Jumat, 30 Mei 2008

Saatnya Kolaborasi

"Pak, bisa bikin kursi teras, model kursi sedan, sandaran dan dudukan rotan, rangka kursinya dibatik nuansa hijau. Mejanya bulat, tengahnya rotan, rangka meja dibatik juga."

Itulah sms yang saya terima hari Sabtu lalu. Ada dua hal yang membuat saya merasa sangat tertantang dengan permintaan tersebut.

Pertama, yang memesan produk itu adalah seorang pelanggan yang dulu pernah memesan furnitur batik kepada kami. Dulu pelanggan ini berani mengambil resiko memesan produk yang sama sekali baru dan eksklusif.

Furnitur batik yang dulu dipesan adalah sebuah meja televisi dengan desain yang customized. Desain yang sesuai dengan permintaannya. Saat itu kami sama sekali belum pernah membuat furnitur seperti itu.

Antara khawatir dan was-was kami memberanikan diri menerima tantangan itu. Saat itu yang membuat kami khawatir adalah kalau produk pesanan yang kami buat tidak sesuai dengan harapan konsumen. Apalagi nilainya tidak kecil.

Beberapa hari setelah pesanan kami serahkan, tidak ada komentar apa pun mengenai kualitas buatan kami. Email yang saya layangkan tidak berbalas... Pasrah.

Dan ketika Sabtu lalu sang pelanggan melakukan pesanan lagi, pesanan yang customized, ada rasa bahagia yang sukar diucapkan. Itu artinya kualitas buatan kami cukup memuaskan harapannya.

Yang kedua, inilah saatnya kami melakukan kolaborasi dengan produsen furnitur rotan. Kolaborasi demi melayani pelanggan.

Saya berhasil menemukan produsen furnitur rotan setelah membongkar file-file lama. Saya mendapatkannya ketika setahun lalu saya mengunjungi pameran Inacraft di jcc. Apa yang saya temukan setahun yang lalu ternyata ada manfaatnya di kemudian hari...

Selasa, 27 Mei 2008

Ternyata Tokoh Saudagar Minang

"Pak Abduh, saya tertarik dengan tongkat komando batik. Bagaimana caranya saya ke tempat bapak?"

Itulah sekelumit pembicaraan saya dengan orang yang tertarik dengan produk seni batik.

Tadinya saya ragu apakah produk yang tidak biasa, seperti tongkat komando batik, bisa menarik minat orang untuk membelinya. Ternyata apapun produknya, pasti ada pasarnya. Semuanya tergantung kita apakah bisa mencari segmen untuk produk unik yang kita buat.

Kemarin akhirnya sang pelanggan datang ke tempat saya. Agak susah payah beliau menemukan 'markas' kami karena letaknya memang terpencil, tidak strategis. Saya memang sengaja memilih lokasi ini karena konsumen yang saya sasar bukan konsumen retail, tetapi konsumen pedagang dan konsumen kolektor.

Kami mengobrol tidak bisa lama karena beliau harus segera meneruskan perjalanan ke Bandung. Saya dan istri mendapat masukan positif yang cukup berarti. Saat itu perasaan saya mengatakan bahwa orang yang ada di depan saya punya kelas tersendiri. Dari caranya berbicara dan pengetahuannya yang luas tentang produk budaya mengindikasikan bahwa dia memang seorang tokoh.

Setelah memilih beberapa tongkat komando batik untuk dikoleksi, giliran dia menunjukkan kepada saya koleksi tongkat yang dibawanya.

"Tongkat ini asli dari akar bahar. Asli dari Bangka. Saya membelinya di Inacraft seharga Rp 800.000,-."

Saya cukup kaget dengan pengakuannya. Tongkat yang sangat kecil, lebih kecil dari pada tongkat komando kami, ternyata harganya berlipat dibanding produk kami.

"Saya memang kolektor tongkat. Saya mengumpulkan tongkat segala jenis, segala ukuran, dari mana saja," katanya.

