Jumat, 27 Maret 2009

Lompatan Pede


Hari Selasa kemarin saya mendapat undangan dari Modernisator, sebuah organisasi nirlaba yang didirikan oleh beberapa tokoh nasional. Mereka mengadakan acara ILF (Innovative Leaders Forum) ke-4 di Hotel Le Meridien.

Acara kali ini mengambil tema "Creative Entrepreneurship di Tengah Badai" dengan menampilkan pembicara: Peter F Gontha yang menguraikan bagaimana ia berinovasi merintis dan mengembangkan Java Jazz sehingga menjadi festival musik internasional paling bergengsi dan menempatkan Indonesia di peta musik jazz dunia.

Pembicara lainnya adalah Emirsyah Satar, Presiden Direktur Garuda Indonesia yang memaparkan bagaimana ia dalam waktu singkat (2 tahun) mengubah kinerja Garuda Indonesia dari kerugian menjadi keuntungan di tahun 2008.

Adapun pembicara terakhir menampilkan Sudhamek AWS, CEO Garuda Food Group, yang memberikan gambaran bagaimana pengusaha di sektor riil (food and agricultural products) dapat bertahan melawan badai krisis ekonomi global.

Di sini saya tidak akan menceritakan materi seminar tersebut karena saya pikir terlalu panjang kalau harus ditulis ulang, meski diringkas sekali pun.

Saya hanya akan sedikit sharing bagaimana upaya saya mendekati para tokoh nasional yang saat itu hadir di sana.

Karena di undangan acara akan dmulai pada jam 17.00, saya pun berusaha datang tepat waktu. Dan betul, saya berhasil masuk Le Meridien jam 16.55, alias kurang lima menit dari jadwal yang ditulis di undangan. Saya berusaha datang tepat waktu karena terbiasa dengan acara-acara yang diadakan TDA yang biasanya memang relatif tepat waktu.

Ternyata perkiraan saya meleset. Ballroom masih tampak kosong. Hanya ada panitia dan beberapa gelintir hadirin. Di antara hadirin yang tepat waktu ini cukup banyak yang berwajah bule. Mereka adalah para staf kedutaan asing. Bahkan Dubes Amerika juga sudah ada di sana. Yang cukup mengejutkan, ternyata semua nara sumber, termasuk pak Ciputra (sebagai keynote speaker) sudah ada di sana.

Jadi acara ini semacam "kebalikan" dari acara seminar-seminar lainnya. Di sini nara sumber menunggu hadirin. Termasuk yang hadir tepat waktu adalah pak David Zhou, member TDA yang mempunyai akses dan mengundang kami. Terima kasih pak David.

Ketika sedang menikmati snack saya lihat Pak Ciputra, Pak Emirsyah Satar (Presdir Garuda), Pak Sudhamek (CEO dan owner Garuda Food) sedang duduk satu meja. Ada keinginan kuat saya untuk bergabung dengan mereka. Ketika saya berusaha mendekati meja itu tiba-tiba ada perasaan minder menghinggapi. Saya mundur lagi. Tapi dalam hati saya berkata, kalau tidak sekarang, kapan lagi bisa semeja dengan para tokoh sekaliber mereka.

Ketika itu tiba-tiba saya teringat dengan workshop EDAN-nya pak Sopa. Mereka memang sudah kaliber nasional, bahkan internasional. Mereka memang kompeten di bidang masing-masing. Tapi soal batik, saya lah yang paling kompeten di antara mereka semua. Saya lah yang paling tahu masalah batik dibanding mereka bertiga.

Saya kembali berdiri, mendekati meja mereka, tapi tidak langsung mengarah ke sana, melainkan mengambil minuman dulu di luar ballroom, dan kembali masuk lewat pintu lain, pintu yang lebih dekat ke meja mereka.

