Selasa, 26 Agustus 2008

Kesetiaan Pembatik Tua


Khazanah budaya adalah kekayaan sebuah bangsa. Sebuah bangsa bisa menjadi besar dan disegani kalau mereka mampu mempertahankan ciri khasnya. Jepang, Cina, Korea adalah contoh bangsa yang menjadi besar dan maju dengan tetap memegang teguh bahasa dan ciri khas kulturnya. Sedangkan kita menjadi bangsa yang sering dilecehkan karena sering silau dengan bahasa dan budaya orang lain.

Tulisan berikut cukup menarik. Saya menyalin tulisan ini dari Pemkab Sragen, Jawa Tengah.

-----------------

Memasuki desa Pilang Kecamatan Masaran, tepatnya di Dusun Jantran terdapat sebuah rumah yang kini ditempati seorang pembatik tua, bahkan bisa dibilang paling tua di antara pembatik-pembatik tua yang masih tersisa di desa Pilang. Teman-teman sebayanya dulu yang sering membatik bersamanya kini telah tiada semua.

Mbah Towirejo, begitu orang-orang menyebutnya. Perempuan tua berbadan kurus yang tak pernah menyerah dengan kerentaannya. Telinganya sudah tidak bisa mendengar secara jelas. Untuk berkomunikasi, seseorang harus mendekatkan mulutnya ke dekat telinga wanita empat anak ini.

Cara berjalannyapun sudah membungkuk dan sedikit terhuyung-huyung, sehingga harus dibantu seseorang agar tidak jatuh. Namun sesekali ia berjalan sendiri sambil merambat berpegangan pada dinding-dinding rumah kayu yang kini ia tempati bersama anak keduanya.

”Umur ibu saya sekitar 102 tahun, teman-teman sebayanya sudah meninggal semua, tinggal ibu saya yang masih setia mempertahankan batik tradisional” tutur Sayem(67), anak kedua mbah Towirejo.

Kebiasaan membatik sudah dilakoninya sejak umur sepuluh tahunan. ”Dulu sewaktu ibu masih muda dan saya masih kecil, ia sering bercerita kepada saya, sewaktu umur sepuluh tahunan sudah diajari simbah saya (ibu mbah Towirejo) untuk membatik. Sekitar umur dua belasan tahun ia sudah mahir membatik” jelas Sayem.

Gurat-gurat seorang pekerja keras jelas terpancar di kerutan-kerutan wajah mbah Towirejo. Meski sudah uzur sinar matanya masih bening tajam menatap setiap orang yang ia temui. Sewaktu muda, ia sering membatik sampai subuh pagi, kemudian tidur sebentar dan sebelum matahari memancarkan sinarnya, si Sabruk, nama kecil mbah Towirejo, sudah bangun untuk melanjutkan membatik. ”Dulu ketika masih muda, saya sering membatik, hingga menjelang subuh ”cerita mbah Towirejo, sambil berkaca-kaca. Pikirannya terlihat menerawang jauh ke masa silamnya.

”Dulu bayarannya sedikit mas, hanya cukup untuk makan. Sewaktu muda, kalau membatik saya selalu bersama-sama ibu dan saudara-saudara saya, sekeluarga kami semua pembatik kecuali ayah saya, seorang buruh tani” tutur mbah Towirejo. Meski sudah uzur, cara bicaranya masih tegas dan jelas.

Ayah si Sabruk, dulu harus berjalan kaki seharian untuk mengambil kain ke Pasar Kliwon Solo di tempat Juragan Batik bernama Tuan Kadir. Setiap dua minggu sekali ayahnya selalu ke Solo untuk mengambil kain maupun menyetorkan hasil batikannya. Jam dua belas malam, ayahnya sudah mulai berjalan menyusuri malam menuju kota Solo, sendirian. Memang kala itu pembatik-pembatik di sini belumlah banyak seperti sekarang. ”Jalan menuju kota belum baik seperti sekarang, ayah saya harus menyusuri jalan-jalan desa, kadang juga lewat Plupuh dengan menyeberang sungai Bengawan Solo,” cerita mbah Towirejo.

Sekitar delapan jam perjalanan barulah sang ayah tiba di Solo. Sampai di rumah kembali sore hari atau Azdan Magrib berkumandang. Rutinitas ini dilakoni ayahnya hingga tahun enam puluhan. Ketika anak keduanya, Sayem, menginjak dewasa dan menikah, suami anaknya merintis untuk menjadi juragan batik. ”Saya dan suami, bisa dibilang juragan batik pertama di desa Kliwonan dan desa Pilang,” tegas Sayem. Sejak itu, mbah Towirejo bekerja pada Juragan Batik Sayem anaknya sendiri. Suami mbah Towirejo tidak perlu susah-susah berjalan kaki ke Solo lagi untuk menyetorkan maupun mengambil kain batik.

