Senin, 31 Maret 2008

Tren Instan



Saya mendapatkan foto ini ketika pergi ke Bandung beberapa waktu lalu. Saya mengambil foto itu pun sebenarnya tidak sengaja. Mobil yang saya tumpangi kebetulan terjebak macet. Dari pada bingung saya melihat iklan yang cukup menarik. Dan karena tidak mungkin turun dari mobil saya terpaksa pakai lensa jarak jauh. Jadi mohon maklum kalau gambarnya kurang bagus.

Di daerah arah ke Cihanjuang banyak sekali, tepatnya amat sangat banyak, iklan ukuran kertas A4 ditempel di sembarang tempat. Ada ratusan, mungkin ribuan kertas ditempel di pagar rumah orang, di tiang jembatan layang, di angkot, di warung kaki lima, dan lain-lain.

Tidak hanya sarjana ekonomi yang ditawarkan. Gelar apa pun bisa anda dapatkan dengan mudah. Bahkan titel S2 dari berbagai disiplin ilmu juga banyak ditawarkan. Kita tinggal menghubungi nomor tersebut, maka gelar sarjana tidak sulit didapatkan. Saya sendiri heran mengapa iklan seperti itu sangat banyak bertebaran, dan kelihatannya didiamkan saja.

Budaya instan barangkali memang sedang menjadi tren di negara ini. Orang ingin sukses secara cepat tanpa perlu proses. Pingin kaya tanpa perlu berfikir cerdas. Ingin berhasil tanpa perlu melewati proses pembelajaran. Pokoknya ingin mendadak kaya, mendadak ngetop.

Akibat dari banyaknya iklan yang menawarkan titel dengan sangat mudah ini membuat saya jadi tidak percaya pada calon2 pemimpin daerah pada pilkada. Mereka sering mencantumkan titelnya berderet-deret supaya dipilih orang: Drs Anu, SH, MSc, MHum atau Ir Anu, SH, SE, MSc. Atau pakai gelar agama KH. Drs Anu, Sag, MSc. Dan masih banyak lagi. Padahal masyarakat sekarang sudah sadar orang yang titelnya berderet-deret biasanya malah cenderung tidak bener.

Sabtu kemarin saya kedatangan sahabat. Dia datang ke rumah membawa sebuah brosur yang sangat lengkap dan rinci. Brosur itu berisi informasi soal jasa renovasi rumah. Perusahaan ini melayani jasa mulai dari membuat gambar 3D sampai renovasi selesai. Sahabat ini meminta pendapat saya apakah brosur yang dia buat sudah cukup 'mengudang' calon konsumen atau belum.

Saya merasa beruntung karena pernah mendapatkan ilmu dari ActionCoach sehingga bisa memberi masukan. Setelah itu dia bercerita bagaimana susahnya membangun usaha. "Saya sudah mencoba beberapa usaha mengapa selalu gagal?" tanyanya. "Tidak sedikit dana saya keluarkan tapi selalu habis," tambahnya.

"Dalam bisnis kita harus punya mimpi besar tapi mulainya dari apa yang kita mampu," jawab saya. Kalau kita langsung main dengan dana besar biasanya habis tak berbekas. Tidak ada jalan pintas. Semua perlu proses. Kalau mau 'pintas' kita harus punya ide sangat brilian yang sama sekali belum pernah dilakukan orang lain sehingga prosesnya bisa sangat dipercepat. Tidak ada instan dalam bisnis. Kalau kita bisa 'berhasil' dengan instan biasanya sebentar lagi akan jatuh secara instan juga.

Berhasil instan dan jatuh juga instan, adalah keniscayaan.

