Selasa, 24 Februari 2009

Pede Asumsi

Saya masih ingat, kira-kira dua tahun lalu ada pameran mengenai UKM di Gedung Pusat UKM Jakarta. Saat itu ada stand GKBI (Gabungan Koperasi batik Indonesia).

Saat itu GKBI membuka stan bukan dalam rangka berjualan batik tetapi mereka mencari mitra pengusaha supaya para pengusaha, khususnya UKM, bersedia menjadi anggota portal mereka.

Setelah ngobrol dengan penjaganya saya menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sungguh mulia. "Kami berusaha menjembatani antara pengusaha Indonesia, khususnya UKM, dengan pasar manca negara," kata mereka.

Saya masih belum mengerti dengan apa yang mereka katakan hingga kemudian salah satu dari mereka menjelaskan, "Saat ini sebenarnya banyak pengusaha kita yang punya potensi dan daya saing bagus di manca negara, tetapi mereka belum bisa menembus pasar asing karena selama ini yang menentukan adalah para buyer atau agen."

"Para buyer lah yang menentukan produk mana yang bisa dipasarkan dan mana yang tidak. Mereka juga yang menentukan spesifikasi produk yang harus dibuat. Padahal, apa pun produknya selalu ada pasarnya. Selalu ada konsumennya, tambah sang penjaga stan.

Sebuah logika yang masuk akal dan bagus, pikir saya. Saya setuju dengan pemikiran mereka. Apa pun produknya selalu ada konsumennya. Saat itu GKBI ingin para pengusaha UKM kita mampu menjangkau langsung pasar retail asing yang potensinya sangat besar.

Para agen dan buyer sebenarnya juga tidak salah. Mereka sudah mempunyai segmen sendiri-sendiri. Jadi produk yang masuk ke mereka juga harus sesuai dengan segmennya. Padahal jumlah dan macam segmen sangat beragam dan tidak seragam. Segmen-segmen ini potensinya bisa jadi jauh lebih besar dari apa yang dimiliki para agen. Dan para pengusaha kita belum mampu menembus langsung segmen ini.

Keadaan yang sama sebenarnya juga terjadi di dalam negeri. Sebagai produsen kita sering berhadapan dengan pihak yang kita anggap sebagai pedagang besar. Sebagai pedagang besar pesanan mereka kepada kita mungkin memang signifikan. Karena punya pengaruh yang besar tidak jarang mereka lah yang menentukan apa yang harus kita buat dan apa yang tidak boleh kita produksi. Dan sering pula kita tunduk kepada kemauan mereka. Padahal apa pun yang kita buat sebenarnya ada pasarnya.

Minggu lalu kami mendapat pelajaran yang sangat berharga. Ketika mendapat kesempatan berpameran di Balai Sidang Senayan JCC, kami memiliki produk yang kami unggulkan. Sebagai produk unggulan maka stok dipersiapkan dengan baik supaya cukup untuk "diborong" selama lima hari. Ternyata produk andalan kami kurang meyakinkan konsumen. Tidak banyak pengunjung yang membeli produk andalan ini. Padahal stok yang kami sediakan sangat cukup.

Kondisi yang sebaliknya ternyata terjadi pada produk yang sebenarnya masih kami ragukan. Produk yang sebenarnya masih masuk kategori prototype ini ternyata mampu menyedot perhatian pengunjung. Produk baru ini ternyata mampu menjadi "magnet" bagi stan kami. Banyak pengunjung yang masuk ke stan kami karena ingin menyentuh dan mempelajari produk 'percobaan' ini. Dan akhirnya memutuskan membeli padahal harganya paling mahal di antara semua produk yang kami pajang.

Yang menarik, bagi orang yang sudah lama bergerak di bidang garmen, produk kami banyak dikritik. Salah seorang dari mereka mengatakan bahwa produk kami kurang ini-kurang itu. Harusnya begini-harusnya begitu. Menurut definisi garmen produk kami sebenarnya bukan termasuk kategori ini maupun kategori itu. Dan masih banyak lagi kekurangannya.

Juga ketika salah satu pengunjung yang mengaku faham mode mengamati produk ini. Dia berpendapat bahwa produk yang sangat disukai konsumen ini sebenarnya salah definisi dan "peruntukan". Dia memberi banyak kritikan (anggap saja sebagai masukan) bagaimana seharusnya membuat produk yang "benar".

Ketika para pengamat garmen maupun mode selesai memberi banyak kritikan bagi produk kami, dan kemudian kami tanya balik mengapa malah ini yang sangat disukai konsumen? Mereka terdiam. Mereka cuma tertawa. Dan kembali mereka berbicara mengenai definisi-definisi.

