Kamis, 27 Desember 2007

'Pabrik' Kami pun Tenggelam

Solo,
Setelah dua hari diguyur hujan deras terus menerus, istri adik ipar saya punya firasat kurang baik. Dia kemudian meminta suaminya membawa dua anak mereka ke tempat nenek. Sedangkan anak bungsu tetap tinggal di rumah dengan ibunya.

Meski sudah puluhan tahun kawasan itu bebas banjir, tetapi lokasinya yang tidak jauh dari Bengawan Solo membuat ibu 3 anak ini khawatir. Dan ternyata perasaannya benar.

Tanggul Bengawan Solo jebol, tidak kuat menahan arus air yang begitu deras. Dari pengeras suara di masjid diumumkan bahwa sebentar lagi banjir. Semua diminta waspada. Tetapi karena derasnya hujan, pengumuman itu kurang efektif.

Dan banjir pun datang dengan sangat cepat. Mula-mula se mata kaki, betis, dengkul, paha, dan dada. Semua hanya berlangsung dalam hitungan menit. Istri adik ipar saya pun bergegas meninggalkan rumah hanya menggendong si bungsu. Dia ditolong abang becak yang mangkal dekat rumah.

Dan dalam hitungan menit pun air sudah mencapai langit-langit rumah. Tidak ada harta yang bisa diselamatkan. Semua habis, ludes. Semua barang dagangan yang sudah siap dikirim ke beberapa kota tidak selamat. Semua catatan bisnis, cek, uang tunai, komputer, motor, barang elektronik tidak bersisa. Mirip Tsunami tapi lebih lambat kejadiannya. Alhamdulillah tidak ada kurban jiwa.

"Saya tidak bisa bayangkan apa yang terjadi kalau dua anak saya belum diungsikan. Tidak mungkin saya bisa membawa 3 anak sekaligus mengarungi banjir," ceritanya sambil terus menangis. Dia menangis bukan karena kehilangan harta tapi lebih pada rasa 'sukur' karena dua anaknya sudah diungsikan lebih dulu.

Adik ipar saya, yang selama ini menjadi suplier utama saya, baik untuk batik maupun busana limited edition, terpaksa berhenti beroperasi. Saya pun juga harus menghadapi realita ini.

Bagaimana dengan produk kerajinan batik?

Setelah puluhan kali gagal menghubungi sahabat saya, suplier utama yang telah banyak membantu, pagi ini saya berhasil ngontak nomer fleksinya. Tapi yang menjawab bukan sahabat saya.

"Bapaknya lagi ke pabrik. Dia kebanjiran. Bapak sedang membersihkan barang yang bisa diselamatkan," jawab seorang ibu, famili sahabat saya ini. Telepon GSM nya tidak selamat, nyemplung ke dalam air.

Dua tonggak saya kena musibah. Untuk sementara mereka berhenti beroperasi. Kini giliran saya yang harus bisa membantu mereka. Saya sudah ada rencana B. Mohon doanya semoga plan B ini mudah jalannya. Amin.

Sabtu, 22 Desember 2007

Ibu

Kata mereka diriku slalu dimanja,
Kata mereka diriku slalu ditimang
oh bunda,
ada dan tiada dirimu kan selalu
ada di dalam hatiku....


Penggalan syair "Bunda" karya Melly Goeslaw yang dinyanyikan pada 21 April lalu begitu sendu, khidmat, dan sangat menyentuh. Begitu sahdunya sehingga membuat hampir semua pengunjung acara di MetroTV saat itu tidak mampu membendung air matanya... termasuk saya yang melihat dari rumah

Siapa pun orangnya, dari bangsa mana pun dia, mempunyai nilai universal tentang seorang ibu. Tidak peduli kalangan berpendidikan tinggi atau rendah, kelas ekonomi atas maupun ekonomi paling bawah, apakah dia seorang ulama atau residivis, semua akan tersentuh manakala di hadapannya diperlihatkan sosok seorang ibu. Ibu yang tegar, mencintai dengan tulus, rela mengorbankan apa pun demi kebahagiaan anaknya.

Ibu adalah sosok nyata tentang nilai cinta yang tulus. Cinta yang ikhlas. Cinta yang total. Tidak ada cinta yang melebihi ketulusan cinta seorang ibu. Mencintai adalah memberi. Ikhlas adalah melepas keinginan untuk dibalas. Seorang ibu akan memberi apa pun yang dia punya tanpa sedikit pun mengharapkan balasan dari anak-anaknya. Seorang ibu akan merasakan kebahagiaan yang berlimpah manakala melihat anak-anaknya mampu tertawa lepas. Lepas dari beban kehidupan. Beban itu cukup lah jadi 'beban' ibu saja.

