Sabtu, 27 September 2008

Bisnis adalah Menemukan 'Jalan'

Kemarin sore, hari terakhir kantoran sebelum libur panjang menyambut Idul Fitri 1429 H.

Setelah saya menyelesaikan urusan di daerah Kota Lama dengan sebuah BUMN (kisahnya ada di sini), saya kembali ke Bekasi menumpang KRL nyaman. Sengaja saya menggunakan moda ini karena paling menguntungkan dibanding menggunakan moda angkutan apa pun di Jakarta.

Waktu keberangkatan kereta ini relatif tepat, berpendingin udara, bebas macet. Dari stasiun Kota ke Bekasi waktu tempuhnya kurang dari 1 jam. Bandingkan dengan mobil pribadi yang waktu tempuh normalnya rata-rata 'cuma' lebih 2 jam.

Ada dua orang bapak di sebelah saya yang terlibat obrolan mengasyikkan. Kalau dilihat dari seragamnya mereka bukan teman sekantor tapi sering bertemu di kereta yang sama.

... bla bla bla mulai dari urusan negara sampai kejelian mereka mengamati kehidupan pengusaha.

"Pengusaha itu enak ya. Duitnya banyak, kerjanya bebas," kata bapak I

"Memang enak kalau kita melihatnya sekarang," jawab bapak II

"Betul. Kalau sudah ketemu jalannya semuanya jadi enak. Dia ngapain aja selalu jadi duit. Banyak lho mereka membuka bisnis baru tapi nggak keluar modal."

"Yah, kalau sudah ketemu jalannya semuanya memang serba nyaman. Tapi merintisnya itu... setengah mati."

"Itulah yang saya nggak sanggup. Merintis itu susahnya bukan main. Kalau sudah ketemu jalannya sih saya juga mau hehe..."

"Tetangga saya modalnya cuma sertifikat. Dia puter-puterin saja sertifikat itu ke bank. Eh, modalnya datang sendiri. Dia nggak pernah keluar duit sendiri. Bisnisnya tambah banyak aja. Kelihatannya gampang banget ya."

"Gampang ya, kok bapak nggak ingin niru aja seperti dia?"

"Pingin sih. Iya kalo berhasil, kalau gagal gimana? Sertifikat kan melayang."

"Sudah pernah mencoba belum?"

"Belum sih, takut aja kalau gagal."

Mindset, pola pikir. Tidak ada yang salah dengan pendapat di atas. Yang berbeda hanyalah pola pikir antara wiraswasta dengan pekerja. Pola pikir positif dengan negatif. Yang satu melihat persoalan yang sama sebagai peluang, sedangkan yang lain persoalan yang sama dianggap sebagai halang rintang, problem, bencana.

Maka kalau kita ingin pindah atau memindah kuadran orang lain, yang paling esensi adalah bagaimana kita mampu mengubah mindset kita atau mindset orang lain. Kalau pola pikirnya sudah pas maka yang lain tinggal diselenggarakan secara seksama dan dalam tempo.... :)

Senin, 22 September 2008

Museum untuk Sang Pejuang

Samanhoedi adalah seorang pejuang kemerdekaan. Beliau adalah salah satu pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI). Kiprahnya dalam memperjuangkan cita-cita diakui sebagai cara yang elegan dan modern. Selain dikenal sebagai pejuang, dalam kesehariannya dia adalah seorang saudagar batik.

Untuk mengenang kiprahnya Pemkot Solo bekerja sama dengan Yayasan Warna Warni merasa perlu mendirikan museum untuk pejuang ini.
---------------------

Sebuah museum yang menggambarkan perjuangan Samanhoedi, pendiri organisasi modern Sarekat Dagang Islam, diresmikan pembukaannya oleh Walikota Surakarta (Tempo Interaktif).

Museum Samanhoedi yang terletak di Kampoeng Batik Laweyan Solo, dulunya lebih dikenal sebagai museum batik. Maklum, Laweyan memang terkenal sebagai sentra industri batik semenjak zaman penjajahan Belanda.

Tempat tersebut kini disulap menjadi Museum Samanhoedi, yang berisi foto-foto bukti perjuangan KH Samanhoedi, pengusaha besar batik yang telah berjasa mendirikan organisasi modern Sarekat Dagang Islam (SDI).

Foto yang terpajang merupakan foto-foto lama yang telah direproduksi, sehingga semua foto merupakan foto hitam putih. Foto yang terpampang ditata secara berurutan, mulai dari revolusi batik, foto mengenai pembentukan SDI, peran pemerintah kolonial terhadap SDI, Kongres SDI di Solo, dan Samanhoedi di masa tua yang memprihatinkan.

