, bahkan ada yang berkedok acara agama. Hadiahnya pun sangat menggiurkan. Bagi saya itu Haram jadah.

Satu sms kita membayar, biasanya, Rp 2000. Kalau kalah kita tidak mendapat apa-apa. Nol besar. Kemungkinan kalah adalah 99%. Hadiah yg ada diambilkan dari dana yang masuk melalui sms. Siapa yang untung? Jelas bandarnya. Jelas, ini praktek judi yang sangat kentara. Bagaimana MUI? Bagaimana Pemerintah kok diam saja?

Saya tiba-tiba ingin menulis masalah ini setelah membaca tulisan dahsyatnya Pak Rosihan, sang jawara ritel. Silahkan baca tulisannya, Sangat bagus.

Rabu, 14 November 2007

Aneka Batik

Hem Batik


Londo Batik


Ranjang Batik


Zidane Batik


"Gorbachev" Batik (maaf kpd Pak Mimbar :) )


Gepeng (Gelandangan Penggemar Batik)


Pulau se-Batik

Selasa, 13 November 2007

Duo Siti

Inilah duo Siti. Dari 5 foto mereka saya pilihkan 2 yang standar saja ya. Pesan mereka, "maaf la kami bagi yang mampu sahaja.... Jangan disalah guna ye pict kami tu....hehehehe."



Normasita



Norafidah

Senin, 12 November 2007

Apakah Ini Juga LoA?

Pada suatu hari, hatta, menurut cerita ibu mertua saya, puluhan tahun silam ketika berangkat dan pulang mengajar Beliau selalu melewati sebuah rumah.

"Rumah itu indah, cekli, tidak besar tapi sangat serasi. Bangunan dengan halamannya pas skalanya. Dan yang membuat saya kagum adalah pagarnya yang pancak suji," cerita Beliau kepada anaknya (sekarang jadi istri saya). Pancak suji adalah desain pagar yang saat itu memang jadi tren setter. Ibu mertua ingin sekali memiliki pagar seperti itu. Tiap hari pagi dan siang, kalau lewat di depan rumah itu, Beliau selalu berkata dalam hati, suatu saat kalau membangun rumah pagarnya harus pancak suji.

Dan ternyata benar. Beberapa tahun kemudian ketika cita-citanya membangun rumah kesampaian, pagarnya memang pancak suji.

Lain lagi dengan cerita Ibu saya.

Di dekat rumah orang tua saya ada sebuah rumah. Saya tidak tahu persis siapa pemiliknya. "Rumah itu pagarnya aneh. Masak pagar kok warnanya seperti itu," kata Ibu kepada saya puluhan tahun yang lalu. Pagar yang dimaksud Ibu saya adalah pagar yang warnanya kuning ndesit. Kalau bahasa gaul sekarang, kuning katro. Dari jarak 300 meter warna itu mampu membuat mata kita 'silau'. "Aku kok sebel dengan warna itu," komentar Beliau lagi.

Sayangnya, atau apesnya, tiap belanja sayur Ibu saya selalu melewati rumah dengan pagar katro itu. Jadi Beliau tidak bisa menghindar dari si 'kuning ndesit'. "Jadi panjenangan tiap hari sebel dong," goda saya. Beliau hanya tersenyum saja.

Ternyata, ketika keluarga kami akhirnya mampu merenovasi rumah tercinta, 'keajaiban' terjadi. Pagar rumah kami yang baru warnanya... kuning katro.

"Lho, warna pagarnya kok kuning, persis dengan rumah tetangga itu?" tanya kakak saya. Ibu saya juga heran kok warnanya bisa sama. Padahal yang memilih warna juga ibu saya. Orang bilang sih kualat. "Makanya kalau benci jangan benci-benci amat. Jadinya malah kepikiran terus," kami coba menggoda Ibu.

Ketika saya dan istri memulai hidup baru di Jakarta, tepatnya di Kranggan, Bekasi Selatan, kami punya tetangga dengan dua anak laki-laki yang masih kecil. Tiap hari kami selalu mendengar tangisan anak itu. Kadang tangisan itu disebabkan karena mereka berantem, atau jatuh, bisa juga karena kena marah ibunya.

"Tetangga sebelah itu kasihan ya, punya anak kok umurnya deketan banget. Jadinya kan repot." Kami sering membicarakan insiden yang sering terjadi di rumah sebelah. "Harusnya kalau punya anak jaraknya yang ideal dong," gumam kami lagi. Kami sering menggoda mereka kalau anaknya ada yang menangis. Tetangga sering hanya tersenyum saja kalau kami godain. Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka.