Begitu totalitasnya seorang ibu terhadap kebahagiaan sang buah hati, maka hanya Tuhan yang mampu membalas keikhlasannya. Tidak ada seorang anak di dunia mana pun yang bisa membalas jasa ibunya. Maka jangankan seorang anak durhaka kepada bunda, hanya berkata 'ah' saja kepada ibunya, sudah membuat Allah murka kepada seorang anak. Jadi jika seorang anak berani menyakiti hati sang ibu berarti dia langsung berhadapan dan menantang sang khalik. Dan kita semua tentu sudah tahu resikonya : Hidupnya tidak mungkin bahagia dan berkah.

Seorang ibu selalu rela 'pasang badan' manakala ada yang kurang baik pada sang buah hati. "Anak ini kok tidak terurus, bagaimana sih ibunya?" adalah komentar pertama yang dilontarkan masyarakat bila melihat ketidak beresan seorang anak.

"Anak ini bandel sekali, kemana saja sih ibunya?" komentar yang lain

"Anak kok tidak pernah sarapan, emang ibunya tidak pernah memasak?" kata guru kelasnya.

Ibu juga selalu menjadi tumpuan kesalahan. Rumah tidak bersih, mainan anak berantakan, nilai sekolah anak jeblok, anak bandel, anak lapar, anak jatuh dari sepeda, dan sebagainya. Tetapi ketika semua keadaan jadi baik dan menyenangkan: Anak mendapat ranking di kelasnya, suasana rumah nyaman & bersih, maka sangat jarang pujian dialamatkan kepada sang ibu. Dan ibu tidak protes untuk semua perlakuan yang tidak seimbang ini.

Dan ketika masa senja menjemput hari-harinya, ibu pun tidak pernah protes mengapa semua anaknya hidup menjauh dari sisinya. Dia sudah merasa nikmat hanya ditemani suami dan keheningan rumah yang telah banyak menorehkan catatan sejarah anak-anaknya. Rumah yang menjadi saksi bagaimana semuanya tumbuh dan berkembang.

Dan ibu pun akan sangat berbahagia manakala telepon rumahnya berdering, dan dari seberang sana terdengar suara yang sangat akrab di telinganya: suara anak-anak dan cucunya.

Jadi mulai lah menambah frekwensi suara kita di telinga sang ibu. Kebahagiaan ibu mampu mempercepat upaya kita menggapai mimpi. Ridlo ibu mempermudah kita 'menemukan' jalan yang tepat.

"SELAMAT HARI IBU"

Rabu, 19 Desember 2007

Resolusi 2008


Begitu membuka blog saya dihadapkan pada PR yang berasal dari Pak Iim dan mbak Catur. Bagus sekali sih idenya. Saya coba deh membuat resolusi ini:

1. Anak ke 2 & 3 Jadi 3 besar di kelas masing2. Kalo anak pertama dari dulu selalu dapat ranking.
2. Membuat kejutan produk kerajinan batik: Unik, eksklusif, terjangkau.
3. Membuat trendsetter busana batik utk anak muda.
4. Membuat merek eksklusif busana Limited Edition (yg ini non batik).
5. Membuat taman bacaan anak-anak: gratis, dekat SD.
6. Merombak rumah.
7. 'Memakmurkan' para guru.
8. Mendaftar ke Tanah Suci.

Amin... amin... amin

Dan saya teruskan PR ini ke 8 sahabat saya yg lain:
1. Pak Hantiar
2. Pak Didin
3. Pak Ramli
4. Pak Alam
5. Mbak Eka
6. Mbak Doris
7. Pak Junaidi
8. Mbak Hesti

Semoga bermanfaat.

Selasa, 18 Desember 2007

Konsekuensi


"Selamat pagi bu. Benarkah ibu kakak iparnya Rusman yang dari Brebes? Dia memberi saya nomor ini kalau ingin ketemu dengan Rusman," Demikian bunyi sms yang mampir di ponsel istri saya pagi ini.

Sms yang dikirim oleh seorang wanita ini kelihatannya sangat penting. Istri saya pun menjawabnya, "Bukan mbak. Panggilan saya memang iis tapi saya bukan kakak ipar Rusman. Hati-hati ya mbak dengan pengakuan orang."

"Hubungan kami sudah 2 tahun. Selama ini kami sudah saling curhat. Kami sudah saling memahami masing-masing. Memang sih kami belum pernah ketemu. Komunikasi kami hanya lewat internet," balas Ina (sebut saja begitu).

