Kamis, 28 April 2011

Batik Lorok Unggulan Pacitan

Batik Lorok Pacitan Indonesia di tahun 2010 sudah mulai menampakkan keindahan. Para pembatik muda (ibu-ibu muda, remaja lulusan SLTA) sudah mulai terampil membatik. Ada dua jenis batik yang dibuat di era tahun ini yaitu, batik pewarna alam dan batik klasik modern seperti pada foto di samping. 


Batik klasik modern dibuat seperti layaknya batik Lorok tempo dulu, yaitu dengan cara pewarnaan menggunakan wedel (nilo) lalu dilorot, dibatik lagi, di soga lalu dilorot lagi. Sentuhan modernnya berupa coletan warna merah (rapid) dan pemberian warna kuning (sol) pada bagian obyek tertentu. 


Desain batik juga dibuat lebih kontemporer mengikuti perkembangan jaman, namun tidak meninggalkan ciri khas batik lorok yang berupa motif flora dan fauna yang berada di lingkungan daerah Lorok Pacitan.
---------------

Pemerintah Kabupaten Pacitan, Jawa Timur optimistis industri batik khas lorok yang diagendakan pemerintah menjadi produk unggulan daerah yang dioptimalkan melalui metode one village one product (OVP)  akan tercapai.

Indartarto, Bupati Pacitan, menjelaskan, batik diprioritaskan pengembangannya, karena sudah menjadi warisan budaya Indonesia. Batik khas Pacitan bahkan memiliki keunggulan kompetitif dari sisi warna, karena menggunakan bahan alami dari akar-akaran dan kulit kayu.

”Produk batik dengan pewarnaan alami memiliki prospek yang cukup baik di samping produk lain yang cukup potensial di kawasan Pacitan. Namun, perkembangannya yang masih perlu dioptimalkan, karena ada yang masih memperihatinkan,” ujar Indartarto pada acara peluncuran batik Pacitan melalui program OVOP.

Saat ini unit usaha perajin batik yang lebih terkonsentrasi di Dusun Lorok, Kecamatan Ngadirojo, Pacitan terdiri dari 134. Jumlah tenaga kerjanya mencapai 287 orang. Sedangkan nilai investasinya mencapai Rp 3,4 miliar.

Agar produk batik Lorok dari Pacitan optimal, Kementerian Koperasi dan UKM memfasilitasinya dengan metode OVOP.  Program ini mengarah pada peningkatan dan pengembangan komoditas unggulan daerah. Terutama untuk masuk pasar internasional.

Dengan sistem pewarnaan alami dari akar-akaran dan kulit kayu, tampilan batik dari daerah ini terkesan lembut. Meski demikian, produk yang dihasilkan sementara ini masih mengarah pada pemakaian tradisional, dan belum dijadikan sebagai produk fesyen seperi baju.

Melalui OVOP, batik Pacitan diharapkan bisa meningkat serta memberi inilai tambah kepada perajin. Batik Pacitan sebenarnya sudah dipamerkan dan dipasarkan di Gallery UKM Indonesia di Gedung Smesco UKM, Jakarta Selatan.

Sesuai prinsip OVOP, yakni local but global, maka Kementerian Koperasi dan UKM berpran aktif mengoptimalkan produk batik dari Pacitan. Instansi ini juga melakukan perkuatan pembiayaan kepada beberapa koperasi setempat untuk meningkatkan permodalan.

Selain batik, komoditas lain yang ditingkatkan kualitas dan pemasarannya adalah, batu aji, gula merah, olahan ikan, produk gerabah, kerajinan olahan kayu, ketela hingga kerajinan anyaman bambu.