Di Kompas minggu kemarin ada contoh menarik soal sukses instan dan jatuh instan. Seorang pemuda asal Solo bisa langsung kondang menjadi selebriti setelah namanya diubah menjadi Ian Kasolo (bukan Kasela). Dia amat terkenal karena berhasil ikut kontes yang mengandalkan sms. Dan ketika produser acara sudah tidak memakainya lagi, hidupnya juga berubah drastis, kembali ke titik nol. Sempat depresi dan hampir bunuh diri. Beruntung ada sahabat yang menolongnya. Sekarang dia harus bisa bersyukur menjadi pengantar katering di perumahan. Penampilannya tidak berubah, masih Ian Kasolo, yang memang mirip Ian Kasela.

Pak Mario Teguh mengatakan, ada kepantasan untuk segala sesuatu. Apakah kita sudah pantas untuk sukses? Apakah perilaku kita sudah pantas seperti perilaku orang yang sukses?

Selasa, 25 Maret 2008

AninRumahBatik feat Artis Top

Tanggal 26 Feb yang lalu, secara iseng, nekat, plus yakin saya kontak manajemen salah satu artis papan atas yang sekarang menjadi idola kaum muda.

Saya tawarkan sebuah kerjasama unik, eksklusif, menarik (minimal menurut penilaian saya) plus 'aneh'. Saya hanya yakin saja apa yang saya tawarkan belum pernah dilakukan orang lain. Kalau kata Bob Sadino, pokoknya be different.

Selesai menghubungi mereka saya langsung melupakan apa yang baru saja saya lakukan, nothing to lose lah, biar nggak kecewa kalau mereka mengabaikan usulan saya.

Ternyata dua hari kemudian, tepatnya sore hari, mereka tiba-tiba menelepon saya. "Pak, kami tertarik dengan usulan anda. Kalau bisa kami ingin secepatnya bertemu. Kami ingin mendengarkan paparan bapak secara lengkap dan detil."

Kaget, nggak nyangka, surprise. Secepat ini mereka merespon usulan saya. Dan yang bikin saya gelagapan adalah saya sama sekali belum siap dengan 'proposal' nya. Tadinya saya pikir mereka akan lama menanggapi usul saya, itu pun kalau ditanggapi. Buru-buru saya harus menyiapkan tim untuk merealisasikan gagasan saya. Saya minta mereka secepatnya menyelesaikan peluang ini.

Namun sayang sekali, berhubung saya harus mudik ke Solo, dan kebetulan tim kami juga sedang repot-repotnya, 'proposal' inipun tertunda, dan baru selesai 2 minggu yang lalu. Dan kini giliran sang manajer artis tersebut yang repot.. :)

Beberapa kali kami membuat janji bertemu tapi selalu ada saja halangan. Kalau saya bisa, mereka yang nggak bisa. Kalau mereka bisa, saya akan berusaha sebisa-bisanya meski mungkin sudah ada rencana lain alias kurang bisa.

Perkembangan terakhir kami sepakat bertemu dua hari lagi.

Tapi tiba-tiba siang ini saya dapat telepon dari Departemen Perdagangan. "Pak Abduh, kami mengundang bapak untuk datang ke acara yang kami adakan Kamis lusa tanggal 27 Maret, bisa kan pak?"

Antara bingung dan gimana.... Saya jawab saja 'bisa'. Ada 2 peluang jangka panjang yang starting point nya dimulai pada Kamis lusa, dan dua-duanya waktunya 'bentrok'. Kira-kira pihak mana ya yang waktunya bisa dinego ulang? Mudah-mudahan nanti malam ada ide menemukan jalan keluar yang baik....

Rabu, 19 Maret 2008

Blok D ITC Mangga Dua, Riwayatmu Kini

Senin kemarin setelah meeting di daerah Kota Lama, saya menyempatkan diri menengok Blok D Lantai Dasar ITC Mangga Dua, 'markas' TDA ketika pertama kali dicanangkan. Susah menggambarkan perasaan saya saat itu yang campur aduk: kangen dan haru.