Yang saya datangi pertama adalah pak Ci. Sambil memberikan kartu nama saya berkata kepada Beliau, bahwa saya adalah orang yang mengikuti jejak pak Ci ingin menjadi bagian dari 2% penduduk Indonesia yang menjadi entrepreneur. "Bagus-bagus, baru sekarang saya dengar ada RumahBatik," kata Pak Ci sambil tertawa lebar dan menepuk-nepuk saya. Cair. Selanjutnya menjadi mudah karena pak Emirsyah dan pak Sudhamek masing-masing memberikan kartu namanya kepada saya dengan sukarela... :)

Hampir saja saya minder lagi dengan meninggalkan mereka. Tapi kembali saya berfikir, kalau di hadapan saya adalah para owner, maka saya juga owner. Jadi kita sederajat. Semuanya bos... :)

Saya pun akhirnya duduk semeja dengan pak Ci, Presdir Garuda, dan CEO Garuda Food. Di meja itulah saya mendapat banyak cerita bagaimana pak Emirsyah membangkitkan mental karyawannya sehingga Garuda mampu berubah menjadi perusahaan yang menguntungkan, efisien, efektif, lincah. Kami memang tdak bisa duduk berlama-lama karena acara harus dimulai (setelah ngaret 30 menit).

Bagi saya ini adalah ujian bagaimana mengatasi rasa minder menghadapi seseorang yang kita anggap besar. Padahal ketika kita masuk dalam pembicaraan mereka, sebenarnya mereka biasa-biasa saja. Ilmu-ilmu yang mereka miliki sebenarnya juga sudah kita dapatkan. Jadi yang kita perlukan dan harus diasah adalah keberanian dan jam terbang yang akan meningkatkan kemampuan kita...

ilustrasi: 4.bp

Rabu, 18 Maret 2009

TDA dan "Era Sejuta Bill Gates"

Sebuah tulisan sangat menarik tentang TDA di Majalah Warta Ekonomi No.04 (23 Feb-8 Maret 2009) halaman 72 dan 73. Artikel ini ditulis oleh Yuswohadi, Direktur Eksekutif MIM (MarkPlus Institute of Marketing) dan penulis Buku "Crowd: Marketing Becomes Horizontal".

Silahkan klik fotonya kalau ingin membaca artikel tersebut.


Tulisan versi blognya ada di bawah ini:
---------------

Minggu lalu saya ketemu mas Iim Rusyamsi, Rosihan, dan mbak Inez dari komunitas Tangan Di Atas (TDA). Lama ngobrol dengan mereka banyak pelajaran yang saya dapat. Cerita mereka mengenai bagaimana TDA “beroperasi” membuat saya takjub. Takjub, karena model komunitas yang saya bayangkan selama ini, yaitu apa yang saya sebut “VALUE-CREATING COMMUNITY” berlangsung dalam format sederhana di komunitas yang baru berusia 3 tahun ini.

Sebelumnya saya membayangkan value-creating community ini hanya ada pada kasus-kasus hebat seperti komunitas Linux, komunitas Mozila Firefox, komunitas programer amatir Nokia, komunitas InnoCentive, komunitas Wikipedia, atau komunitas Facebook. Tapi rupanya cikal bakal komunitas pencipta nilai ini sudah ada di negeri ini. Saya pun berharap komunitas seperti TDA ini bisa menjadi model terbentuknya komunitas-komunitas sejenis secara massal di negeri ini.

Bermula Dari Blog

Sebagai background ada baiknya jika saya ceritakan sedikit sejarah berdirinya komunitas ini. Komunitas ini didirikan oleh Badroni Yuzirman yang berawal dari sebuah blog yang ditulisnya. Dari blog yang cenderung “memprovokasi” pembacanya untuk menjadi pengusaha itu kemudian tercetus ide melakukan kopi darat dalam bentuk talkshow dengan menghadirkan Haji Ali, salah satu tokoh sukses yang sering diceritakan di blog tersebut.