Tidak hanya foto peristiwa, juga terdapat hasil repro anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari organisasi Sarekat Dagang Islam, yang masih tertulis dalam huruf Jawa.

Sayangnya, tidak didapati benda-benda peninggalan Samanhoedi yang dapat dipajang di museum yang diresmikan oleh Walikota Surakarta, Joko Widodo, tersebut.

“Ketika meninggal, kakek tidak mempunyai barang apa pun,” kata Hudi Setyawan, cucu Samanhoedi. Di masa tua, Samanhoedi mengalami kebangkrutan yang luar biasa, karena harta bendanya habis untuk perjuangan membesarkan Sarekat Dagang Islam.

Peninggalan Samanhoedi yang masih tersisa hanyalah sebuah rumah yang terletak tidak jauh dari museum tersebut, itu pun merupakan rumah pemberian dari Soekarno. Rumah tersebut kini ditempati oleh keluarga Hudi Setyawan.

“Semula kita ingin museum tersebut dibuat di rumah itu,” kata Krisnina Maharani, Ketua Yayasan Warna Warni yang memprakarsai berdirinya museum ini. Namun karena digunakan sebagai tempat tinggal, dirinya memilih menyewa sebuah gudang bekas tempat produksi batik tersebut.

Beberapa foto yang dipajang merupakan koleksi pribadi keluarga Samanhoedi. Namun beberapa didapatkan dari Arsip Nasional, dan beberapa didapatkan oleh Krisnina di Kota Leiden, Belanda.

Sedangkan Bisnis Indonesia menulis, Sedikitnya 36 koleksi foto yang didapatkan dari sejumlah kerabat dan keluarga Samanhoedi, serta beberapa peninggalan yang tercatat di museum nasional akan mengisi koleksi di dalam museum itu. Menurut Krisnina, sejarah dan peran Samanhoedi dalam konteks panggung perjuangan pergerakan nasional dengan latar belakang kawasan Laweyan dan perdagangan batik yang memang digeluti oleh tokoh tersebut, menjadi inspirasi dirinya mendirikan museum di daerah itu.

Dia menjelaskan dari berbagai buku sejarah yang dibacanya, peran Samanhoedi sebagai seorang saudagar batik saat itu, memiliki peran yang sentral, termasuk keterlibatannya sebagai tokoh pendiri SI tersebut. "Peran batik Laweyan dan berdirinya SI sangat besar. Samanhoedi menjadi sentral perhatian," ujarnya.

Meski ukuran museum tersebut tidak terlalu besar, dia menuturkan keberadaannya cukup lengkap untuk memuat segala hal tentang Samanhoedi, terutama kisah dan perjuangannya hingga masa tua dan berbagai dokumen penting tentang Kota Solo. "Saya berharap museum sejenis bisa didirikan di setiap kota, sehingga tokoh-tokoh lokal di daerah bisa dikenal oleh masyarakat sekitar dan tentunya wisatawan dari dalam dan luar negeri," ungkapnya.

sumber foto: photobucket

Senin, 15 September 2008

Tepo Seliro

Ada pemandangan cukup menarik di depan sebuah SD yang terletak dekat dengan outlet kami.

Pagi itu banyak sekali siswa mengerumuni seorang pedagang. Saya tidak tahu persis apa yang dijual pedagang keliling itu karena saking banyaknya siswa SD yang mengerumuninya, sehingga sama sekali tidak kelihatan sosok sang pedagangnya.

Tapi lama kelamaan saya bisa menebak apa yang dijual sang pedagang keliling itu. Beberapa anak yang berhasil 'meloloskan' diri dari situasi suk-sukan terlihat membawa 'senapan'. Ada beberapa jenis 'senapan', mulai dari yang paling sederhana, yang cuma berbentuk silinder, sampai yang mirip dengan M-16 yang dilengkapi dengan 'peluncur' roket.

Dan tak lama kemudian halaman SD tersebut, juga tidak bisa dihindari halaman outlet kami, berubah menjadi medan 'pertempuran'. Puluhan anak dengan aneka jenis 'senapan' saling bertempur dengan menggunakan peluru khusus. Peluru itu berupa kertas koran basah yang dibentuk menjadi bulatan-bulatan sangat kecil, mirip peluru. Tapi jangan salah, meski cuma kertas basah padat, 'peluru' ini kalau mengenai kita pada jarak cukup dekat mampu membuat kulit kita perih dan memerah.