”Jumlah koperasi di seluruh Pacitan 391 unit, dan jumlah anggota sekitar 65.000. Total modal kerja mereka sekitar Rp 66 miliar, namun dari kegiatan ekonomi mereka belum berjalan bagus, karena nilai pinjaman masyarakat masih lebih besar dibandingkan dengan simpanan di perbankan,” ujar Indartarto. 


sumber: 

Jumat, 22 April 2011

KPPU Beri Saran Soal Batik Jamaah Haji

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyampaikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah terkait pengadaan batik seragam jamaah haji Indonesia tahun ini. Langkah ini dilakukan untuk menciptakan harmonisasi antara kebijakan pemerintah dengan hukum persaingan usaha di Tanah Air. 
Kepala Biro Hukum dan Humas KPPU Zaki Zein Badroen mengatakan pertimbangan tersebut disampaikan melalui surat No. 25/K/II/2011 kepada Menteri Agama RI yang ditembuskan kepada Presiden RI, Komisi VI DPR, Komisi VIII DPR, Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Koperasi dan UKM, dan Ketua LKPP.

"Surat pertimbangan itu dilakukan agar tidak bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana yang terkandung dalam UU No.5/1999," katanya, hari ini.

Dalam surat pertimbangan tersebut, KPPU meminta pemerintah agar menetapkan kriteria yang jelas dalam proses pengadaan seragam haji tersebut. Selain itu, jelas Zaki, KPPU mengimbau pemerintah a.l untuk menyatakan secara terbuka bahwa hak cipta atas seragam jemaah haji tersebut dapat digunakan oleh semua pelaku usaha yang memenuhi kriteria dan tidak dibatasi hanya pada 10 pelaku usaha saja. 

Dalam pengadaan seragam haji tersebut, Kementerian Agama dan Kementerian Koperasi dan UKM telah menentukan desain rancangan batik melalui proses sayembara yang diikuti oleh pelaku usaha kecil menengah. 

"Hingga saat ini, kami masih menunggu tanggapan dari Kementerian Agama atas surat pertimbangan tersebut. KPPU sangat berharap agar setiap kebijakan yang diberlakukan pemerintah selalu mempertimbangkan sudut pandang persaingan usaha," ujar Zaki.

Sementara itu, secara terpisah Abdul Ghofur Djawahir, Sekretaris Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU) Kemeterian Agama mengaku pihaknya telah melaksanakan pertimbangan KPPU tersebut.

"Hingga sudah ada 18 UKM yang berminat untuk menjadi rekanan dalam pengadaan. Kami masih membuka kesempatan bagi yang berminat asal harus sesuai dengan kriteria yang ditentukan," katanya, hari ini.

Kementerian Agama, jelasnya, berkomitmen untuk mempertimbangkan sisi hukum persaingan usah dalam pengadaan seragam haji. Menurutnya, proses seleksi pengadaan seragam haji akan dilakukan hingga menjelang musim haji tahun ini.

"Kami pastikan proses pengadaan seragam ini akan berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada termasuk UU Persaingan Usaha," ujarnya.