Dari talkshow itulah diperkenalkan “Tangan Di Atas” sebagai nama komunitas ini, yang kemudian diperluas tafsirnya menjadi pengusaha atau pedagang. Para peserta kemudian ditantang untuk langsung take action memulai bisnis dengan membuka kios di ITC Mangga Dua. Untuk memperlancar komunikasi, koordinasi dan diskusi mengenai problem bisnis mereka, maka dibuatlah mailing list. Mailing list itu kemudian dibuka untuk umum dengan anggota mencapai ratusan orang.

Dalam rumusan visi-misinya, komunitas ini memiliki tujuan mulia mencetak pengusaha kaya yang gemar memberi kepada sesamanya. Bahkan di dalam misinya secara jelas ditargetkan komunitas ini berambisi mencetak 10.000 pengusaha miliarder sampai dengan tahun 2018. Untuk mewujudkannya, mereka menggunakan medium komunitas. Kenapa? Karena mereka meyakini bahwa dengan berbagi, saling mendukung, memecahkan persoalan bersama, dan bersinergi satu sama lain, persoalan seberat apapun akan mudah terpecahkan.

Jumlah anggota komunitas ini sampai saat ini sudah sekitar 5000 orang tersebar di berbagai kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Malang, Member komunitas ini secara umum dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, TDA (Tangan Di atas), yaitu member yang sudah full berbisnis dan dalam upaya meningkatkan bisnisnya ke jenjang lebih tinggi. Kedua, TDB (Tangan Di bawah), yaitu member yang masih bekerja sebagai karyawan dan sedang berupaya untuk pindah kuadran menjadi TDA. Ketiga, Ampibi, yaitu member yang masih dalam tahap peralihan dari TDB ke TDA dengan melakukan bisnis secara sambilan.

Untuk memfasilitasi para member-nya komunitas ini telah menjalankan beragam kegiatan produktif yang begitu padat. Kegiatannya mulai dari seminar, workshop, pameran, diskusi online, webinar, business coach, buka kios bersama, leverage game, CSR, kelompok-kelompok diskusi Mastermind, dan sebagainya. Semua kegiatan itu dijalankan untuk memasilitasi dan mengantarkan member menjadi TDA yang sukses.

Value-Creating Community

Balik ke topik semula. TDA saya sebut value-creating community karena sekelompok orang yang punya minat, keinginan, dan visi yang sama bergabung, berkomunikasi, berinteraksi, berkolaborasi, berdiskusi, saling belajar, saling bertukar informasi, saling memberi ide, dan saling memberi solusi atas persoalan yang mereka hadapi. Berbeda dengan komunitas-komunitas yang ada sebelumnya, komunitas ini memanfaatkan web 2.0 tools dan social media seperti blog, milis, Facebook, Multiply, Yahoogroups, YM, dan lain-lain untuk memasilitasi aktivitasnya. Saya kira MASS COLLABORATION dalam format yang sederhana terjadi di dalm komunitas ini.

Mereka membentuk komunitas untuk mengambil manfaat dari apa yang oleh James Surowiecki disebut ”WISDOM OF CROWD”. Mereka meyakini prinsip dasar bahwa ”WE are smarter than ME”: bahwa sesuatu yang dikerjakan secara bersama-sama pasti hasilnya jauh lebih bagus, lebih sempurna, lebih hebat, lebih solid, lebih cepat, lebih efisien, lebih produktif. It’s the power of crowd. Mereka melakukan apa yang disebut kolaborasi secara kolektif di antara member untuk menciptakan nilai. Istilah kerennya: ”mass collaboration for value creation”.

Menariknya, proses komunikasi dan kolaborasi itu berlangsung secara horisontal dan natural. Horisontal, karena di dalam komunitas itu tak ada sebuah otoritas formal yang mengontrol kerja dari komunitas ini. Kalaupun di situ ada mas Iim dan timnya, itu lebih bersifat memfasilitasi, bukan mengatur apalagi menginstruksikan dan mengontrol kerja dari komunitas ini.