Dari jawaban Ina, istri saya baru tahu kalau selama ini dua sejoli tersebut menjalin hubungan hanya via chatting. Nomor ponsel Ina menunjukkan kalau saat ini dia tinggal di Hongkong. Akhirnya istri saya harus menjelaskan bagaimana si 'Rusman' bisa menemukan nomor ponselnya dan mencatut nama istri saya untuk mengelabui 'pacar' dunia maya-nya. Setelah agak lama sms-an akhirnya Ina bisa mengerti. Nomor ponsel istri saya memang terbuka karena untuk keperluan promosi.

Membuka nomor pribadi untuk keperluan promosi memang mengandung konsekuensi. Dulu pernah dicoba kalau ada telpon masuk yang menerima bukan istri saya, tetapi tidak sedikit konsumen yang lebih sreg kalau bisa berbicara langsung dengan si 'bos'. Akhirnya diputuskan lebih baik diterima langsung saja. Kalau masalah pengiriman memang dilakukan oleh orang lain.

Kisah Ina hanyalah salah satu dari sekian cerita yang dialami kalau kita memutuskan untuk membuka nomor ponsel kita. Pernah terjadi beberapa hari berturut-turut tengah malam ada telepon masuk. Karena kami yakin itu telepon iseng, kami diamkan saja. Akhirnya berhenti dengan sendirinya.

Tidak jarang ada sms yang masuk. Isinya menawarkan 'jasa' plus dari seorang laki-laki kekar, atletis, bisa jaga rahasia, memuaskan. Kami hanya menduga mungkin dari perusahaan jasa satpam karena kriteria satpam kan seperti itu: kekar, atletis, bisa jaga rahasia, memuaskan. Karena kami belum perlu satpam, 'penawaran' itu pun kami diamkan saja. :)

Dan hampir tiap hari ada saja sms iklan yang masuk. Mereka menawarkan diri mulai dari investasi, mlm, pasang iklan di berbagai media, sampai iklan jamu kuat. Juga banyak telepon masuk yang menawarkan berbagai produk investasi.

Kadang-kadang kami merasa terganggu juga dengan sms maupun telepon yang tidak dikehendaki. Namun apapun pilihannya semua mengandung konsekuensi. Kalau diprosentase sebenarnya sms maupun telepon yang tidak dikehendaki jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan sms/ telepon yang serius.

Jadi di manapun medannya pasti ada sekelompok kecil parasit. Kelompok terbesar adalah terdiri dari orang baik-baik yang memang mencari sesuatu yang baik juga.

Sabtu, 15 Desember 2007

Tempo Doeloe

Tadi malam ketika saya sedang bongkar-bongkar lemari, tiba-tiba menemukan foto lama yang bagi saya sangat berkesan. Saya sendiri lupa kapan persisnya. Kalau tidak salah 13-an tahun yang lalu.

Pertama, saya dan Anwar Haryono, sahabat saya (saat ini jadi eksekutif di sebuah perusahaan geothermal), berhasil mengejar Pak Habibie (saat itu Menristek). Kami berhasil 'menemukan' Beliau di Seskoad, Bandung. Sport jantung yang sudah berlangsung beberapa hari akhirnya berhasil kami lalui dengan sukses. Kami cegat Pak Habibie ketika Beliau selesai memberi ceramah di depan para perwira TNI-AD.


Kedua, terjadi sedikit pembicaraan antara kami dengan salah seorang perwira di sana.
"Anda kok bisa masuk ke sini, bagaimana caranya?"

"Biasa saja, pak. Kami masuk lewat pos jaga. Ditanya sedikit kemudian kami dipersilahkan masuk," jawab kami sedikit heran dengan pertanyaan di atas.

"Kok bisa ya? Setahu saya belum pernah ada wartawan yang masuk ke sini. Wartawan kan tidak boleh masuk sini..."

Saat itu saya baru tahu kalau kami membuat heran para staf dan karyawan di sana. Mereka heran kok kami bisa masuk tanpa izin khusus, tanpa surat khusus, dan tanpa prosedur macam-macam. Saya sendiri juga heran, kok kami di-heran-i....


Mungkin karena melihat kami terlanjur masuk dan terlanjur bisa berbicara langsung dengan Pak Habibie, akhirnya beberapa perwira malah minta difoto bareng dengan mantan Presiden ke 3 RI ini.... :)

Kamis, 13 Desember 2007

Kerikil

Belum lama ini Transparansi International Indonesia (TII) mempublikasikan surveynya. Hasil surveynya menunjukkan bahwa lembaga paling korup di Indonesia adalah Kepolisian, disusul lembaga peradilan, Parlemen, dan partai politik.