Keahlian

Di balik kerentaannya itu, ada satu hal yang sangat menonjol. Mata perempuan ini masih tajam dan seperti tak pernah lelah ketika menorehkan lekuk demi lekuk garis dalam selembar kain.

Tangan kanannya yang memegang canting tidak terlihat bergetar saat mengguratkan malam yang dicairkan dengan bara kayu jati ke atas kain putihan yang membentang di hadapannya.

Sambil bercerita, ia masih memegang canting dan mengoreskan ukiran-ukiran batik di selembar kain. Anehnya di lebar kain putih tersebut tidak terdapat gambaran pola batik. Rupanya mbah Towirejo mempunyai keahlian tersendiri yang tidak dimiliki oleh teman-teman pembatik lainnya sejak jaman dulu.

Sayem menyatakan bahwa sejak kecil ibunya mempunyai keahlian tersendiri dalam membatik yang jarang tidak dimiliki oleh pembatik-pembatik lainnya di desa Pilang maupun Kliwonan. Setiap membatik dia tidak mau kain sebagai bahan dasar membatik sudah digambari atau diberi pola. Ia lebih senang berkreasi di lembaran kain polos, serta langsung mengoreskan cantingnya tanpa mengeblat pola, dan hasilnya malah lebih bagus”.

Motif Rumit

Sampai kini ia masih hafal betul motif-motif batik. “Motif-motif yang saya kuasai sejak dulu adalah motif Sidomukti, Sidoluhur, Sekar Jagad, Gringgring, Parang, Sidodrajad dan Semen Rantai,” cerita mbah Towirejo dalam bahasa Jawa. Sampai sekarang pun ia masih mahir mengoreskan setiap jenis motif tersebut tanpa harus mengeblat pola.

Menurut Sayem, konon Mbah Towirejo bisa menyelesaikan sebuah motif sekar jagad yang cukup rumit dalam waktu dua hari. ”Padahal, saya yang lebih muda saja harus menyelesaikan motif itu dalam 1 minggu,” tuturnya.

Ya, Mbah Towirejo memang sangat mahir. Melihat dia beraksi di atas kain, seolah-olah seperti melihat gerakan pembatik muda. Garis-garis yang dibuat sangat halus. Titik-titik juga dibuatnya dengan sangat teliti, sangat runtut meski tidak mengeblat pada pola. Beberapa pembatik muda justru kalah dari Mbah Towirejo.

Sejak kecil, Mbah Towirejo memang telah bergelut dengan malam, canting, dan kain. Tak urung, puluhan tahun yang telah dilewatinya untuk membatik itu membuatnya menjadi sangat piawai dalam membuat motif.

”Sekarang ibu sebetulnya sudah saya larang untuk membatik karena kasihan, usianya sudah uzur. Namun sekali saya perbolehkan membatik, sekedar untuk hiburan, beliau kadang jadi lupa waktu, seharian penuh ia bisa membatik terus,” cerita Sayem.

Jarang Sakit

Kebiasan membatik dari pagi hingga subuh, yang telah dilakoni sejak kecil dulu, tak menjadikan mbah Towirejo menjadi rentan terhadap penyakit. Justru ia mengaku tak pernah menderita penyakit serius. “Paling hanya masuk angin atau pusing-pusing, setelah minum jamu sembuh dan sehat kembali,” ungkap mbah Towirejo.

Menurut mbah Towirejo untuk tetap sehat dan jarang sakit resepnya sangat sederhana, yakni banyak minum air putih dan minum jamu, serta jarang mengkonsumsi makanan yang mengandung kolesterol. Sedang lauk kegemarannya yang sering menemani setiap makan adalah bothok mlanding (bothok pete cina).

Penghargaan

Keahlian membatik mbah Towirejo kini telah diteruskan oleh para anak cucu dan masyarakat lainnya di desa Pilang dan Kliwonan. Sudak tak terhitung lagi berapa jumlah anak cucu ataupun warga dari desa-desa disekitarnya yang telah ia ajari membatik. Di usia senjanya mbah Towirejo berharap agar seni membatik yang merupakan warisan budaya yang adiluhur dari nenek moyang dapat tetap dilestarikan.