Di sini tak ada kooptasi dari Kementrian Koperasi dan UKM; tidak ada instruksi dari Kementrian Pemuda dan Olah Raga; tak ada dana INPRES. Mereka juga tidak menjual proposal ke World Bank atau IMF. Mereka bukanlah komunitas malas yang menunggu datangnya subsidi dan bantuan dari pemerintah atau lembaga donor. Semua kebutuhan dana dicukupi sendiri secara mandiri, kalau perlu pakai saweran. Itu pula sebabnya UKM-UKM binaan pemerintah atau LSM selalu loyo, tak pernah bisa sesolid mereka. Kenapa? Karena mindset dan landasan berpikir komunitas yang dibangun Pemerintah dan LSM 180 derajat berbeda dengan komunitas ini.

Karena mereka memiliki ”mimpi besar” yang sama untuk menjadi great entrepreneur, mereka mampu menyatukan langkah dan menyingkirkan semua persoalan yang menghadang untuk mewujudkan mimpi tersebut. Mereka membentuk apa yang saya sebut ”network of trust” yang memungkinkan komunitas ini bekerja secara seamless, ”self-managed ”, self-coordinated”, ”self-governed” berdasarkan pola kerja bersama yang mereka sepakati. Itu sebabnya mas Iim menyebut komunitas ini: ”trust-based community”.

Jujur, selama berbulan-bulan menulis CROWD: ”Marketing Becomes Horizontal” saya mendambakan adanya sebuah komunitas penciptaan nilai yang mampu memberikan kontribusi besar bagi negeri ini. Sebuah komunitas yang mampu memberdayakan setiap potensi individu dan mengambil manfaat dari kekuatan collective wisdoms. Selama menulis buku waktu itu memang yang ada di benak saya adalah komunitas Linux, komunitas Mozila Firefox, komunitas YouTube, komunitas InnoCentive. Tapi rupanya, dalam format yang sederhana tapi down to earth, value-creating community itu sudah hadir di negeri ini.

Dua minggu lalu saya surprise, karena value-creating community yang memanfaatkan social media ini juga telah hadir dalam format yang sederhana di dunia sastra. Dalam artikelnya, Sastra Pun Berdiaspora, (Minggu, 11 Januari 2009), Kompas menengarai munculnya fenomena ”era booming sastrawan”. Kata Kompas, saat ini sedang terjadi boom munculnya sastrawan-sastrawan baru dalam jumlah yang besar, yang lahir tak hanya dari kalangan sastrawan tapi juga dari kalangan mahasiswa, anak-anak SMA, remaja-remaja gaul, buruh pabrik, ibu rumah tangga, anak jalanan, hingga pembantu rumah tangga.

Bagaimana boom sastrawan ini bisa terjadi? Biangnya adalah media sosial yang memungkinkan siapaun kita bisa membicarakan, berdiskusi, membaca, dan menulis puisi. Media sosial itu bisa berupa komunitas-komunitas penggandrung sastra (contohnya di tulisan itu: Komunitas Bunga Matahari, Komunitas Lingkar Pena, dsb) juga media-media sosial seperti situs-situs Blogspot, Multiply, Worpress, Friendster, atau Facebook.

Para penggiat sastra itu membentuk “crowd” atau komunitas yang menjadi medium bagi mereka untuk belajar, bertukar pikiran, berdiskusi, dan akhirnya menghasilkan karya. Proses penciptaan karya sastra kini sudah tidak dilakukan secara sendiri-sendiri (merenung di pucuk gunung atau di pinggir pantai yang sepi) tapi melalui social media seperti komunitas online atau situs jejaring sosial seperti Facebook untuk mengambil manfaat dari adanya “wisdom of crowd” seperti halnya yang terjadi pada komunitas TDA.