Kontan saja hasil penelitian ini membuat Polri berang dan marah-marah. Dalam Today's Dialogue di MetroTV Selasa malam yang menghadirkan T. Mulya Lubis sebagai perwakilan dari TII dan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol. Sisno Adiwinoto, Polri tidak menyembunyikan kemarahannya.

Bisa dimaklumi kalau Polri marah dengan hasil survey TII. Selama ini sudah banyak yang dilakukan korps baju coklat ini untuk memperbaiki diri. Banyaknya kasus illegal logging yang dibongkar, tidak sedikit mantan petinggi Polri yang ditahan, bagaimana aparat Polri dalam menangani demo di berbagai daerah, adalah bukti bahwa Polisi sekarang memang sudah berubah. Kini, Polri memang sudah oke.

Kalau begitu apa yang menyebabkan hasil survey masih menempatkan Polri sebagai lembaga paling korup? "Daily business yang kita teliti. Kita meneliti persepsi masyarakat tentang peranan Polisi sehari-hari. Bagaimana kalau polisi menilang, memberhentikan angkot, dll," kata T. Mulya Lubis. "Jadi memang hanya daily business, kejadian sehari-hari yang ditemui masyarakat yang disurvey."

Menurut situsnya, TII sendiri adalah cabang dari Transparency International (TI). TI merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan yang memfokuskan diri melawan korupsi dengan menyertakan seluruh masyarakat ke dalam sebuah koalisi international yang kuat dalam rangka membasmi efek buruk dari korupsi yang berimbas kepada kaum lelaki, perempuan dan anak-anak di seluruh dunia. Misi utama dari TI adalah untuk menciptakan sebuah lingkungan yang bersih dari praktik korupsi.

Transparency International berpusat di Berlin dan mempunyai cabang di lebih dari 90 negara.

Ternyata upaya keras Polri memperbaiki diri kurang direspon positif masyarakat. Secara internal saya yakin Polri sudah banyak berubah. Banyak hal besar yang sudah dilakukan. Tetapi ternyata ada hal kecil, hal 'sepele' yang rupanya luput dari perhatian.

Masalah 'sepele' inilah ternyata yang selama ini menjadi 'kerikil dalam kaos kaki' Polri. 'Kerikil' yang menyebabkan lembaga ini masih dinilai buruk oleh masyarakat. 'Kerikil' inilah yang membuat kita 'jatuh'.

Bagi seorang pemanjat gunung profesional, yang paling ditakuti ternyata bukanlah ganasnya medan yang harus dilalui, tetapi 'cuma' sebutir kerikil yang nyangkut di kaos kakinya. Sebutir kerikil ini ternyata mampu menghentikan langkahnya mencapai puncak.

Batu sebesar gunung yang terlihat, akan kita hindari atau kita daki, tetapi sering kita tidak melihat dan menyadari bahayanya sebuah kerikil kecil yang mampu membuat kita terpeleset lalu jatuh.

'Kerikil' kecil itu adalah cara berpakaian, cara berbicara, bagaimana kita mengkritik orang lain, bagaimana cara kita mendengarkan orang lain, dan lain-lain

Selasa, 11 Desember 2007

Jalan Santai

Kalau kita amati foto di samping ini, secara formal, acara tersebut adalah perlombaan. Bisa jadi lomba lari atau lomba jalan cepat. Adanya spanduk Start dan Finish, kibasan bendera start, adalah bukti bahwa ada yang sedang dilombakan.

Namun kalau kita amati sekali lagi bagaimana posisi, sikap berdiri, serta tingkat usia peserta, kita semua langsung faham bahwa de facto, itu bukanlah lomba. Acara itu hanyalah dolanan, seneng-senengan, fun, dan lain-lain yang tidak ada hubungannya dengan kompetisi.

Tapi meski tidak ada kompetisi ada hadiah yang diperebutkan lho. Bagaimana cara mendapatkan hadiah itu?

Ya tentu saja diundi. Namanya bisa beraneka ragam: Door prize (meski di lapangan itu tidak ada pintunya), hadiah kejutan, hadiah kaget (yang mendapatkan tentu saja kaget), dan sebagainya. Semuanya mengacu kepada satu muara, keberuntungan. Jadi hanya yang beruntung saja yang dapat hadiah, bukan yang berprestasi.

Jangan heran, acara-acara semacam inilah yang sekarang paling digandrungi warga negeri ini. Setiap ada peringatan besar yang melibatkan banyak orang, maka acara yang sifatnya dolanan pasti tidak luput dari agenda panitia. Berita mengenai Fun bike, lari santai, jalan santai, jalan bersama keluarga, badminton on the road yang melibatkan banyak menteri, pernah menghiasai hampir semua media massa Ibu Kota.