Di sinilah pertama kali TDA langsung mengadakan action setelah talkshow dengan pak Haji. Dan tepat setahun kemudian ke 14 kios terpaksa 'lempar handuk'. Hanya tinggal satu orang member TDA yang masih di sana, tapi tempatnya di luar, di konter pulsa. Pak Nusyirwan namanya.

"Area ini sekarang sudah bukan lagi milik pak Haji," kata pak Nusyirwan. "Di area ini (lantai dasar) pak Haji hanya tinggal punya satu kios. Kalau di lantai atas semua masih milik pak Haji," tambahnya.


persiapan membuka kios, 26 Januari 2006


Bekas 'markas' TDA kini, 17 Maret 2006


'Lorong' TDA yang difoto pak Roni 30 Desember 2007


'Lorong' itu pada 17 Maret 2008

'Jembatan' WK

"Selamat pagi pak Abduh. Saya dari PT xxx (sebuah BUMN) tertarik dengan Anin Rumah Batik. Kebetulan kami sedang mencari mitra. Bagaimana kalau Bapak kami undang ke kantor kami?"


Itulah cuplikan pembicaraan kami Kamis minggu lalu. Dan Senin kemarin saya datang ke kantor BUMN tersebut. Rupanya terjadilah simbiose 'tumbu ketemu tutup'. Kami sepakat mengadakan kerja sama. Mereka memberi banyak fasilitas kepada Anin Rumah Batik. Sebaliknya kami dituntut mampu menyediakan lebih banyak lapangan kerja. Sebuah permintaan yang membuat saya sangat bangga: 'Menyediakan lebih banyak lapangan kerja'.

Hal ini terjadi setelah iklan dan tulisan saya dimuat di majalah WK.


Mengenai tulisan saya 'Batik di Atas Kayu' ada riwayatnya. Suatu pagi saya telpon Pak Isdiyanto. Saya punya ide menarik mengenai merchandise. Ternyata jawaban pak Is cukup simpel, "Kirim saja ke saya contohnya. Saya punya pasarnya. Sekalian saja Anda bikin tulisan tentang batik."

Tentu saja kesempatan ini tidak saya lewatkan. Terima kasih kepada majalah WK yang telah menjadi 'jembatan' antara kami dengan BUMN itu.

"Anda beda, mas. Ada ratusan proposal yang masuk minta menjadi mitra tapi terpaksa ditolak karena kurang unik. Produk anda unik, beda," kata pejabat BUMN tersebut. Pernyataan ini membuat saya sangat bangga sekaligus deg-degan...

Sabtu, 15 Maret 2008

Sepatuku

Inilah wajah sepatu saya. Ya, inilah sepatu yang biasa saya pakai ke kantor dua tahun lalu.

Sejak Maret 2006 alas kaki tersebut resmi saya kandangkan. Dan karena saya bukan tipe seorang penyimpan barang yang baik, ya beginilah jadinya.

Sejak saya resmi menjadi manusia 'merdeka', frekwensi alas kaki itu saya pakai bisa dihitung dengan jari tangan.

Untuk pergi kemana-mana saya merasa sangat nyaman hanya dengan mengenakan sepatu sandal. Sepatu sandal kulit yang khusus saya pesan di Solo. Saya bisa pesan sesuai dengan keinginan saya. Istilah kerennya, sangat customized. Meski saya dibuatkan khusus, harganya tidak beda dengan toko sepatu kulit yg bertebaran di mal-mal, alias terjangkau, tidak 'wah'.

Hanya pada acara-acara tertentu saja saya 'terpaksa' mengaktifkan sepatu ini, seperti menghadiri undangan pernikahan atau bertemu dengan orang-orang yang saat ini diberi amanah oleh Negara memegang jabatan tertentu. Dan ini membuat saya sibuk membersihkan dan menyemir sehingga kelihatan pantas dikenakan masuk ke kantor gedongan.