“Sejuta Bill Gates”

Ngobrol panjang dengan mas Iim, mas Rosihan, dan mbak Ines tentang TDA mengingatkan saya tentang buku powerful yang ditulis Thomas Friedman, The World Is Flat. Dalam buku itu Friedman memprediksi munculnya ”jaman keemasan” di mana akan lahir 3 miliar individu dari India, Cina, Rusia dan beberapa negara industri baru seperti Brasil, Malaysia, hingga Vietnam yang saling berkolaborasi sekaligus berkompetisi secara virtual-global untuk menghasilkan inovasi-inovasi dan value creation dalam kuantitas dan kualitas yang tak terbayangkan dalam sejarah umat manusia.

Tiga miliar individu itu akan merupakan spesialis-spesialis yang saling berinteraksi, saling sharing knowledge, saling berkolaborasi kerja satu sama lain untuk menghasilkan invasi-inovasi besar sekelas Linux atau membentuk perusahaan hebat sekelas eBay atau Google. Ketika 3 miliar individu itu memiliki akses kepada perangkat-perangkat kolaborasi (tools of collaboration) berbasis internet maka mereka akan menjadi spesialis yang siap untuk ”plug & play” di dalam jaringan kerja virtual-global yang sangat efisien, seamless, self-governed, dan sangat powerful.

Di dalam jaringan ini, betul-betul yang menjadi main driver-nya adalah individu—nggak ada lagi negara, nggak ada lagi IMF atau WTO, nggak ada lagi multinational corporation. Karena itu Friedman menyebut saat itu sebagai era pemberdayaan individu: ”Individual empowerment”.

Karena energi dan potensi individu terlepaskan (”unleash”) dengan adanya mass collaboration, maka dunia nantinya akan mampu memproduksi orang hebat macam Bill Gates atau Steve Jobs bukan hanya dalam jumlah puluhan atau ratusan, tapi bisa mencapai miliaran. Friedman bahkan sudah menyebutkan angka pastinya: 3 miliar. Miliaran individu hebat akan menghasilkan jutaan inovasi hebat, jutaan teknologi hebat, jutaan perusahaan hebat, jutaan organisasi hebat, alangkah indahnya.

Terus terang saat membaca hipotesis itu, saya berguman Friedman sedang ngelantur. Namun begitu seminggu lalu saya mendengar cerita mas Iim, mas Rosihan, dan mbak Inez, saya jadi takjub: ”Rupanya apa yang divisikan Friedman bukanlah omong kosong.”

Seperti Friedman saya bermimpi (”I have a dream …” kata Martin Luther King), kehadiran TDA dan ”TDA-TDA lain” yang bakal menyusul akan mampu melahirkan sejuta entrepreneur hebat sekelas Bill Gates di Indonesia. Saya tidak muluk-muluk seperti Friedman. Tak usah ”3 miliar”, didiskon cuma jadi ”sejuta” saja sudah alhamdulillah. Jadi dengan mass collaboration, kini kita sedang menyongsong sebuah era keemasan di mana akan lahir sejuta Bill Gates di negeri ini. Saya menyebut era itu ”ERA SEJUTA BILL GATES”

…Mari kita songsong: ”ERA SEJUTA BILL GATES”

Kamis, 12 Maret 2009

Gila Beneran Versi Madoff


Hari ini saya kaget membaca sepak terjang Madoff. Kompas hari ini menulis, pria yang sudah berusia 71 tahun ini (lahir 29 April 1938) terancam dihukum 150 tahun. Dia terancam hukuman seberat ini karena telah berhasil memecahkan rekor melakukan penipuan terbesar sepanjang sejarah manusia.

Lebih dari 23 lembaga kelas kakap telah berhasil masuk perangkap orang tua ini. Jaksa menghitung, total kerugian akibat skema Ponzi ciptaan Madoff adalah 170 milyar dollar. Metode skema Ponzi adalah memberikan bunga tetap 10% kepada investor.