Tentu saja tidak ada yang aneh dengan kegiatan di atas. Tapi sebenarnya ada yang mengganjal dengan suburnya kegiatan fun semacam itu. Apakah masyarakat kita tidak suka dengan kompetisi? Mengapa hampir semua panitia acara besar menghindari kompetisi sebagai acara puncak? Mengapa hanya yang beruntung saja yang mendapatkan reward?

"Sekarang zaman sudah berubah. Dulu hubungan kerja karyawan dengan perusahaan adalah long-life employment: Asal karyawan rajin kerja dan tidak berpindah-pindah maka tiap tahun gajinya naik. Atau 'work long-long salary high-high'. Nasib karyawan tanggung jawab perusahaan. Sekarang sudah berubah menjadi long-life employ ability: Nasib karyawan tergantung diri sendiri. Kalau tidak bisa berprestasi ya pasti digusur dari perusahaan," kata James Gwee.

Kondisi ini terjadi karena di dunia nyata sifat kompetisi juga sudah berubah. "Dulu kompetisi low profit high, sekarang kompetisi high profit low. Jadi hanya yang punya kemampuan high saja yang bisa bertahan," tambah James Gwee.

Maka menjadi mengherankan ketika sifat kompetisi makin ketat kita malah menghindari kompetisi. Ketika di dunia realita seseorang dinilai dari prestasinya kita malah menilai seseorang dari keberuntungannya. Ketika mind set orang lain sudah berlari, mind set kita malah jalan santai...

Jadi jangan heran kalau prestasi olah raga kita pada Sea Games tahun ini jadi hancur-hancuran, hancur lebur. Pertama kali dalam sejarah Indonesia berada di peringkat paling buncit di antara 5 negara Asean Founder (Thailand, Singapura, Malaysia, Filipina, Indonesia).

"Apa hubungannya jalan santai dengan prestasi Sea Games?" tanya teman saya

"Mentalitas bangsa kita menghindari kompetisi. Padahal di dunia nyata kompetisi makin ketat. Maka inilah hasilnya...."

Sabtu, 08 Desember 2007

Ternyata Batik Tidak Dipatenkan Malaysia


Acara Survey Interaktif Padamu Negeri pada Kamis jam 20.00 minggu lalu di MetroTV ternyata membuka wawasan saya.

Acara yang dipandu oleh Miing Bagito menampilkan Dirjen Haki dan seorang ahli Hukum sebagai panelis. Sedangkan pesertanya yang saya ingat adalah mahasiswa, Komunitas Wastraprema, dan dua kelompok lagi saya lupa dari mana. Termasuk dalam Komunitas Wastraprema adalah Iwan Tirta, sang maestro Batik Indonesia.

Wastraprema sendiri adalah Himpunan Pecinta Kain Adati Indonesia.

Acara ini sebenarnya ingin menyoroti bagaimana peran Pemerintah bersama masyarakat dalam menjaga kekayaan khazanah budaya bangsa. Jadi tidak hanya terpaku pada masalah batik saja. Maka yang dihadirkan sebagai panelis adalah Dirjen Haki yang tugasnya menjaga gawang kekayaan intelektual putra Bangsa.

Yang cukup menarik adalah ternyata pembicaraan didominasi dan muter-muter pada soal perbatikan. Maklum saja, mungkin batik merupakan kasus nyata bagaimana kekayaan asli kita yang sudah ratusan tahun dipelihara tiba-tiba diklaim sebagai hasil karya Malaysia. Malaysia adalah negeri yang sebenarnya tidak kreatif tapi pintar mengelola SDM-nya. Sedangkan kita sebaliknya.

"Paten itu meyangkut penemuan teknologi baru. Adapun batik bukan teknologi baru. Maka batik tidak bisa dipatenkan," kata Dirjen Haki. Pendapat ini dibenarkan oleh doktor hukum yang malam itu juga jadi panelis. "Paten itu hanya menyangkut penemuan teknologi baru," kata pakar hukum yang juga dosen di UI ini.

"Kalau mas Iwan Tirta menciptakan motif batik, dan dia ingin karyanya tidak dibajak orang lain, maka yang bisa dilakukan adalah mendaftarkan Hak Cipta-nya ke Haki, bukan mematenkan karyanya," tambah pak Dirjen. Jadi hanya satu motif itu yang tidak boleh ditiru/dibajak orang lain.