Ternyata ketika kami punya anak, jarak antara anak pertama dan kedua hanya 16 bulan. "Nha, sekarang rasain, repot lagi repot lagi," goda tetangga sebelah ketika melihat betapa kami cukup kelabakan menangani duo laki-laki kami. "Makanya kalau punya anak jangan deket-deket amat." Kali ini mereka punya 'amunisi' yang siap ditembakkan sewaktu-waktu.

Tidak berhenti di sini saja. Ternyata istri saya masih melahirkan lagi duo laki-laki lagi sebelum kami meninggalkan Kranggan. Ternyata kami lebih repot dibanding dengan tetangga sebelah.

Kali ini ada dua tetangga yang sering menggoda. Tetangga depan rumah punya dua anak laki-laki. Tetangga sebelah juga dua anak laki-laki. Mereka sering kompak 'bernyanyi' kalau melihat kami repot dengan empat 'pasukan'. Istri saya sering menjawab, "Paling-paling nanti sampeyan juga nggak kalah repot kalau punya anak lagi." "Kami sudah nggak ingin punya anak lagi tuh," jawab mereka sambil tertawa, hahaha...

Ajaib nggak ya. Dua tetangga kami ternyata, akhirnya, sama-sama 'menambah' dua anak lagi. Jadilah mereka masing-masing punya empat anak. Jadi lah tiga keluarga ini punya selusin anak: 11 laki-laki 1 perempuan.

Kami pun akhirnya pindah ke Bekasi. Di kompleks yang baru kami tentu saja mendapat sedikit perhatian.

Kami membawa 4 anak laki-laki. Tetangga sebelah baru satu anak laki-laki. Kedatangan kami ternyata menambah sedikit keramaian. Mereka sering mendengar saya atau istri saya yang repot menangani kalau 'pasukan' ini sedang 'berperang'. "Kasihan ibu sebelah. Tiap hari suaranya terdengar dari sini," katanya kepada pembantu kami. "Gimana nggak repot. Anaknya empat laki semua," tambahnya. Kami pun sering digoda.

"Ah, paling-paling nanti sampeyan juga banyak anak," kami tidak mau kalah kalau mendapat 'serangan' tetangga sebelah.

Apa yang terjadi sekarang... ?

Tetangga sebelah 'baru' punya 3 anak, semua laki-laki. Apa yang dulu kami alami: suara keras, tangisan, 'perang saudara', semua terdengar dari rumah kami. "Sekarang skornya satu-satu ya bu," goda istri saya kepada ibu sebelah. Dia hanya mesem-mesem saja...

Jumat, 09 November 2007

Rujukan Thesis

Beberapa waktu lalu saya diemail oleh 2 mahasiswi dari Malaysia. Mereka ingin Anin Rumah Batik menjadi salah satu referensi thesis mereka dalam rangka menyelesaikan S1. Tentu saja saya tidak keberatan.

Dua calon sarjana itu juga mengirim foto-foto mereka... ehm cantik juga, haha :))

Inilah hasilnya:


Cover
Halaman yang mencantumkan Anin Rumah Batik

Selasa, 06 November 2007

Apa Kegiatan Anda ketika TDA?

"Apa yang sampeyan lakukan di rumah ketika sudah full TDA?" tanya sahabat saya tiba-tiba ketika kami bertemu di sebuah acara.

Pertanyaan itu sebenarnya sangat simpel, sederhana, jelas, dan lugas. Tapi pertanyaan yang tiba-tiba dilontarkan tersebut cukup membuat saya kaget dan gelagapan untuk menjawabnya.

Saat itu saya tidak bisa langsung menjawabnya. Detik itu tidak ada kalimat yang bisa keluar dari mulut saya. Untuk menutupi kebingungan maka yang saya lakukan hanya tertawa dan mengatakan bahwa pertanyaan itu sangat bagus. Bagus sekali.

Kalau salah satu goal dari anggota komunitas ini adalah 100% menjadi TDA (Tangan Di Atas) alias jadi pengusaha, pemberi, dan bukan jadi orang gajian lagi, maka pertanyaan sederhana di atas sangat relevan.