Oh, pantas saja ketika tahu harga produk kami dia tidak banyak menawar dan langsung setuju dengan harganya. Setelah memberi masukan tentang produk seni yang seharusnya kami buat beliau pun pamit. Untung sebelum pergi saya sempat menanyakan nama lengkapnya.

Hari ini ketika saya mencoba bertanya kepada mas Google, ternyata perasaan saya benar. Dia seorang pengusaha, pendiri Organisasi Minang di Rantau. Dia juga seorang tokoh SAS, sebuah organisasi masyarakat minang yang paling kompak dan tersohor ke mana-mana, termasuk mancanegara. Beliau selalu dipanggil 'Pak Ketua'. Kalau tidak salah gelarnya adalah Dt. Rangkayo Sati nan Mulia.

Saya merasa mendapat kehormatan telah dikunjungi seorang tokoh Silaturahmi Saudagar Minang.

Rabu, 21 Mei 2008

Batik, Antara Bill Gates dan Nelson Mandela

Ada kisah menarik seputar kunjungan Bill Gates ke Indonesia awal bulan ini. Di sini saya salinkan kisahnya dari Detik.com.

-------------

Bill Gates menjadi pusat perhatian banyak orang ketika memberi kuliah umum di hall Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Jumat (9/5/2008). Bill Gates membawakan presentasi mengenai 'Second Digital Decade'.

Bisa jadi acara ini diikuti oleh jutaan orang. Sebab, selain ribuan orang yang memadati JCC, jutaan orang bisa menyaksikannya lewat televisi. Sejumlah media elektronik pun berlomba-lomba memberitakan Bill Gates. Tepukan tangan berkali-kali dalam acara yang juga dihadiri Presiden SBY itu.

Di luar isi presentasi yang serius-serius, ada hal menarik yang membuat orang terpesona melihat Bill Gates: baju batik yang dikenakannya. Gara-gara baju batik Bill Gates ini, Presiden SBY pun mengganti kostumnya, dari jas lengkap berdasi, menjadi baju batik lengan panjang warna ungu-merah-keemasan.

Wajar bila Presiden SBY juga ikut ganti baju. Sebab, berdasarkan penelusuran detikcom, dalam acara ini, seharusnya Bill Gates memang mengenakan pakaian resmi: jas dan berdasi. Tapi, perubahan begitu cepat terjadi.

Ternyata ada tawaran lain yang membuat Bill Gates tertarik mengubah kostumnya dan memilih mengenakan baju batik. Adalah Rachmat Gobel, bos Panasonic, yang mempunyai inisiatif menawarkan baju batik kepada Bill Gates. Selain produk asli Indonesia, baju batik juga sudah dikenal sebagai baju yang pro lingkungan.

Karena Bill Gates menerima tawaran itu, Rachmat pun menghubungi desainer batik kondang, Iwan Tirta. Tanpa basa-basi, Iwan Tirta yang sudah kesohor itu pun memilihkan baju batik untuk Bill Gates. Baju batik warna keemasan dengan motif 'pisang bali manggar' dirasa sangat cocok untuk Gates. Motif ini merupakan motif yang sering dipakai oleh para anggota kerajaan Mangkunegaran Solo.

Oleh Iwan Tirta, baju batik itu lantas diberikan kepada Rachmat Gobel untuk selanjutnya diserahkan kepada Bill Gates. Dan ternyata, Bill Gates benar-benar mengenakannya. Bill Gates pun semakin memesona banyak orang. Padahal, banyak pejabat dan politisi yang hadir mengenakan pakaian jas.

--------------------

Kisah Bill Gates ini sangat mirip dengan peristiwa yang terjadi antara Nelson Mandela dengan Pak Harto pada Juli 1997. Kisah ini pernah saya tulis di sini.