Ketika saya masih belum mudheng dengan penjelasan Dirjen Haki, seorang pengurus Wastraprema memberi penjelasan:

"Selama ini telah terjadi salah faham soal batik. Begini lho persoalannya, ada satu perusahaan di Malaysia. Perusahaan ini mendapat order untuk membuat motif tertentu sesuai pesanan klien. Klien ingin motif yang dibuat adalah motif batik. Maka dibuatlah motif batik ini. Nah, supaya motif ini tidak dibajak perusahaan lain, sang pembuat mendaftarkan hak cipta-nya ke World Intellectual Property Rights Organization (WIPO) . Jadi hanya motif tertentu itu saja yang didaftarkan, bukan dipatenkan."

Saya sangat lega dengan duduk persoalan kasus batik ini. Motif batik jumlahnya bisa jutaan motif. Mungkin 99% diciptakan oleh orang Indonesia. Tadinya saya mengira hanya Malaysia yang berhak memakai kata batik di dunia ini....

Lalu bagaimana dengan Rasa Sayange, Reog, Rendang, Sate, dan lain-lain?

"Malaysia itu cuma nekat saja mengatakan bahwa itu berasal dari budaya mereka. Mereka cuma main nyali. Toh kita tidak punya database yang bisa diakses dunia bahwa semua itu berasal dari Indonesia..." kata Miing.

Jadi semuanya memang berpulang pada kita sendiri, diri sendiri. Bisa nggak kita menjaga kekayaan budaya Indonesia...?

Kamis, 06 Desember 2007

Maklumat

Ada pemandangan yang sedikit berbeda di RW 9 Kelurahan tetangga. Untung bukan di kelurahan saya. Beruntung lagi bukan di RW saya, meski RW saya kok ya kebetulan RW 9 juga.

Maklumat seperti foto di atas banyak sekali tersebar di berbagai tempat: di tembok pagar, rumah, pohon, tiang listrik, tiang telpon, masjid, lapangan, dan lain-lain.

Saya hanya mengira-ngira saja pasti ada sebab maklumat seperti ini bertebaran di mana-mana. Barangkali sebabnya adalah:
1. Sampah yang sudah rapi sering berantakan di bak sampah,
2. Barang yang dianggap masih berguna sering hilang,
3. Jemuran yang ditaruh di jalanan sering hilang,
4. Besi penutup got pernah hilang,
5. Besi tulang beton yang lupa dimasukkan ke dalam pagar rumah hilang,
6. Mainan anak yang masih berserakan di halaman beberapa kali hilang,
7. Sandal/sepatu yang 'diparkir' di pagar hilang,
8. Bekas wadah cat 20 kg yang dijadikan bak sampah hilang,
9. Selang air yang lupa dimasukkan ke dalam rumah hilang,
10. .... silahkan ditambahkan sendiri.

Dari beberapa sebab yang saya tuliskan saya yakin tidak semuanya benar. Mungkin yang benar hanya satu atau dua. Yang mengalami kehilangan mungkin juga hanya beberapa warga, tapi apesnya, warga yang dianggap 'penting' di RW itu. Dan akhirnya pengurus RW tidak mampu menghadapi desakan warganya supaya action, yakni memasang maklumat yang menjadikan pemulung sebagai warga yang harus menanggung dosa.

"Jakarta tidak usah pusing memikirkan sampah mereka. Serahkan semuanya pada kami. Semua pasti beres," kata pengurus paguyuban pemulung yang mengamati pusingnya Bang Yos saat itu memikirkan sampah DKI.

"Kami sebenarnya membantu pemerintah menangani sampah. Kami mampu menjadikan sampah menjadi barang yang berguna. Tapi mengapa kami dianggap sampah oleh warga?" keluh pengurus lain paguyuban pemulung.

"Kalau ada sampah warga yang berantakan, mereka selalu menuding, yang membuat berantakan kemungkinan adalah kucing, anjing, atau pemulung. Jadi kami ini disamakan dengan kucing dan anjing," kata pemulung yang lain.

Keputusan sudah diambil. Pemulung memikul dosa. Maklumat di pasang di berbagai sudut. Tiap hari seluruh warga RW 9 dan warga lain yang lewat di wilayah itu membaca maklumat itu. Dan kalau maklumat itu tiap hari terbaca oleh warga, tanpa disadari, akan masuk ke alam bawah sadar mereka bahwa pemulung adalah pendosa.

Kalau ini terjadi terus menerus, saya kok khawatir, akan terjadi LoA berjamaah. Bayangkan betapa kuatnya LoA itu kalau dilakukan secara bareng-bareng. Maka jangan heran kalau nanti di RW 9 akan terjadi masalah yang terus menerus dengan pemulung.

"Ah, pemikiran sampeyan dangkal banget. Analisis anda hiperbol, sangat didramatisir," kata tetangga saya yang jadi agen barang-barang kelontong.