Dari pada menghabiskan waktu untuk sesuatu yang kurang bermanfaat, mereka pun kami abaikan. Lebih baik melayani konsumen yang terus masuk ke stan kami karena adanya "magnet" produk 'percobaan' ini.

Saya kemudian ingat dengan perkataan sutradara andal Garin Nugroho. "Apa pun produknya selalu ada pasarnya," kata Garin. Saya pun membuktikan hal ini. Kalau pasar kita adalah para pemakai (end user), maka kita bebas berkreasi apa saja. Jangan hiraukan komentar para pemain lama yang logikanya sudah "terjebak" pada pakem-pekem yang sudah tidak relevan pada realitas.... Wallahu a'lam

Rabu, 11 Februari 2009

Sareh, Seleh

"Apa sih resepnya awet muda? Kok Ibu masih tampak muda, sehat, dan cantik terus?"

"Biasa saja, kita harus selalu ikhlas menjalani hidup. Tiap masalah jangan dibawa jadi berat. Kita harus selalu ceria...."

Itulah sekelumit obrolan antara ibu-ibu, yang hampir semuanya berpenampilan trendy, dengan Dr. Hj. BRA Mooryati Soedibyo, SS, M.Hum. Banyak sekali ya titelnya. Sebagai catatan, titel itu adalah titel beneran, bukan titel-titelan.

BRA adalah singkatan Bandoro Raden Ayu, sebuah gelar bangsawan dari Kraton Solo. Dia adalah Cucu Sri Susuhunan Pakoe Boewono X, raja Kraton Solo yang paling cemerlang. Adapun gelar doktor didapatnya dari Universitas Indonesia. Pada usia 76 tahun Bu Mooryati memutuskan melanjutkan S-3 di UI. Dan pada usia 80 tahun, tepatnya pada 16 Mei 2007, resmi menyandang doktor setelah berhasil mempertahankan disertasinya di hadapan tim penguji: Dr. Rhenald Khasali, Dr. Budi W.Soetjipto, Dr. Firmansyah dan Dr. Ruslan Prijadi. Disertasinya adalah "Kajian Terhadap Suksesi Kepemimpinan Puncak (CEO) Perusahaan Keluarga Indonesia (Menurut Perspektif Penerus)".

"Ah, masa cuma itu? Kok jawabannya sama dengan mbak Titik Puspa," komentar ibu-ibu yang merubungnya.

"Kalau memang itu jawabannya, saya harus jawab apa?" balas Bu Mooryati sambil ceria.

Terus terang saya sebenarnya tidak mengikuti obrolan antara Bu Mooryati dengan ibu-ibu pejabat, sebagian besar pejabat di daerah. Saya juga tidak tahu bagaimana ending pembicaraan mereka. Yang saya tahu setelah itu Bu Mooryati harus rela berdiri berlama-lama karena harus meladeni keinginan ibu-ibu yang antri untuk foto bareng. Saya mendapatkan cerita ini dari salah seorang kru dokumentasi yang meliput acara itu.

Yang ketiban rezeki tentu saja pada kru dokumentasi. Foto-foto yang mereka buat semuanya ludes dibeli meski harganya, tentu saja, sangat "beda".

Sareh dan seleh adalah istilah dalam bahasa Jawa yang artinya ya ikhlas. Kalau kita sudah mampu ikhlas maka semua masalah yang kita hadapi menjadi biasa. Masalah memang harus dipecahkan tapi tidak harus menguras hati kita sehingga bisa mempengaruhi pelayanan kita kepada orang lain.

Pada acara yang diadakan minggu lalu, saya sendiri melihat Bu Mooryati memang tampak sehat dan selalu senyum. Tanda fisik yang menunjukkan bahwa beliau sudah usia senja adalah harus didampingi kalau menaiki tangga.

Meski awalnya kurang yakin dengan cerita kru dokumentasi, pembuktian itu akhirnya datang juga. Ketika Bu Mooryati mendatangi stand kami, dan saya harus menerangkan produk yang dipajang, dan jarak antara saya dengan Bu Mooryati kurang dari satu meter, ternyata benar.

Wajahnya halus banget. Saya tidak melihat keriput di wajahnya, padahal make up nya (yang saya tahu) tidak tebal. Ketika tangannya menunjuk sebuah produk memang tampak ada kerutan, tapi kerutan itu tidak banyak.

"Kok bisa ya seorang ibu yang sudah kepala delapan masih seperti ini, maksudnya, masih sehalus ini," kata saya (dalam hati tentu saja).

Ingin tahu jawabannya? Silahkan bertanya pada salah satu ahlinya, yaitu Oma Ning Harmanto. Kalau aksesnya luambaaat coba ke sini. :)