Sebagai karyawan kegiatan kita sehari-hari sangat lah standar: Pagi buta sudah harus keluar rumah, berjibaku dengan pangguna jalan lain memperebutkan sejengkal aspal, menghabiskan 2-3 jam di jalanan, menghirup udara yang sangat polutif, kadang juga meneriakkan anggota Ragunan kalau kendaraannya 'digunting' orang lain. Di jalanan ini lah mungkin sebagian besar energi dihabiskan. Dan karena sering menyebut-nyebut 'saudara tua' yang tinggal di Ragunan tentu saja tingkat stres nya bertambah.

Sedangkan bagi yang naik kendaaan umum, mengejar Mayasari Bhakti jelas sekali memerlukan energi yang setara dengan olahragawan. Belum lagi di dalam bis kaki ini mesti hati-hati memilih pijakan. Salah-salah yang kita injak adalah kaki karyawati (ada untungnya sih, bisa kenalan), bukan lantai bis. Tentu saja energi kita makin terbuang kalau yang kita injak adalah kaki pengamen.

Tiba di tempat kerja langsung berhadapan dengan rutinitas. Ada memang yang pola kerjanya sangat dinamis tapi jumlahnya pasti lebih sedikit. Energi yang dipakai di tempat kerja adalah energi sisa yang sudah banyak terbuang di jalanan.

Jam 12 teng semua meninggalkan satu rutinitas menuju rutinitas lain, makan siang. Di tempat makan ini barangkali kita bisa refreshing. Di samping bisa istirahat kita juga bisa melihat 'pemandangan' lain yang tidak bisa dijumpai di tempat kerja.

Jam 13 menurut peraturan sudah harus kerja lagi, rutinitas lagi. Meski tidak jarang yang nambah jam istirahat atau bertemu rekan sejawat hingga jarum pendek jam bisa tiba-tiba mengarah ke angka 3. Dan jam 17 tepat kembali kita harus berjibaku berebut sejengkal aspal dalam rangka 'menengok' keluarga di rumah. Dikatakan 'menengok' karena waktu untuk orang yang kita cintai lebih sedikit dibanding dengan waktu buat bos.

Apakah kegiatan ini membosankan? Maybe yes maybe no. Bagi orang yang memandang dari kejauhan kegiatan ini sungguh membosankan dan menyiksa. Tapi bagi para pelaku bisa jadi ini adalah kegiatan yang menyenangkan. Bisa karena biasa. Tresno jalaran soko kulino. :)

Nah bagaimana kalau tiba-tiba kita memutuskan menjadi manusia merdeka. Manusia yang bisa mengatur diri sendiri. Yang hidupnya tidak dikendalikan pihak lain?

Pagi hari tiba-tiba kita tidak punya kesibukan super. Tiba-tiba kita bisa menyaksikan anak kita berangkat ke sekolah. Tiba-tiba kita bisa melihat tukang sayur, tukang sol sepatu, penjual ayam keliling, penjual beras, mobil menjajakan perabot, penjual remote control, tukang las, dan lain-lain.

Tiba-tiba pula ada tetangga yang bertanya, "Pak kok sekarang di rumah saja?". Barangkali kita mendengar tetangga yang ngobrol kalau kantor kita bangkrut. Atau kita dipecat karena berantem dengan bos yang tidak tahu persoalan perusahaan. Dan masih banyak lagi...

"Memang semuanya perlu transisi," jawab saya kepada sahabat yang masih penasaran dengan hari-hari jadi TDA. Dan transisi yang paling penting harus disiapkan dengan baik adalah menyiapkan mental keluarga kita sendiri. Apa yang harus dilakukan kalau tiba-tiba anak kita bertanya, "Kok bapak sekarang tidak ngantor lagi?"

Kalau mental keluarga sudah siap, sudah mendukung langkah kita, maka keputusan menjadi TDA adalah berkah. Berkah yang sangat besar.

Dan tiba-tiba tiap pagi saya selalu punya kesibukan sendiri. Kesibukan produktif. Menjadi 'aktivis' Jakarta adalah kesibukan yang (menurut saya) kurang produktif.

Jumat, 02 November 2007

Toxic Leader

Sudah lama saya tidak bertemu dengan teman saya yang satu ini. Kalau dilihat dari umur dan pengalaman dia jauh lebih berpengalaman dibanding dengan saya. Teman saya ini, sebut saja Pakne, sudah menekuni dunia usaha lebih dari 20 tahun lalu. Selama waktu itu sudah banyak asam-garam yang dia rasakan.

Begitu pula kalau dilihat dari kemampuan intelektual. Dia adalah mahasiswa yang lulus pertama di angkatannya. Bacaannya banyak. Wawasannya luas. Gagasannya cemerlang. Pergaulannya lintas negara.