"Eh, bisa jadi saya benar lho. Buktinya rumah saya aman-aman saja dengan pemulung. Mereka sering menyapa saya. Ada yang usianya 60 th lebih. Ada yang masih 14-an tahun. Mereka ramah-ramah kok..."

Selasa, 04 Desember 2007

Tembus Limit

Agak susah bagi saya memberi judul tulisan ini. Judul di atas adalah kalimat yang biasa diucapkan Pak Tung kalau dia memberikan preview seminarnya.

Tetapi yang mengilhami saya sebenarnya adalah Pak Mario Teguh. "Lakukan pekerjaan anda jauh melampaui imbalan yang anda terima saat ini. Anda akan menerima imbalan sesuai dengan jerih payah anda," demikian tips pak MT.

Maksudnya, kalau anda melakukan pekerjaan jauh di atas imbalan yang diterima sekarang, maka pada suatu saat anda pasti akan menerima imbalan yang pantas dengan jerih payah anda. Imbalan ini bisa berupa gaji kalau anda karyawan, atau profit kalau anda jadi pengusaha.

Ketika pertama kali mendengar tips itu saya agak susah mencerna maksudnya. Belum ada bayangan di kepala saya kalau imbalan/profit mampu mengejar usaha yang 'tembus limit'.

Tapi ketika melihat Kick Andy pada Kamis malam kemarin tiba-tiba kalimat yang diucapkan pak MT kembali terngiang di kepala saya. Pada episode Setetes Embun di Tengah Padang Gersang ditampilkan sosok-sosok yang melakukan pekerjaan jauh melampaui imbalan yang mereka terima.

Wanhar adalah salah satu contoh. Pada usia 14 tahun, baru lulus SD, dia terpaksa harus jadi guru di sekolahnya karena satu-satunya guru di SD itu pensiun. Tidak ada warga desa terpencil di wilayah Muara Enim, Sumatera Selatan itu, yang bersedia jadi guru. Selama 32 tahun Wanhar setia mendampingi murid-muridnya menjadi manusia yang lebih pandai, lebih berguna.

Jangan ditanya bagaimana keadaan sekolahnya. Atapnya dari rumbia dan sudah bolong di banyak tempat. Dari 60 murid yang ada sekarang, banyak yang tidak mampu membayar uang sekolah. Padahal setiap bulan setiap murid 'cuma' ditagih 5.000 rupiah. Tapi bagi orangtua murid yang umumnya bekerja sebagai penyadap karet, jumlah itu toh terasa berat. Seusai mengajar, Wanhar mencari tambahan penghasilan sebagai buruh penyadap karet.

Adapun Mahmud, seorang kepala sekolah di Tangerang, terpaksa harus menjadi pemulung setelah mengajar untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Banyak pro-kontra dia menjadi pemulung karena dianggap bisa menurunkan martabat guru. Dia tidak setuju memberi les sore hari karena badannya sudah lelah. "Badan yang lelah tidak bisa konsentrasi kalau harus memberi les," ujarnya.

Sedangkan Chandra, guru Fisika dari Malang, terpaksa harus kreatif memutar otak membuat alat peraga yang murah dan terjangkau. Ketiadaan dana tidak bisa dijadikan alasan tiadanya alat peraga. Kini Chandra sudah menghasilkan lebih kurang 26 alat peraga fisika. Bahan bakunya sangat murah karena bisa dicari di pasar loak.

Akhirnya manusia-manusia 'tembus limit' itu memperolah imbalan yang layak dan sesuai untuk pengabdian mereka. Medco Energi dan Grup Sampoerna malam itu memberikan 'kenang-kenangan' yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Sebenarnya masih ada dua manusia 'tembus limit' yang malam itu juga mendapatkan kenang-kenangan. Sebelumnya dua orang ini juga sudah mendapat 'hadiah' dari berbagai pihak untuk jasa pengabdiannya. Dua orang ini bagi saya mempunyai kisah multi dimensi yang susah diucapkan: mengharukan, lucu, inspiratif, motivatif, manusiawi. Juga gigih, kuat, takut, khawatir.

Salah satunya adalah bu guru Muslimah. Bu Muslimah adalah satu-satunya guru merangkap kepala sekolah SD di sebuah kampung di pulau Belitung. Sangat sulit menuliskan ringkasan kisah bu Muslimah di sini. Tetapi lebih sulit bagi saya membayangkan anda tidak meneteskan air mata sekaligus tersenyum membaca kisahnya yang kini menjadi buku berjudul Laskar Pelangi.

Yang satu lagi adalah Bu Rabiah. Bu Rabiah adalah suster yang dikenal dengan sebutan suster apung. Sudah lebih 29 tahun dia mengabdi kepada sesama di pulau-pulau terpencil Indonesia. Bagi saya cukup sulit menuliskan ringkasan kisahnya di sini.