sumber: Bisnis Indonesia

Sabtu, 16 April 2011

Sedekah yang Paling Afdhol


Dalam sebuah hadits terdapat penjelasan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam mengenai aktifitas bersedekah yang paling utama aliasafdhol.
Tidak semua bentuk bersedekah bernilai afdhol. Bagi orang yang berusia muda dan sedang energik tentunya bersedekah memiliki nilai lebih tinggi di sisi Allah daripada bersedekahnya seorang yang telah lanjut usia, sakit-sakitan, dan sudah menjelang meninggal dunia.
Untuk itulah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memberikan gambaran kepada ummatnya mengenai sedekah yang paling afdhol.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ حَرِيصٌ
تَأْمُلُ الْغِنَى وَتَخْشَى الْفَقْرَ وَلَا تُمْهِلْ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُومَ
قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ
“Seseorang bertanya kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam: “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling afdhol?” Beliau menjawab: “Kau bersedekah ketika kau masih dalam keadaan sehat lagi loba, kau sangat ingin menjadi kaya, dan khawatir miskin. Jangan kau tunda hingga ruh sudah sampai di kerongkongan, kau baru berpesan :”Untuk si fulan sekian, dan untuk si fulan sekian.” Padahal harta itu sudah menjadi hak si fulan (ahli waris).” (HR Bukhary)
Coba lihat betapa detilnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallammenggambarkan ciri orang yang paling afdhol dalam bersedekah. Sekurangnya kita temukan ada empat kriteria: (1) Dalam keadaan sehat lagi loba alias berambisi mengejar keuntungan duniawi; (2) dalam keadaan sangat ingin menjadi kaya; (3) dalam keadaan sangat khawatir menjadi miskin dan (4) tidak dalam keadaan sudah menjelang meninggal dunia dan bersiap-siap membuat aneka wasiat soal harta yang bakal terpaksa ditinggalkannya.
Pertama, orang yang paling afdhol dalam bersedekah ialah orang yang dalam keadaan sehat lagi loba alias tamak alias berambisi sangat mengejar keuntungan duniawi.
Artinya, ia masih muda lagi masa depan hidupnya masih dihiasi aneka ambisi dan perencanaan untuk menjadi seorang yang sukses, mungkin dalam karirnya atau bisinisnya.
Dalam keadaan seperti ini biasanya seseorang akan merasakan kesulitan dan keengganan bersedekah karena segenap potensi harta yang ia miliki pastinya ingin ia pusatkan dan curahkan untuk modal menyukseskan berbagai perencanaan dan proyeknya.
Dengan dalih masih dalam tahap investasi, maka ia akan selalu menunda dan menunda niat bersedekahnya dari sebagian harta yang ia miliki. Karena setiap ia memiliki kelebihan harta sedikit saja, ia akan segera menyalurkannya ke pos investasinya.
Setiap uang yang ia miliki segera ia tanam ke dalam bisnisnya dan ia katakan ke dalam dirinya bahwa jika ia bersedekah dalam tahap tersebut maka sedekahnya akan terlalu sedikit, lebih baik ditunda bersedekah ketika nanti sudah sukses sehingga bisa bersedekah dalam jumlah ”signifikan” alias berjumlah banyak. Akhirnya ia tidak kunjung pernah mengeluarkan sedekah selama masih dalam masa investasi tersebut.
Kedua, bersedekah ketika dalam keadaan sedang sangat ingin menjadi kaya. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam seolah ingin menggambarkan bahwa orang yang dalam keadaan tidak ingin menjadi kaya berarti bersedekahnya kurang bernilai dibandingkan orang yang dalam keadaan berambisi menjadi kaya. Sebab bila seorang yang sedang berambisi menjadi kaya bersedekah berarti ia bukanlah tipe orang yang hanya ingin menikmati kekayaan untuk dirinya sendiri.
Ia sejak masih bercita-cita menjadi kaya sudah mengembangkan sifat dan karakter dermawan. Hal ini menunjukkan bahwa jika Allah izinkan dirinya benar-benar menjadi orang kaya, maka dalam kekayaan itu dia bakal selalu sadar ada hak kaum yang kurang bernasib baik yang perlu diperhatikan.
Sekaligus kebiasaan bersedekah yang dikembangkan sejak seseorang baru pada tahap awal merintis bisnisnya, maka hal itu mengindikasikan bahwa si pelaku bisnis itu sadar sekali bahwa rezeki yang ia peroleh seluruhnya berasal dari Yang Maha Pemberi Rezeki, Allah Ar-Razzaq.
Hal ini sangat berbeda dengan orang kaya dari kaum kafir seperti Qarun, misalnya. Qarun adalah tokoh kaya di zaman dahulu yang di dalam meraih keberhasilan bisnisnya menyangka bahwa kekayaan yang ia peroleh merupakan buah dari kepiawaiannya dalam berbisnis semata.
Ia tidak pernah mengkaitkan kesuksesan dirinya dengan Yang Maha Pemberi Rezeki, Allah swt.
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِ
“Qarun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku".(QS Al-Qshshash ayat 78)
Ketiga, sedekah menjadi afdhol bila si pemberi sedekah berada dalam keadaan khawatir menjadi miskin. Walaupun ia dalam keadaan khawatir menjadi miskin, namun hal ini tidak mempengaruhi dirinya. Ia tetap berkeyakinan bahwa bersedekah dalam keadaan seperti itu merupakan bukti ke-tawakkal-annya kepada Allah.
Ia sadar bahwa jika Allah kehendaki, maka mungkin sekali dirinya menjadi kaya atau menjadi miskin. Itu terserah Allah. Yang pasti keadaan apapun yang dialaminya tidak mempengaruhi sedikitpun kebiasaannya bersedekah.
Ia sudah menjadikan bersedekah sebagai salah satu karakter penting di dalam keseluruhan sifat dirinya. Persis gambarannya seperti orang bertaqwa di dalam Al-Qur’an:
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ
”... yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.” (QS Ali Imran ayat 133-134)
Keempat, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam sangat mewanti-wanti agar jangan sampai seseorang baru berfikir untuk bersedekah ketika ajal sudah menjelang. Sehingga digambarkan oleh beliau bahwa orang itu kemudian baru menyuruh seorang pencatat menginventarisasi siapa-siapa saja fihak yang berhak menerima harta miliknya yang hendak disedekahkan alias diwasiatkan.
Ini bukanlah bentuk bersedekah yang afdhol. Sebab pada hakikatnya, seorang yang bersedekah ketika ajal sudah menjelang, berarti ia melakukannya dalam keadaan sudah dipaksa oleh keadaan dirinya yang sudah tidak punya pilihan lain.
Bila seseorang bersedekah dalam keadaan ia bebas memilih antara mengeluarkan sedekah atau tidak, berarti ia lebih bermakna daripada seseorang yang bersedekah ketika tidak ada pilihan lainnya kecuali harus bersedekah.
Itulah sebabnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam lebih menghargai orang yang masih muda lagi sehat bersedekah daripada orang yang sudah tua dan menjelang ajal baru berfikir untuk bersedekah.
Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang senantiasa bersedekah yang paling afdhol. Terimalah, ya Allah, segenap infaq dan sedekah kami di jalanMu. Amin.-
sumber : eramuslim