Pada tahun 2004, mbah Towirejo pernah mendapatkan penghargaan dari Bupati Sragen Untung Wiyono. Pemerintah Kabupaten Sragen memandang dia telah berjasa dalam kepeloporan, keteladanan dan pelestarian warisan tradisional leluhur bangsa indonesia yakni kerajinan batik. Penghargaan berupa Piagam ADI KARYA NUGRAHA Tahun 2004 tersebut diserahkan Bupati Sragen kepada mbah Towirejo, bersamaan dengan peresmian menara pandang di Sangiran.

Kamis, 21 Agustus 2008

Mensyukuri Remah Industri Batik


Di tengah maraknya busana batik yang jadi tren saat ini, ada kisah menarik tentang 'pemilik' industri batik yang sesungguhnya. Tulisan di Kompas hari ini cukup menarik untuk direnungkan.

Dari tulisan ini saya baru tahu kalau Pemerintah sesungguhnya sudah berniat menjadikan batik sebagai pakaian nasional, menggantikan jas. Sebuah niat visioner.

Tulisan ini saya ambil dari Harian Kompas, 21 Agustus 2008, dengan judul yang sama.

--------------------

Batik adalah rangkaian ribuan titik. Namun, usianya tidak hanya sesaat seperti saat mata canting meneteskan titik demi titik malam (lilin untuk membatik) cair. Rangkaian itu sekaligus menyimpan seribu satu cerita, suka-duka, sedih-gembira, tangis- tawa. Pendeknya, setiap mata canting merekam setiap hela napas si pembatik dalam titik malam yang menetes.

Kalau yang sudah terampil, satu kain dapat diselesaikan dalam waktu satu bulan. Tetapi, bisa juga jadi lama, apalagi kalau hatinya sedang susah. Membatik itu kan seperti melukis juga,” kata Nila, pembatik yang bekerja di rumah produksi batik di Pekalongan, Jawa Tengah.

Seorang pembatik sepuh di Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pernah mengatakan, membatik itu bukan hanya bekerja. Membatik juga melibatkan batin si pembatik. Jika ingin menghasilkan batik tulis yang halus, hati si pembatik tidak boleh gundah, curiga, dan menyimpan prasangka atau menyimpan niat untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari karya itu. ”Selain niat, batin harus tulus. Tidak bisa membatik dengan rasa hati selalu dikejar-kejar,” katanya.

Meskipun tidak mengenal atau bertemu dengan pembatik sepuh dari Imogiri itu, tampaknya Nila membenarkan ungkapannya. ”Bisa juga, untuk mengejar penghasilan, kami membatik cepat, tetapi hasilnya jelek. Hati jadi tidak sreg,” kata Nila.

Hati harus tenang, Jika perlu membenamkan dalam-dalam kegundahan yang mungkin saja sempat datang mengganggu.

Industri

Datang setiap pagi dengan mengendarai sepeda tua miliknya, Nila mesti bekerja seharian demi upah Rp 6.000 ditambah uang makan Rp 2.500. Jika mengambil borongan, ia bisa memperoleh tambahan Rp 40.000 untuk setiap lembar kain yang ditulisnya.

Demikian juga Paleha. ”Karena masih baru, upah harian saya Rp 8.500, termasuk uang makan. Yang sudah empat atau lima tahun mendapat upah Rp 10.000,” kata Paleha, pembatik di Wiradesa, Pekalongan.

Paleha yang masih ikut orangtuanya harus bersusah payah mengatur pengeluaran. Ia mesti lentur menyiasati hidup, selentur ketika tangannya membatik. Ia menjadi sandaran kehidupan keluarga, apalagi ibunya yang mewariskan keahlian membatik sudah berangsur tua dan tidak kuat lagi membatik.

Untuk menambah pemasukan, Paleha ikut kerja borongan. ”Dalam keadaan sekarang, sangat sulit mengatur pengeluaran dan pemasukan sebesar itu,” kata Paleha, yang bertugas memopok atau melapisi bagian-bagian tertentu pada kain dengan lilin cair atau malam.

Sebagai ilustrasi, upah minimal di Kota dan Kabupaten Pekalongan untuk tahun 2008 sebesar Rp 615.000, sementara upah minimal rata-rata untuk Jawa Tengah masih Rp 601.418,92.

Pekalongan telah tumbuh menjadi satu pusat batik di Indonesia. Di sepanjang jalan utama dan lorong-lorong kota itu, sangat gampang ditemui gerai dan pusat produksi batik rumahan. Geliatnya telah menarik ratusan ribu warga, termasuk Nila dan Paleha, dalam kerja budaya yang telah menjadi industri itu. Ada ribuan anak putus sekolah terlibat dalam rangkaian kerja industri yang telah mengubah wajah Pekalongan.