Singkatnya kini Bu Rabiah sudah mendapatkan apa yang dia impikan, 'ambulan' terapung sumbangan dari Wapres Jusuf Kalla, plus sumbangan dari Bu Menkes dan berbagai sumbangan dari pihak-pihak yang bersimpati kepadanya.

Jadi, lakukan pekerjaan anda jauh melampaui imbalan yang anda terima saat ini. Suatu saat anda akan menerima imbalan sesuai dengan jerih payah anda....

Sabtu, 01 Desember 2007

Warsa (Warung Sayur)

Di kompleks tempat tinggal saya ada 4 warung sayur yang cukup komplit. Sebenarnya kalau dihitung mungkin ada 8 warung sayur di blok B kompleks rumah saya. Tapi menurut saya yang layak diamati ya cuma empat ini.

Yang pertama orang-orang menyebut dengan warung Bu Mul. Warung ini bukanya relatif paling siang dibanding dengan yang lain. Biasanya jam 6.00 Bu Mul dan suaminya menyiapkan dagangannya. Setelah selesai semuanya barulah Pak Mul pergi mengajar ke sekolah yang tidak jauh dari situ.

Meski bukanya paling siang tapi warung bu Mul termasuk paling ramai. Konsumennya biasanya ibu-ibu rumah tangga. Mungkin buka agak siang paling pas buat konsumen yang sengaja disasar Bu Mul. Karena segmennya ibu-ibu maka bu Mul berusaha membuat dagangannya sangat komplit. Semua ada meski dalam jumlah kecil. Jadi konsumen yang ingin membuat menu apapun bahannya selalu ada.

Pembelinya ternyata tidak hanya dari blok B tapi blok A juga ada. Bahkan penduduk luar kompleks tidak sedikit yang berbelanja di sini. "Komplit, orangnya ramah," kata pembeli blok A. "Komplit, suasananya nyaman. Padahal tempatnya biasa saja," komentar pembeli yang lain.

Kalau hari libur jangan harap masih kebagian yang diinginkan kalau kita datangnya agak siang. Sabtu-Minggu warung bu Mul selalu diserbu karyawati yang banyak kos di sekitar kompleks.

Tidak jauh dari bu Mul ada warung sayur milik pak RT. Warung ini bukanya paling pagi. Biasanya subuh sudah stand by. Warung ini juga cukup ramai. Dia punya pelanggan tetap, yaitu pada pecinta ikan. Spesialisasi warung pak RT memang ikan. Ikan apa pun ada. Meski pelanggannya tidak sebanyak bu Mul tapi karena harga ikan cukup tinggi, omsetnya mungkin tidak jauh dengan bu Mul.

Agak jauh dari tempat itu, dekat lapangan, ada warung sayur. Dagangannya komplit juga. Buka lebih pagi dari bu Mul. Punya pelanggan tetap karena segmennya RT 7 dan 8. Kalau bu Mul RT 3 & 4.

Tetapi akhir-akhir ini warung itu tampaknya mulai kesulitan 'nafas'. Makin hari makin sedikit barang yang dipajang. Aneh karena punya pelanggan tetap tapi mengapa bisa 'ngos-ngosan'?

"Terlalu banyak diutang. Banyak yang bayarnya sebualan sekali, itu pun sering tidak dibayar lunas," kata tetangga dekat warung itu.

Dan satu lagi adalah warung sayur yang letaknya di luar kompleks tapi banyak tetangganya yang memilih belanja di bu Mul. Barang dagangannya sebenarnya komplit. Warungnya cukup besar. Tempatnya luas. Mengapa jarang yang belanja di warung ini?

"Penjualnya kurang simpatik. Kalau kita jarang beli di situ, pelayanannya kurang enak. Mukanya selalu ditekuk," kata tetangganya yang memilih belanja di bu Mul.

Fenomena bu Mul cukup menarik. Barang dagangannya sama dengan warung lain. Dua warung cukup eksis, dua lainnya sedang 'menunggu hari'. Yang 'menunggu hari' punya masalah internal masing-masing: Yang satu tidak bisa mengelola piutang yang satu lagi karena faktor pemilik warung yang jarang senyum.

Adapun warung pak RT cukup cerdik. Meski dagangannya sama dengan bu Mul tapi dia mengambil niche penggemar ikan. Kebetulan di kompleks saya banyak warga yang berasal dari Palembang dan Medan, penduduk yang sangat gemar makan ikan. Jadi pak RT tidak bertarung secara frontal dengan bu Mul.