'Senapan' yang dijual sang pedagang dibuat dari bambu muda, dipotong-potong, dibentuk, dan hanya diikat dengan karet untuk menjadikannya mirip dengan senapan otomatis. Karena segmennya adalah anak-anak sekolah maka harganya juga disesuaikan dengan pangsa pasarnya. Untuk senapan sederhana cukup dengan Rp 1000 seorang anak sudah bisa memilikinya. Sedangkan senapan seperti pada foto di atas harganya Rp 2000. Sangat murah kalau dibandingkan dengan kreativitas yang dibutuhkan untuk bisa membuatnya.

Ketika bel sekolah berbunyi, dan anak-anak masuk ke kelas masing-masing, sang pedagang pun mulai membereskan barang dagangannya. Di sinilah saya benar-benar heran dengan apa yang dilakukan sang pedagang.

Padahal para pedagang lain yang juga menggelar di depan SD itu tidak ada satu pun yang memberesi barang-barangnya. Mereka menunggu saat istirahat nanti, karena saat istirahat adalah saat di mana rezeki akan mendatangi mereka. Saya sangat yakin kalau pedagang senapan itu masih membuka lapaknya, pada saat istirahat nanti pasti banyak anak yang masih ingin membeli senapannya.

Ketika saya mengemukakan keheranan ini, rupanya istri saya yang saat itu kebetulan juga ada di outlet, penasaran juga.

"Saya nggak enak dengan yang lain bu," jawab sang pedagang senapan ketika ditanya istri saya mengapa membongkar dagangannya.

"Saya lihat (pedagang) yang lain jadi sepi dengan adanya saya," tambahnya.

Kaget. Saya tidak menyangka dengan jawaban ini. Jawaban sederhana. Tapi di balik kesederhanaan jawaban ini terkandung ketinggian akhlak yang bagi saya menakjubkan. Sebuah sikap yang mengedepankan harmoni, keserasian, kerukunan, dan rahmat lahir dari sosok yang (mungkin) kita anggap sederhana. Sebuah sikap yang bisa diperas menjadi dua kata saja: tepo seliro, sebuah istilah dalam bahasa jawa yang artinya kurang lebih mengedepankan harmoni, keserasian, kerukunan, dan rahmat.

"Dari sini terus pulang?"

"Tidak bu, saya akan ke sekolah lain. Kalau dagangan saya rame, maka saya juga sebentar saja di tempat itu. Kasihan yang lain."

Hari itu saya dapat pelajaran sangat berharga. Sebuah ilmu yang lahir dari realitas hidup.

Senin, 08 September 2008

Meski Lambat, Industri Batik tetap Tumbuh

Meski saat ini batik sedang tren, ternyata pertumbuhannya belum secepat yang diharapkan. Kemungkinan masalahannya adalah pada rasio jumlah pengrajin yang masih timpang dibanding dengan jumlah pemakai. Begitu juga jumlah pengrajin batik dibanding dengan pakaian non batik jumlahnya juga masih belum imbang.

Setelah sekian lama batik ditinggalkan, menyebabkan pembuat batik banyak yang gulung tikar. Tidak melanjutkan usaha yang berciri budaya ini. Sangat sedikit yang serius dan tetap bertahan dengan ciri khas batiknya. Barangkali inilah yang menyebabkan ketika mode batik kembali digemari, jumlah pembuat batik tidak bertambah banyak dengan cepat karena memang tidak banyak yang bisa membuat batik.

Tulisan di Kompas.com hari ini cukup menarik:
-----------------------

Industri kerajinan batik tahun 2007 mencapai nilai produksi Rp 2,9 triliun dengan penyerapan tenaga kerja 792.300 orang untuk 48.300 unit usaha.

Hal itu dikatakan Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Kecil dan Menengah Fauzi Aziz yang membacakan sambutan Menteri Perindustrian Fahmi Idris saat membuka Pameran Batik di ruang Garuda, Departemen Perindustrian (Depperin), Jakarta, Senin (8/9).

"Memang ada kenaikan pertumbuhan industri batik dari tahun 2006 tapi hanya mencapai 5-10 persen saja, tak terlalu signifikan. Banyak daerah selain Yogya, Solo dan Pekalongan sekarang mulai bermunculan industri ini," tuturnya.

Fauzi mengatakan ada delapan provinsi yang menjadi wilayah utama penghasil batik yakni Jambi, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali."Saat ini telah tumbuh kegiatan usaha pembatikan di Sumatera Barat, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Papua. Ini yang terus kita dorong," katanya.