Saat itu, ketika Pak Harto dengan pakaian lengkap jas dan berdasi bersiap menyambut Mandela, ternyata Mandela yang saat itu menjadi Presiden Afrika Selatan datang mengenakan pakaian batik. Bedanya dengan Pak SBY, Pak Harto saat itu tidak sempat mengganti bajunya dengan batik.

Kita patut bangga bahwa batik mendapat apresiasi yang begitu besar dari tamu negara. Seharusnya lah batik dijadikan pakaian resmi kenegaraan. Batik adalah produk budaya, maka sangat pantas kalau dijadikan busana resmi Indonesia.

Adapun jas, dasi, dan kelengkapanya lebih pas kalau dipakai untuk acara-acara resmi di negara lain. Cukup pede tidak para pemimpin melakukan ini?

Kalau tidak cukup pede jangan berharap Indonesia bisa segera bangkit dari keterpurukannya. Kebangkitan hanya bisa dimulai dari rasa pede yang besar!

Senin, 19 Mei 2008

Workshop E.D.A.N yang 'Edan' Tenan

"Tidak ada yang kebetulan di dunia ini."

Saya setuju dengan pendapat tersebut. Dulu saya pernah mempercayai adanya banyak kebetulan yang kita temui.

Dalam hidup kita sering menemui banyak 'kebetulan'. Sering ketika kita menginginkan sesuatu tiba-tiba menemui 'kebetulan' yang kita inginkan.

Tetapi tidak sedikit pula kita bertemu dengan 'kebetulan' yang sama sekali tidak kita inginkan.

Menyikapi undangan yang ditujukan kepada saya untuk berbicara di forum PPBI (Pekan produk Budaya indonesia) 2008, saya sempat dihinggapi rasa was-was, ragu-ragu, deg-degan, dan sebagainya. Maklum, forum itu adalah forum nasional. Pembicara yang diundang adalah orang-orang yang paling kompeten di bidangnya. Di sini lah saya merasa ragu-ragu.

Saya merasa sangat bersukur ketika sehari menjelang Power Workshop EDAN diadakan, saya diajak untuk mengikuti seminar ini. Semula saya merasa agak berat berhubung hari Sabtu saya ada acara. Namun setelah dinegosiasikan, saya berhasil menggeser acara saya.

Meski datang terlambat saya masih bisa mengikuti materi pendahuluan. Workshop yang diadakan dua hari itu ternyata telah mampu mengubah banyak pandangan saya.

Saya berhasil meningkatkan rasa percaya diri dengan signifikan. Workshop ini juga mampu menggali potensi setiap orang. Potensi kita akan dimunculkan sedemikian rupa sehingga kita memang berhak menyandang predikat sebagai Manusia Kredibel. Setiap manusia mempunyai keunikan. Keunikan ini lah yang akan digali sehingga masing-masing kita adalah yang terbaik.

Sebuah 'kebetulan'. Ketika saya membutuhkan rasa pede yang besar, saya dipertemukan dengan workshop yang membuat kita menjadi manusia sangat pede.

Eh... Kebetulan itu sebenarnya tidak ada. 'Kebetulan' itu akan datang seiring dengan sikap dan perbuatan serta komitmen kita masing-masing.

Alam semesta dan seisinya yang begitu rumit diciptakan Tuhan dengan sangat teliti, akurat, dan sempurna. Tidak mungkin alam semesta tercipta secara kebetulan. Begitu pula beragam interaksi di dalamnya juga berlangsung secara ter-proses. Tidak ada yang kebetulan.

Rabu, 14 Mei 2008

Undangan Pembicara Lokakarya


"Selamat pagi Pak Abduh,

Menindaklanjuti FGD Ekonomi Kreatif di Dept. Perdagangan beberapa waktu lalu, kami mengundang Anda kembali sebagai Pembicara dalam Pekan Produk Budaya Indonesia 2008.