Rabu, 06 April 2011

Upah Pembatik Tak Setara Hasil Karyanya


Maulvia (20) tersenyum cerah pada Kamis (16/12/2010) lalu. Hari itu adalah hari gajiannya. Setelah mengantongi Rp 105.000 sebagai upahnya membatik selama enam hari, perempuan yang akrab disapa Mia ini juga menerima tas bingkisan dari PT Kao Indonesia. Isi tas itu macam-macam, dari sabun, shampo, pembalut, hingga cairan pencuci batik.

Mia adalah salah satu pembatik di Rumah Batik Cahyo di Desa Setono, Pekalongan, yang antara lain membuat batik pesanan dari Edward Hutabarat. Desainer ini banyak melakukan perjalanan eksplorasi ke kota-kota batik atas biaya PT Kao Indonesia, sebagai bagian dari kampanye "Cintaku Pada Batik Takkan Pernah Pudar".

Tak banyak perempuan muda yang masih bersedia menggeluti dunia batik seperti Mia. Mereka bukannya sama sekali tak paham tentang batik, karena kesibukan membatik sudah biasa terlihat di tiap-tiap rumah tangga. Namun membatik memang bukan pekerjaan yang mudah. Butuh ketelitian, kesabaran, dan ketahanan fisik untuk menciptakan sehelai kain batik tulis. Bayangkan, mereka harus duduk selama 8-12 jam sehari, tanpa bersandar.

Selain itu, upah membatik juga kurang begitu menggembirakan. Mia, misalnya, setelah empat tahun membatik, upahnya Rp 17.500 per hari. Jumlah ini bisa naik seiring dengan meningkatnya kemampuannya membatik. Sedangkan di Rumah Batik Liem Ping Wie di kawasan Kedungwuni menerima antara Rp 15.000, Rp 20.000, hingga Rp 25.000 per hari, tergantung kemampuannya. "Dulu di kampung (sebelum bergabung di Batik Cahyo, RED), upah saya Rp 11.000," ujar Mia, yang saat ini bekerja mulai pukul 04.00 - 16.00.

Pembatik umumnya masih menerima tunjangan berupa uang makan dan THR. "Uang makannya Rp 2.500 per hari, tapi saya kumpulkan dulu, dan baru dibagikan bersamaan dengan pembagian THR. Soalnya mereka itu tidak bisa menabung," ujar Liem Poo Hien, pengelola Batik Liem Ping Wie yang mempekerjakan sekitar 30 pembatik. Agar pembatik disiplin, Hien menerapkan aturan lain. "Mereka masuk mulai pukul 08.00 atau 08.30. Di atas jam itu, uang makan tidak diberikan."