Mengenai pengaruh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) terhadap industri kerajinan batik, dikatakan Fauzi, memang dampaknya ada tetapi tidak terlalu signifikan. "Pengrajin batik itu kan memakai malam, bahan bakar minyak tanah itu yang lumayan memberatkan. Tetapi sejauh ini belum ada keluhan berarti dari mereka," katanya.

Senin, 01 September 2008

Surat dari Penerbit di Singapura

Kemarin saya mendapat surat dari sebuah penerbit di Singapura. Penerbit ini rupanya mendapat kepercayaan dari "Depdiknas"-nya negari Jiran itu untuk menebitkan buku panduan pendidikan bagi murid sekolah menengah pertama. Kaget dan bangga karena mereka rupanya tertarik dengan produk kami, gitar batik. Sebuah karya seni unik dan eksklusif.

Sebuah pengakuan internasional mengenai khazanah budaya kita.

Tidak semua isi surat saya copy di sini
-----------------

Kehadapan Tuan M. Abduh,

Semoga tuan menerima surat ini dalam keadaan sejahtera. Kami ingin memohon keizinan untuk menggunakan gambar produk tuan dalam terbitan kami. Kami sedang menerbitkan sebuah buku bertajuk Art in Life (Seni dalam Kehidupan) karangan............... dan ....................

Buku ini akan digunakan sebagai buku teks oleh pelajar menengah rendah (berumur 13 - 14 tahun) di Singapura tahun hadapan (2009). Pakej terbitan ini termasuk sebuah Buku Panduan Guru serta CD-ROM. Gambar yang kami perlukan juga akan dimasukkan ke dalam Buku Panduan Guru serta CD-ROM tersebut. Kami berminat menggunakan gambar yang berikut:

Lelaman Internet dimana gambar dijumpai Keterangan Saiz gambar yang akan tertera di dalam buku kami

http://itrademarket.com/rumahbatik/493726/gitar-batik.htm

Gambar tersebut telah kami lampirkan dengan emel ini untuk rujukan anda.

Kami memohon keizinan tuan untuk menggunakan gambar tersebut di dalam terbitan kami, dalam bentuk cetakan dan juga elektronik, buat cetakan kali ini dan juga cetakan-cetakan seterusnya / edisi baru buku yang sama, di masa hadapan. Kami juga memintakan tuan emelkan imej hi-res untuk gambar ini, kalaulah tuan mempunyainya.

Oleh kerana buku ini adalah untuk tujuan pendidikan dan kami punyai bajet yang terhad, kami amat berbesar hati jika tuan dapat mengizinkan kami untuk menggunakan gambar tersebut secara gratis. Jika tidak, sila terangkan harga yang perlu dibayar untuk penggunaan gambar tersebut.

Kami akan memastikan penghargaan diberikan kepada tuan/pihak tuan secara terperinci di dalam buku kami. Namun, jika tuan inginkan ayat penghargaan yang khusus, sila berikan butirannya kepada kami.

Walau bagaimanapun, jika hak cipta gambar ini bukan milik tuan, kami mohon agar tuan rujukkan surat ini kepada yang berhak menerimanya, atau beritahu kami kepada siapa kami harus memohon keizinan. Kami juga amat berbesar hati jika tuan dapat memberikan gambar yang lebih besar dan terang (high-resolution) untuk kegunaan kami. Jika tuan mengenakan bayaran untuk penggunaan gambar tersebut, harap maklum yang kami akan memotong dari harga yang ditetapkan, sebarang cukai atau levi yang perlu kami biayai, yang terbit daripada bayaran itu.

Keterangan lanjut tentang terbitan kami adalah seperti berikut:

Tajuk: Art in Life - Lower Secondary

Keterangan: Buku teks untuk pelajar menengah rendah, berdasarkan sukatan pelajaran terbaru Kementerian Pendidikan Singapura, untuk tahun 2009.

Saiz buku: 275 mm x 215 mm (Buku teks pelajar); 300 mm x 226 mm (Buku Panduan Guru).
Had mukasurat : 184 mukasurat untuk kedua buku (Buku teks dan Panduan Guru)
.............................. dst.

Senaskhah Buku Panduan Guru akan diberikan kepada sekolah-sekolah secara gratis bada tahun pertama. Jika guru-guru menginginkan lebih, setiap Buku Panduan Guru akan dijual pada harga $...............

Tarikh cetakan: November 2008.

Pasaran sasaran: Sektor pendidikan, khususnya di Singapura.
Bahasa penerbitan: Inggeris.

Semoga tuan dapat memberikan jawapan secepat mungkin. Terima kasih atas sokongan dan bantuan tuan.

Yang benar,
............
Editor
............ ............ Publishing
............ ........... .......... Asia (............)