Namun, barangkali, mulai minggu depan saya terpaksa agak mengaktifkan kembali alas kaki ini. Sebabnya, kemarin pagi saya tiba-tiba ditelpon oleh salah satu BUMN besar. Mereka mengetahui nama saya setelah membaca majalah WK-nya Pak Isdiyanto.

Mereka menginginkan bertemu saya, mengundang saya ke kantor mereka. Mereka ingin membicarakan usaha yang saya geluti, mengajak kerja sama, ingin... bla...bla...bla....

Terima kasih kepada Pak Is yang telah menjadi 'jembatan'. Pak Is memang punya visi dan pandangan jauh ke depan. Majalah WK cukup telaten 'mengawal' para member TDA membangun 'tangga' ke atas.

Dan 10 tahun nanti, ketika banyak member TDA sudah 'jadi' dan cukup 'mewarnai' Negeri ini, otomatis WK juga 'mewarnai' dan 'terwarnai'. Amin

Kamis, 13 Maret 2008

Siklus

Senang-susah, hidup-mati, sedih-bahagia, siang-malam, besar-kecil, naik-turun, untung-rugi, sehat-sakit, tua-muda, pria-wanita, ...

Adalah pasangan atau siklus yang mesti kita jalani. Kita tidak bisa menghindari itu karena itulah ketentuan sang Pencipta.

Maka ketika pada rabu sore minggu yang lalu saya diberi tahu bahwa ayah masuk ICU karena stroke, saya pun sangat terkejut, kaget, tidak percaya.

Selama ini Beliau sehat walafiat. Tidak ada keluhan besar yang dirasakan. Tetapi ketika tekanan darahnya diukur baru ketahuan bahwa Beliau mempunyai tekanan darah tinggi.

"Untuk orang seusia Beliau seharusnya tiap bulan rajin mengukur tensi," kata suster di ruang ICU.

"Selama ini Ayah tidak pernah mengukur tensi karena merasa sehat-sehat saja," jawab kami. Sebuah jawaban klasik dan manusiawi.

Saya sebenarnya cukup shock dengan kondisi ayah yang sampai sekarang belum sadar juga, sampai kemudian saya teringat dengan perkataan Bob Sadino di VCD (hadiah dari pak Isdiyanto) tentang siklus hidup yang saya tulis di atas. Barangkali inilah salah satu siklus yang mesti kami jalani...

Ketika perasaan saya masih sukar digambarkan, tiba-tiba saya membaca sebuah berita dari Kompas.com :
"Warga miskin (gakin) bernama Iis Maya (20) meninggal di rumahnya karena tidak memiliki biaya berobat, pada hari Kamis (13/2) sekitar pukul 08.00 WIB, di RT 04/03 Kelurahan Poris Plawad Indah Kecamatan Cipondoh Kota Tangerang. "Korban tidak pernah mengeluh sakit apa sehingga keluarga tidak ada yang tahu dia meninggal," kata Kakak korban, Saodah (30), di Tangerang, Kamis (13/3)......."

Ternyata tidak ada alasan untuk tidak mensyukuri karunia yang diberikan Allah kepada keluarga kami. Kami masih jauh lebih beruntung...

Mohon doanya bagi Ayah saya....
Terima kasih.

Selasa, 04 Maret 2008

Batik Salon

Intermezo, tempatnya di Connecticut, USA. Kok malah nyelonong ke sana... Tidak lama lagi ada di Indonesia.

Masih mimpi? Sekarang mimpi saja dulu. Nanti kan terwujud... :)


Batik Salon employees (on their day off) pose for their photo at the Ribbon Cutting Ceremony


Chamber Members at the Ribbon Cutting for Batik Salon 2-20-06 at their new location

Sabtu, 01 Maret 2008

High IQ Low EQ


"Mengapa kalau orang yang IQ nya tinggi biasanya EQ nya jeblok?"

Sebuah pertanyaan lewat sms yang ditujukan kepada Anthoni Dio Martin dua minggu lalu masih saya ingat sampai sekarang.

