Selasa, 29 Desember 2009

Bekasi, Bisa!


Ternyata Kota Bekasi merupakan kota besar kelima di Negeri ini setelah Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan. Sebagai kota besar dengan 1.940.308 jiwa yang tinggal di 12 kecamatan dan 56 kelurahan tentu memerlukan pengelolaan yang tidak sederhana.

Bekasi merupakan salah satu kota penyangga di wilayah megapolitan Jabotabek selain Tangerang, Tangerang Selatan, Bogor, Depok, dan Cikarang. Serta menjadi tempat tinggal para komuter yang bekerja di Jakarta. Oleh karena itu, ekonomi Kota Bekasi sangat berhubungan erat dengan kota-kota di wilayah Jabotabek.

Kegiatan perekonomian di Kota Bekasi cukup menggeliat, hal ini terlihat dari banyaknya mal, pertokoan, bank, serta restoran yang berdiri di sini. Kota Bekasi juga menjadi salah satu pilihan bagi warga Jabotabek yang hendak berwisata belanja, karena di sini terdapat Mal Metropolitan, Mega Bekasi Hypermal, Bekasi Square, Plaza Pondok Gede, Grand Mal, Bekasi Cyber Park, dan Bekasi Trade Center. Pusat belanja hypermarket seperti Carrefour, Giant, Makro, dan Hypermart juga hadir di kota ini.

Adapun kompleks perumahan juga tidak sedikit. Setidaknya ada 60 perumahan (selain Perumnas) banyak berkembang di sini. Kabarnya pengembang Summarecon Agung juga berencana membangun kota mandiri Summarecon Bekasi seluas 300 ha di Bekasi Utara.

Melihat perkembangan Kota Bekasi yang demikian pesat tentu saja Pemda meresponnya dengan melakukan banyak hal. Salah satunya adalah menyiapkan dan memperbaiki infra strukturnya. Saat ini hampir semua jalan di Bekasi sudah lebar dan nyaman dilalui.

Sebagaimana kota-kota besar lainnya pesatnya pembangunan fisik akan menimbulkan masalah lain yang cukup pelik, seperti adanya ketimpangan ekonomi. Sehingga makin banyak dijumpai gelandangan, pengemis, dan pengamen di sepanjang jalan, terutama di lampu-lampu merah. Masalah sosial ini bisa menimbulkan keresahan kalau tidak dikelola dengan cukup baik.

Inti dari ketimpangan ekonomi adalah adanya sebagian kelompok masyarakat yang tidak terikut sertakan dalam proses pembangunan yang demikian pesat. Maka salah satu solusinya adalah menyediakan sarana bagi mereka untuk bisa ikut menikmati perkembangan ekonomi ini.

Aset Pariwisata

Di samping berkembangnya pusat-pusat ekonomi, Bekasi sebenarnya mempunyai aset besar namun belum dikelola dengan baik. Aset itu berupa cagar budaya yang sarat dengan sejarah perkembangan kota ini. Padahal kalau dikelola dengan baik peninggalan budaya ini bisa menggerakkan kegiatan ekonomi dengan cukup signifikan. Ada banyak contoh bagaimana kota-kota di dunia bisa mengandalkan pendapatan penduduknya dengan mengandalkan budaya khasnya.

Adapun aset cagar budaya yang dimiliki kota Bekasi adalah Monumen Sejarah Perjuangan Kali Bekasi di stasiun bus, Tugu Pahlawan Bekasi di Jalan Veteran, Gedong Papak di Jalan Juanda, Tugu di kawasan proyek, dan Gongkaman di Mustika Jaya.

Cagar-cagar budaya tersebut kalau dikelola dengan konsep yang jelas, membidik segmen yang pas, dan eksekusi yang profesional tentu akan menjadi magnet yang mampu menarik wisatawan dan biro-biro wisata. Bekasi bisa berubah tidak hanya menjadi kota transit namun bisa menjadi kota tujuan wisata dengan ciri khasnya yang jelas dan tegas.

Salah satu usulan konsep yang saya ajukan adalah, pada salah satu cagar budaya didirikan pusat jajanan atau kuliner tradisional. Karena penduduk Bekasi berasal dari beragam suku dan etnis maka yang disajikan pada pusat kuliner adalah makanan-makanan tradisional yang berasal dari berbagai daerah. Para pelaku usaha kuliner bebas membuka usahanya asalkan yang disajikan bersifat asli Indonesia.

Pada sentra kuliner ini tidak hanya menyajikan makanan semata. Kuliner akan jauh lebih berkesan kalau di dalamnya ada kegiatan seni. Di tengah sentra didirikan semacam panggung tempat live music beraksi. Yang diutamakan bisa beraksi pada live music adalah para pengamen atau grup pengamen yg terseleksi. Tidak sulit menemukan grup pengamen berkualitas. Mereka sangat apik memainkan seni musik. Saat ini panggung mereka adalah KRL-KRL ekonomi. Dengan promosi yang profesional rasanya tidak sulit mengubah cagar budaya menjadi pusat budaya plus (ekonomi).

Untuk cagar-cagar budaya yang lain dibuat konsep yang berbeda tapi positioningnya harus tegas dan jelas.

Kalau cagar-cagar budaya bisa diubah menjadi magnet wisata, Bekasi akan makin mantap sebagai kota yang perkembangan fisiknya selaras dengan pembangunan non fisik. Keselarasan fisik dan non fisik masih sangat langka kita jumpai. Saya yakin Bekasi mampu melakukan itu.

Bekasi memang istimewa. Keistimewaan ini banyak dikisahkan dalam karya-karya sastra Indonesia. Antara lain dalam puisi Krawang-Bekasi karya Chairil Anwar dan dalam dua novel karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Kranji-Bekasi Jatuh (1947) serta Di Tepi Kali Bekasi (1951). Karya-karya tersebut lahir pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, di mana kedua penulis tersebut menjadi saksi perjuangan rakyat Bekasi dalam membela kemerdekaan.

Bekasi, bisa!