Sebagian dari mereka bertugas menulisi kain sutra atau katun putih dengan malam-cair seturut pola motif yang telah digambar. Ada pula yang mewarnai, membuat pola, melepaskan lilin, hingga membuat batik cap. Motif yang dibuat antara lain jawa hokokai dan jelamprangan. Juga ada motif pakem batik Solo atau Yogyakarta, seperti Kawung, Parang Rusak, atau Sidomukti.

Dalam dua tahun terakhir ini, kerajinan dan industri batik di Pekalongan maju pesat. Seiring niat pemerintah menjadikan batik sebagai pakaian nasional pengganti jas, batik tak lagi menjadi ciri khas pakaian orang tua. Tahun ini batik telah menjadi arus utama mode di kalangan anak muda.

Bukan hanya pemilik industri batik yang meraup keuntungan dari ledakan itu. Warga pinggiran dan anak-anak putus sekolah pun memperoleh penghasilan sebagai pekerja pada industri batik. Namun, di tengah kemeriahan itu, kehadiran mereka masih sebatas penikmat remahan kue besar industri batik di Pekalongan. ”Perlu modal besar jika ingin membatik sendiri. Jika sekarang masih ikut orang, ya dijalani dulu,” kata Nila.

Pembatik

Kesabaran, itulah kekayaan sebenarnya para pembatik. Begitulah kebijakan si pembatik meskipun kain itu nantinya tidak lagi menjadi miliknya. Setiap hela napas dan batinnya terekam kuat dalam keindahan karya budaya itu.

Setelah semua proses usai, selembar kain batik tulis halus bisa jadi berharga jutaan rupiah. Nyaris dapat dipastikan si pembeli tidak mengenal siapa si pembatik sesungguhnya. Namun, dari sudut pandang lain, bisa jadi si pembeli hanya memiliki lembaran kain batik yang indah dan mahal itu, tetapi ada ”pemilik” lain yang dengan tulus tinggal di balik bilik-bilik rumah pembatikan di Pekalongan.

Merekalah sang pemilik sesungguhnya, mereka yang meneteskan titik demi titik malam cair menjadi lukisan nan menawan….


sumber foto: inori2000

Kamis, 14 Agustus 2008

Laki-laki 'Telmi'

Pernahkah kita melihat penjaga stan pameran yang berpakaian 'aduhai'? Bohong ah kalau kita mengatakan belum pernah. Saya yakin banyak sekali di antara kita yang hafal betul pameran-pameran apa saja yang penjaga stan nya didominasi yang 'bening' nan aduhai dengan pameran yang stand guide nya biasa-biasa saja. :)

Mengapa para pemilik stan pada pameran produk tertentu masih sering memajang 'boneka' cantik di lini depan sedangkan sales force yang sudah terlatih menjual diletakkan di belakang? Saya ibaratkan 'boneka' karena fungsi utamanya memang hampir persis manekin, hanya berdiri diam. Bedanya mereka ini mampu senyum-senyum dan memang lebih enak dilihat dari pada boneka beneran. :)

Tentu saja para pemilik stan punya asumsi kalau yang ditaruh di garis depan adalah para 'boneka' cantik, lead stan nya akan tinggi. Dan imbasnya penjualan produk yang dipercayakan kepada mereka juga makin tinggi. Tapi apakah asumsi ini benar?

Hari ini saya melihat tulisan yang menarik di kompas.com:

Kemolekan tubuh kaum wanita yang mengenakan bikini ternyata bisa membuat pria telmi alias telat mikir. Demikian menurut laporan berjudul Bikinis Instigate Generalized Impatience in Intertemporal Choice, yang dimuat dalam Journal of Consumer Research.

Dalam sebuah "percobaan bikini", peneliti dari Belgia melakukan beberapa seri uji coba terhadap 358 pria muda. Mereka diminta mengikuti serangkaian tes, salah satunya adalah pria-pria tadi diminta menawar harga sambil melihat video wanita berbikini di pantai dan video pemandangan.
"Para pria jadi lebih impulsif dalam segala hal setelah melihat hal-hal yang seksi, seperti wanita berbikini," kata Bram Van den Bergh, pemimpin penelitian.