Acara yang kami jadwalkan untuk Anda adalah LOKAKARYA PRODUK BUDAYA untuk SEKTOR KERAJINAN yang akan diadakan pada :

Hari / tanggal : Jumat / 6 Juni 2008
Waktu : 13.00 - 15.00 WIB
Tempat : Merak II, Jakarta Convention Center
Topik : Kerajinan Sebagai Sentra Ekonomi Rakyat yang Mencerminkan Keanekaragaman Budaya Indonesia Berdaya Saing Tinggi dengan Kualitas, Biaya, dan Pengiriman yang Kompetitif.

Untuk lebih lengkap, dapat dilihat pada TENTATIVE RUNDOWN yang kami lampirkan.

Dalam Lokakarya nanti, kami berharap Anda tidak saja hanya bercerita mengenai DUNIA KERAJINAN DI INDONESIA itu sendiri. Namun Anda diharapkan dapat menjabarkan mengenai : ....................."

------------

Itulah undangan yang saya terima kemarin via email. Kaget, deg-degan, cemas, senang campur aduk jadi satu. Saya sama sekali tidak menyangka akan mendapat kehormatan yang begitu besar dari panitia.

Saya tahu persis tahun lalu pada acara yang sama, Pekan Produk Budaya Indonesia 2007, selain pameran, pembicara pada lokakarya tersebut adalah pribadi-pribadi kelas satu, papan atas. Pada sektor busana yang jadi pembicara adalah: Iwan Tirta, Hari Dharsono, Ghea Panggabean.

Untuk sektor kerajinan menampilkan Dekan (atau Pembantu Dekan, saya lupa) Fakultas Seni Rupa & Desain ITB, Warwick Purser (Pengusaha besar kerajinan & eksportir asal Australia yg sudah jadi WNI), dan pakar & praktisi produk kerajinan plus dosen dari ITB.

Sedangkan pada Sektor Pemasaran atau Ekspor, panitia harus mendatangkan 6 (enam) Duta Besar Indonesia yang bertugas di: Amerika, Australia, Afrika Selatan, Polandia, Eropa Timur, dan Amerika Selatan.

Tahun ini, Pekan Produk Budaya Indonesia 2008, banyak nama besar yang juga jadi nara sumber. Sebut saja: Raam Punjabi, Garin Nugroho, Darwis Triadi, Adrie Subono, Peter F Gontha, Erwin Gutawa, Sofyan Wanandi, dan lain-lain. Dan masih banyak lagi.

Panitia juga mendatangkan 10 Duta Besar Indonesia yang bertugas di: Uzbekistan, Italia, India, Jerman, Mesir, UEA, Brazil, Jepang, Kanada, Korsel.

Speechless... Saya disandingkan dengan nama-nama besar tersebut.

Kamis, 08 Mei 2008

Emosi, Bro!


Kemarin sahabat saya, seorang bankir, menulis ulasan mengenai kondisi ekonomi Indonesia. Tulisannya merupakan tanggapan dari tulisan sebelumnya di milis alumni yang saya ikuti. Di sini saya salinkan tulisan dia saja.

----------------

Kenaikan harga BBM dalam negeri yang pada akhirnya akan menyebabkan tingkat inflasi meningkat akan menyebabkan risiko bisnis meningkat, juga tingkat suku bunga perbankan mungkin tidak dapat dipertahankan di angka 8%pa. Jika mengukur kinerja BI berdasarkan inflasi (ITF - Inflation Targeting Framework) maka tampaknya agak sulit bagi BI untuk bisa dikatakan perform.Naiknya tingkat inflasi yang bukan disebabkan peningkatan permintaan berdampak lebih buruk karena sektor riel tidak ikut berputar. Risiko kredit bermasalah akan semakin tinggi. Saat ini banyak bank yang menyimpan dananya dalam bentuk SBI dibandingkan memberi kredit untuk menghindari risiko kredit bermasalah yang disebabkan semakin tingginya risiko pada dunia usaha.