Namun ada hal yang sampai sekarang mengherankan saya. Perusahannya tidak kunjung besar. Pernah sih pada tahun 80-an dia termasuk salah satu pengusaha ternama di Tanah Air tapi sayang sekali itu tidak berlangsung lama. Usahanya bangkrut. Teman-temannya, yang selama ini menjadi partner usahanya, meninggalkan dia sendirian.

Tadinya saya mencibir rekan-rekan bisnisnya yang dengan enaknya meninggalkan Pakne sendirian. Belakangan saya tahu ternyata penyebab bubarnya kongsi ini karena perilaku Pakne sendiri yang sangat tidak transparan.

Pakne berusaha bangkit. Dengan keyakinannya dia bangun sendiri usahanya. Sempat sedikit membesar, tapi bangkrut lagi. Dia berusaha lagi dengan menggandeng pihak luar. Sempat memunculkan harapan. Ternyata tidak berlangsung lama. Joint operation ini pun akhirnya bubar.

Dengan idenya yang cemerlang dia membangun bisnis lain. Dia bikin produk unik. Teman manca negaranya ikut membantu pemasarannya. Jadi lah dia pemain ekspor. Usaha ini berjalan cukup lancar selama setahun.

Tidak disangka datang lah Cina dengan produk serupa. Tentu saja harganya jauh lebih murah. Buyer manca negara minta nego ulang karena ada produk sejenis dari Cina yang lebih murah. Pakne terlalu pede. Dia tidak mau nego. Buyer nya berpaling ke 'lain hati'. Pakne tidak dapat berbuat banyak, habis!

Pakne berusaha bangkit lagi. Dia berusaha menembus pasar lokal. Disamping itu dia juga menggandeng pihak luar untuk bisnis yang lain lagi. Pasar lokal tak kunjung bisa ditembus. Kerja sama dengan pihak luar bermasalah. Tidak ada pilihan. Joint operation ini lagi-lagi bubar. Belakangan saya tahu. Lagi-lagi penyebab masalahnya adalah Pakne yang sangat tidak transparan.

Saya sering ngobrol dengan anak buah Pakne. Ternyata selama ini karyawannya sangat tidak nyaman dengan atmosfir kantor Pakne. Ternyata juga Pakne secara hukum bermasalah dengan hampir semua mitra bisnisnya.

"Pakne sebenarnya pinter merekrut karyawan jempolan. Tapi tidak lama. Mereka semua akhirnya memilih hengkang," kata salah satu dari mereka. "Pakne tidak ragu memecat karyawan kalau dia dikritik," kata yang lain lagi.

"Dia kelihatannya mendiamkan kita kalau kita berbuat salah. Tapi kalau Pakne marah semua kesalahan kita diungkit2. Semua catatan dosa kita keluar semua," kata salah satu karyawan paling senior. "Akibatnya kita bekerja bukan karena kesadaran tapi karena takut dengan Pakne," tambahnya.

Saya tahu Pakne sebenarnya punya pengetahuan agama yang sangat bagus. Tapi yang membuat saya heran adalah dia tidak ragu berbuat apa saja asal keinginannya tercapai. "Kok kayak Machiavelis," tanya saya pada suatu hari. "Yah secara prinsip dia memang Machiavelis," jawab salah satu manajernya.

Sebenarnya saya sudah agak melupakan Pakne. Tapi tiba-tiba saya dikejutkan dengan SmartFM ketika pada Kamis pagi kemarin Anthoni Dio Martin berbicara tentang Toxic Leader.

"Ada 7 ciri toxic leader," kata Anthoni Dio Martin:
1. Manajemen katak: Sikut kiri sikut kanan.
2. Senang dengan loyalitas buta dari karyawannya.
3. Suka mencipta ketakutan di kalangan anak buahnya.
4. Suka mengungkit kesalahan anak buah.
5. Memburuknya kondisi tim: Karyawan-karyawan bagus pergi.
6. Sangat tidak transparan, suka berbicara yang mengandung makna ganda.
7. Menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya.

Saya benar-benar kaget. Semua ciri tersebut kok ada pada Pakne. Saya baru tahu ternyata inilah penyebab mengapa bisnis Pakne tidak pernah mengalami kemajuan. Semoga saja Pakne mendengarkan SmartFM. Selama ini tidak ada orang yang bisa memberi nasehat Pakne...

Kamis, 01 November 2007

Aktivis

Aktivis lingkungan


Aktivis agama


Aktivis parpol


Aktivis Jakarta