Pertanyaan itu bermakna, mengapa orang yang kecerdasan intelektualnya tinggi kecerdasan emosinya 'jongkok'?

Agak susah sang nara sumber SmartFM ini menjawab. Sebab menurut teori seharusnya kalau orang mempunyai IQ tinggi EQ nya juga tinggi. Namun realitas sering berbalik dengan teori. Apakah teorinya salah atau hanya orangnya saja yang salah?

Orang yang kecerdasan emosinya rendah biasanya susah untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Dia merasa bisa mengerjakan segala sesuatu sendirian. Tidak perlu bantuan orang lain. Di sinilah problem itu muncul.

Ego yang sangat tinggi selalu menganggap dia lah yang paling benar. Setiap masukan dari orang lain jarang yang didengarkan. "Dulu waktu sekolah rankingmu kan di bawah. Mengapa aku harus mendengarkan orang yang lebih bodoh dari saya?" kalimat yang sering terdengar manakala ada masukan kepada sang cerdas.

Sayangnya, biasanya orang yang EQ nya rendah di kemudian hari jauh dari komunitas. Hidup menyendiri karena suka menyakiti hati orang lain. Susah menemukan teman baik padahal pada awalnya dia termasuk ekstrovert.

Saya sendiri sangat bisa memahami pertanyaan via sms tersebut. Saya sendiri pernah merasakan selama beberapa tahun bergaul dengan teman yang IQ nya tinggi tapi ternyata EQ nya rendah. Dia sangat cerdas. Idenya sangat banyak. Namun sayang sekali hampir semua idenya tidak ada yang bisa dieksekusi. Penyebabnya tidak ada mitra bisnisnya yang tahan bergaul dengannya. Banyak manipulasi yang dia lakukan. Banyak laporan palsu yang dibuat. Sehingga sampai sekarang praktis tidak ada bisnisnya yang berjalan dengan layak.

"Seharusnya kalau IQ nya tinggi EQ nya juga tinggi. Kalau EQ nya rendah berarti ada something wrong," kata Dio Martin. "Biasanya karena ke-aku-annya yang terlalu tinggi menyebabkan EQ nya rendah," tambahnya.

Saya setuju dengan Dio Martin, IQ tinggi seharusnya EQ juga tinggi. Saya melihat banyak orang sangat cerdas di TDA tapi mereka rendah hati. Banyak lulusan perguruan tinggi top di negeri ini yang jadi member TDA, dan mereka rendah hati. Banyak juga yang S2 dan mereka tetap mau sharing dengan member lain. Sekadar contoh saja (hanya salah satu saja) adalah pak Afrizal...

Pameran ke Warsawa


"Selamat sore. Pak Abduh, kami dari Deplu. Menurut data kami bapak mendaftar untuk IndonesiaExpo di Warsawa. Apakah benar?"

"Betul mbak. Waktu itu saya bertemu dengan Pak Mangasi Sihombing (Dubes Indonesia untuk Eropa Timur). Saya katakan saya ingin ikut Indonesia Expo. Oleh pak Dubes saya dipertemukan dengan staf Beliau."

"Jadi keikutsertaan bapak bisa kami conform ya?"

"Sebentar mbak. Kalau saya oke, bagaimana dengan biayanya, karena setahu saya ada fasilitas dari negara untuk produk kami."

"Maaf pak, dengan menyesal untuk bapak belum ada fasilitas."

"Jadi semua biaya saya tanggung sendiri? Terus yang dapat fasilitas yang seperti apa?"

"Kami kurang tahu persis tapi kebetulan untuk bapak sudah tidak ada fasilitas."

"Wah kalau begitu dengan terpaksa kami belum bisa ikut mbak."

"Baik pak. Selamat sore..."

Itulah obrolan saya dengan staf Deplu via telepon pada rabu sore minggu lalu. Mudah-mudahan ini hanyalah penundaan saja. Lain kali menjadi kenyataan...