Sebagai gambaran perposisi Januari 2008 jumlah pemberian kredit oleh Bank Umum sebesar Rp. 987 Triliun, Bank Persero Rp. 342 Triliun, Total Rp. 1.329 Triliun. Kita bandingkan dengan dana perbankan yang "idle" (artinya tidak "langsung" disalurkan ke dunia usaha) untuk Bank Umum dalam bentuk interbank (dalam berbagai bentuk) Rp. 151 T, penempatan di BI (dalam berbagai bentuk) Rp. 378 T, Bank Persero dalam bentuk interbank Rp. 46 T, penempatan di BI Rp. 123 T, Total Rp. 169 T. Jika kita hilangkan unsur interbank untuk menghindari double counting maka total penempatan perbankan Indonesia di BI (dalam berbagai bentuk adalah Rp. 501 T. Atau 38% dari total kredit.

Angka yang lebih "mencengangkan" ada di Bank Pembangunan Daerah (BPD). Total kredit yang disalurkan BPD perposisi Januari 2008 adalah Rp. 71,5 T, sedangkan dana yang ditempatkan di BI (dalam berbagai bentuk) sebesar Rp. 52 T. Atau 73%(!!). Saya tidak membandingkan dengan dana masyarakat yang dihimpun karena kita berbicara mengenai perputaran roda industri (dunia usaha). Wajar saja kalau pemerintah agak "marah" melihat angka ini. Karena mungkin sebagian (besar?) dana BPD adalah dana APBD yang mungkin saja sebagian berasal dari pemerintah pusat. sehingga pemerintah menanggung biaya berganda.

Jika perbankan diminta untuk lebih agresif menyalurkan kredit, maka siapa yang akan menanggung risikonya? Perbankan, jika pemerintah tidak memberi ruang bagi minimasi risiko kredit. Sehingga wajar jika sebagian besar bank menyalurkan kredit ke sektor non produktif, karena jaminan rielnya (fixed asset atau kendaraan) mengcover. Padahal yang dibutuhkan oleh republik tercinta ini adalah kredit untuk sektor usaha, sehingga berdampak positif bagi perbaikan taraf hidup.

Akhirnya semua berputar pada satu lingkaran. Yang dibutuhkan adalah memutus lingkaran tersebut dan mulai berjalan dari satu titik. Tapi titik yang mana? Sawasta akan meminta agar pemerintah yang bertindak lebih dulu, pemerintah akan meminta swasta yang bertindak lebih dulu (dengan bebagai alasan).

Itu urun rembug saya, mudah-mudahan datanya benar :)

AA"

---------------------

Anda bingung nggak dengan deretan angka-angka pesimistik tersebut? Yang pasti kalau kita membaca analisa berdasar angka-angka, prospek usaha kita memang menjadi sangat suram. Tetapi, apakah memang benar-benar suram? Semuanya tergantung sikap kita.

Adam Khoo memberi resep bagaimana agar kita selalu mampu mengatasi masalah dan terus berkembang. Dia memberi rumus :

Emotion+Strategy+Action ----> Result

Yang jadi lokomotif adalah Emosi kita. Emosi lebih penting dari pada realitas. Sebagai gambaran, tidak ada manusia di dunia ini yang berpendapat bahwa merokok adalah menyehatkan badan. Semua orang tahu merokok itu berbahaya, baik bagi diri sendiri maupun lingkungan.

Pertanyaannya, mengapa jumlah perokok terus meningkat? Mengapa banyak dokter juga tetap merokok? Karena emosi mereka mengatakan bahwa merokok itu nikmat. Emosi lebih penting dari realitas.

Karena emosi itu lebih penting maka kita harus selalu membangun emosi positif, emosi bergairah, emosi sukses. Salah satu cara sederhana membangun emosi positif adalah tatapan mata yang tajam, Sikap tubuh yang tegak, Wajah selalu cerah & penuh keyakinan, Suara yang mantap.