Bukti lainnya adalah penelitian yang dilakukan dua peneliti, George Loewenstein dari Carnegie Mellon University dan Dan Ariely dari MIT, yang berjudul Heat of the Moment: The Effect of Sexual Arousal on Sexual Decision Making. Para peneliti menemukan bahwa pria yang mendapat rangsangan seksual seringkali melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak direncanakan olehnya.

"Ketika kita memikirkan seks, sedikit banyak yang bisa kita pikirkan hanya seks. Sehingga wajar jika para pria melakukan tindakan yang tidak seharusnya, misalnya menolak memakai kondom," ujar Loewnstein.

Ada fakta menarik lainnya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa iklan yang menampilkan wanita cantik dan seksi, tidak akan membuat pria mengingat jenis produknya. Mereka tak akan peduli apa mereknya atau keunggulannya. Yang diingat hanyalah alangkah moleknya tubuh sang model.
-----------

Jadi, masihkah kita mempercayakan produk kita, brand kita kepada mereka? Rugi besar dong. :)

Minggu, 10 Agustus 2008

Tren Masa Depan: Corak Tradisional

"Moscow is already beginning to rival the great fashion capitals like New York, Paris, and Milan."

Demikian penggalan kalimat yang diucapkan presenter Euromaxx yang kebetulan saya lihat di JackTV pagi ini. Euromaxx adalah salah satu program televisi milik Deutsche Welle (DW) Jerman.

Saat ini Rusia memang dilirik para pecinta fashion dunia. Dan di Moskow sekarang terdapat ribuan butik yang tersebar di seantero penjuru kota. Tidak sedikit desainer kondang dunia membuka juga butiknya di ibukota Rusia itu.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa Moskow begitu cepat menjadi salah satu kota mode kelas dunia? Mengapa Moskow sudah mulai bisa disejajarkan dengan New York, Paris, dan Milan? Mengapa Moskow bisa punya prestige value tinggi yang mampu menjadi salah satu magnet bagi para jetset fashion dunia?

Ternyata, kata Deutsche Welle, salah satu kuncinya adalah kemampuan para desainer Rusia membuat busana yang sedang tren dipadu dengan corak tradisional Rusia. Artinya mereka mampu membuat diferensiasi untuk fashion yang sedang trendy. Mereka membuat desain busana kontemporer yang sedang 'in' tapi corak dan motifnya menggunakan corak dan motif tradisional Rusia.

"Saya tidak mungkin membuat busana yang persis dengan Barat karena kami mempunyai budaya sendiri. Jadi saya membuat desain-desain yang sedang jadi tren saat ini tapi memakai corak dan motif tradisional Rusia," begitu kira-kira kata Alexander Terekhov.

Alexander Terekhov adalah desainer yang baru berusia 28 tahun tapi karya-karyanya dikagumi oleh desainer-desainer top dunia. Sebelum membuka butik sendiri di Moskow dia pernah selama 10 tahun bekerja di Rumah Mode YSL.

Begitu juga dengan Lenskaya, 34, desainer wanita Rusia. Karya-karyanya banyak dikagumi oleh pecinta mode kelas dunia karena menampilkan desain-desain bercorak tradisional Rusia.

Apapun itu, kalau menampilkan ciri khas, pasti digemari banyak orang asal menampilkan desain yang memang sedang digemari. Tulisan Abdimedia.com tentang hal itu cukup menarik:

"Berfoto dengan pakaian tradisional Indonesia ternyata digemari oleh orang asing khususnya di Eropa Timur.

Itulah yang terjadi di pameran promosi dagang dan investasi di Warsawa, Polandia, belum lama ini. Di pameran tersebut dibangun sebuah stan pojok foto langsung jadi. Siapa saja bisa berpose dengan pakaian daerah Padang atau Bali...."

Jadi corak atau motif yang menampilkan 'perbedaan' memang mempunyai peluang yang sangat besar asal kita mampu membuat desain-desain yang disukai konsumen. Indonesia adalah negara dengan tingkat keberagaman yang tinggi. Ini adalah kesempatan yang sangat besar. Dan salah satu ciri khas Indonesia adalah batik. Batik adalah bisnis yang prospek ke depannya bisa sejajar dengan Rusia kalau kita mampu membuat desain-desain trendy.

Saat ini desain-desain Indonesia yang mampu menembus pasar manca negara dan keberadaannya dihormati adalah yang bercorak tradisional (batik adalah salah satunya). Desainer Indonesia yang mampu menembus kalangan terhormat manca negara adalah yang menampilkan sentuhan tradisional Indonesia.

Jadi, back to basic adalah pilihan tepat. Desain trendy dengan sentuhan batik eh... tradisional. :)