Tabloid Kontan 15 Desember 2008 menulis, Dengan skema Ponzi, Madoff membayar investor lama dengan uang investor baru. Skema piramid ini akan terus berlanjut, dan baru berakhir ketika tak ada lagi duit baru yang masuk.

Biasanya, skema Ponzi takkan berlangsung lama. Namun Madoff berhasil menjalankannya bertahun-tahun. Tapi, krisis menyingkap tabir Madoff. Nasabahnya mulai menarik uangnya, dan tak banyak setoran dana baru. Madoff pun kolaps.

Investor bisa tertipu lantaran Madoff mengirimkan pernyataan rinci kepada investor. Beberapa kali ia melaporkan ratusan perdagangan saham individu per bulan. Investor yang hendak menarik uangnya pun dengan mudah mendapatkannya dalam beberapa hari saja.

Lagi pula, resume Madoff tak tercela. Ia merupakan salah satu broker yang menggagas pendirian bursa Nasdaq. Pada 2001, perusahaan Madoff, Bernard L. Madoff Investment Securities LLC, bahkan menjadi salah satu dari tiga besar market maker di bursa Nasdaq.

Alhasil, selama beberapa dekade, Madoff mengantongi dua reputasi di antara investor. Banyak orang kaya New York dan Florida menganggapnya jagoan investasi terpercaya. Pihak lainnya, skeptis dan bertanya-tanya tentang return-nya yang selalu stabil. Mereka curiga dengan ketertutupan perusahaan dan auditor tak terkenal yang mengaudit perusahaan. Pihak yang membela Madoff akhirnya harus melihat realitas ketika pada 11 Desember 2008 FBI menangkap orang yang sudah renta ini.

Adalah kebetulan atau tidak ya, namanya kok ya Madoff. Kalau suku kata ini dipisah kan menjadi 'Mad' dan 'off'. 'Mad' bisa berarti: gila, marah, ketagihan. Adapun 'off' artinya: mati, salah, batal, sial, jauh, jatuh, mustahil. Kok nggak ada positifnya babar blas... :).

Pelajaran yang sangat berharga adalah, penawaran investasi yang menjanjikan return tetap pastilah berlaku curang. Kondisi perekonomian yang tidak tetap tidak mungkin menghasilkan keuntungan tetap terus menerus. Bisnis bisa untung dan kadang juga rugi.


Ekonomi berbasis riil tidak mungkin bisa menjanjikan bunga pasti. Win-win solution dari bisnis berbasis riil adalah sistem bagi hasil. Kalau ada yang berani menjanjikan keuntungan pasti dan tetap, bisa dipastikan bisnisnya berbasis non riil alias bisnis "balon" yang tidak riil dan berbahaya.

Sampai sekarang saya masih sering mendapat penawaran investasi yang menjanjikan keuntungan pasti dan pasti untung. Maka kita harus menolak penawaran investasi seperti ini karena tidak jelas basisnya, dan cenderung menipu.


foto: economist

Kamis, 05 Maret 2009

Pidato Caleg

Pada acara Festival Entrepreneur Indonesia yang diadakan dalam rangka Milad ke-3 TDA pada 28 Feb-1 Maret 2009 kemarin, saya bertemu dengan seorang Caleg merangkap Ketua Dewan Pembina "UKM". Meski saya sudah lama mendengar namanya, namun baru kali itu saya bertemu muka dengan beliau. Tidak bisa dipungkiri bahwa sang Caleg ini cukup tampan.....


Maka tidak aneh kalau semua peserta sudah kena tebar SUAPnya. Ya, semua peserta, tidak terkecuali, meski banyak yang tidak menyadari.


Ternyata di dalam amplop terdapat sebuah naskah teks pidato. Pidato yang sangat "menyentuh". Pidato pergerakan....


Silahkan klik fotonya satu persatu kalau ingin melihat secara komprehensif.

Terima kasih.
Wassalam.