Hanya dengan emosi positif maka otak kita akan bekerja dengan optimal, terbuka, dan cerdik. Dengan otak yang terbuka maka kita dapat merancaang strategi yang benar dan action yang tepat.

Jadi yang terpenting adalah jagalah emosi kita, emosi sukses !!!

Senin, 05 Mei 2008

Bajumu adalah Dirimu


Penampilan seseorang ternyata membawa pengaruh terhadap 'keberuntungan' yang akan mereka temui.

Sabtu malam kemarin saya terkesan dengan sebuah acara di televisi swasta. Acara itu menayangkan riset sederhana yang dilakukan oleh sebuah televisi asing. Dengan kamera tersembunyi produser acara ingin tahu apakah pakaian yang dikenakan seseorang bisa mempengaruhi empati orang lain di sekitarnya.

Pada tahap pertama, sang aktor mengenakan pakaian rapi, pakai dasi, jas, dan sepatu yang mengkilap. Juga dia membawa tas kantor yang cukup elegan. Dengan pakaian rapi seperti ini dia diminta berperan seperti orang sedang mabuk yang akan mengendarai mobil sendirian. Dalam skenarionya aktor ini keluar dari toko makanan sambil sempoyongan, membawa botol minuman keras, berusaha membuka mobil, dan nyopir sendiri.

Bagaimana reaksi masyarakat sekitar yang melihat laki-laki itu?

Ternyata sebagian besar, hampir semua, merasa kasihan dengan 'masalah berat' yang sedang dihadapi pria itu. Ada beberapa yang mengamati saja, tapi tidak sedikit yang berusaha mencegah sang aktor untuk tidak nyopir mobil. Ada yang mentraktir minum sambil mengajak ngobrol. Ada seorang ibu sepuh yang sangat keras mencegah aktor itu masuk mobil. Ada juga beberapa orang berusaha menutupi pintu mobil dengan badannya supaya sang 'pemabuk' tidak bisa masuk. Dan masih banyak lagi.

"Saya jadi ingat anak saya ketika melihat pria itu berusaha masuk mobil. Saya tidak ingin 'anak' saya celaka di jalan," kata ibu sepuh kepada reporter acara itu.

Bahkan ada yang berusaha menghubungi polisi ketika dia tidak berhasil mencegah pria necis tapi mabuk itu masuk ke mobilnya.

Jadi hampir semua orang yang lewat merasa prihatin dan tidak menginginkan pria ini mengendarai mobil dalam keadaan mabuk.

Pada tahap kedua, produser acara mendandani aktor dengan pakaian seadanya. Kaos lusuh, pakai topi juga lusuh, sepatu kets, celana jins.

Adegannya sama. Sang aktor keluar dari toko makanan sambil menenteng botol minuman keras, berjalan sempoyongan, masuk mobil, dan nyopir sendiri.

Reaksi masyarakat sekitar ternyata jauh berbeda. Mayoritas orang yang lewat hanya melirik sekilas, bahkan ada yang mencibir, dan membiarkan pria mabuk ini 'celaka' .

Sebuah survey sederhana namun cukup menggambarkan penampilan kita mempengaruhi apresiasi orang lain kepada kita.

Memang pakaian rapi tidak identik dengan perilaku positif.

Sabtu kemarin kawanan perampok dengan santai dan leluasa mencuri perhiasan dalam jumlah cukup banyak di Menteng, Jakarta Pusat. Pembantu rumah tidak sadar kalau mereka sedang dirampok. Orang-orang di depan rumah juga tidak tahu kalau yang datang adalah perampok.

Kawanan ini datang dengan pakaian sangat rapi, pakai batik, dan wangi, plus mobil mulus. Datangnya pun dengan menjunjung tinggi sopan santun. Mereka pergi juga dengan sangat santai, murah senyum.

Ternyata mereka hanyalah kawanan perampok.

Setidaknya pakaian rapi memang mengundang simpati...........