Sulitnya regenerasi

Oleh karena itu, meskipun batik kini terangkat lagi pamornya, daya tarik sebagai pembatik -dalam hal ini batik tulis- tak otomatis terangkat. Apalagi, kota Pekalongan kini sudah makin berkembang. Mini market-mini market bermunculan di segala penjuru jalan, menawarkan lapangan pekerjaan baru yang lebih menjanjikan. Nur Cahyo, pemilik Batik Cahyo, memahami betul hal ini. "Orang Pekalongan cinta batik, tapi juga butuh nafkah. Bagi mereka, kalau tidak bertahan jadi pembatik, lebih baik kerja di mini market," katanya.

Situasi ini bertambah sulit karena perempuan umumnya juga terjebak dalam siklus hidup yang sama. Begitu mereka menikah, lalu hamil, banyak di antara mereka yang memutuskan berhenti membatik. "Akhirnya harus regenerasi lagi, cari pembatik yang lain, entah teman-teman atau saudara-saudaranya," papar Cahyo.

Demi mempertahankan kelestarian batik dan kesejahteraan para pembatiknya, bapak dua anak ini berusaha menjaga hubungan yang baik dengan para pembatiknya. Ia sadar, batik adalah suatu kerja tim, sehingga tidak ada satu pihak yang lebih berperan daripada yang lain. "Batik itu kayak main layangan, harus tarik-ulur. Sifatnya ngemong. Kita butuh satu sama lain. Jadi saat memperlakukan pembatik, saya tidak bisa terlalu keras, juga tidak terlalu lunak."

Dusun Pegandon, Desa Pegandon Kidul, Karang Dadap, Pekalongan timur, yang dulu menghasilkan banyak pembatik andal, kini juga kesulitan meregenerasi. Dusun ini hanya menyisakan pembatik yang kini sudah mulai renta. Mereka bekerja sendiri-sendiri atau berkelompok, di rumah-rumah yang sempit berlantai tanah dan umumnya tanpa pembatas ruang. Penerangan pun hanya mengandalkan cahaya matahari yang masuk melalui celah dinding atau jendela.

Para perempuan ini umumnya tak tahu pasti berapa usianya. Saripi, Jasnoah, Wasni, dan Wasmi, misalnya, rata-rata merasa umurnya sudah 70-an tahun. Untuk membatik, mereka mendapat modal berupa kain mori atau cairan malam dari pengepul seperti Zakiah (45). Pengepul adalah orang yang akan mengumpulkan kain-kain batik yang sudah jadi, dan menjualnya ke buyer. Namun, untuk proses melorod atau mewarnai, pembatik menyerahkannya ke pengepul dengan dikenai biaya Rp 60.000 - Rp 70.000, tergantung warnanya.

Mereka mengaku, upah mereka hanya sekitar Rp 7.000 hingga Rp 10.000 per hari. Namun ketika kami menanyakan siapa yang memberi mereka upah, tak seorang pun mampu menjawab. Cahyo menduga, angka tersebut hanya perkiraan para pembatik dari penghasilan yang mereka dapatkan dari pengepul. Jadi, jika sehelai kain batik halus sudah jadi, pengepul membelinya dengan harga sekitar Rp 300.000 (kain ini lalu dijual Zakiah seharga Rp 600.000 - Rp 1 juta).

Para pembatik ini memang hanya paham soal membatik. Mereka tidak tahu bagaimana jalur distribusi atau bisnis batik itu sendiri. Repotnya, karena sudah terikat pada pengepul, mereka juga tak bisa menjual batik langsung kepada orang yang berminat.

Karena diri sendiri dan keluarga harus dinafkahi, sementara sehelai kain baru jadi setelah sekitar tiga bulan, beberapa pembatik berusaha mencari "side job". Jasnoah, misalnya, pagi hari berjualan jajanan untuk anak-anak yang tak seberapa jumlahnya. Sore, ia baru membatik. Barangkali ini bisa disebut sisi positifnya, dimana para pembatik di sini memang tidak terikat waktu dalam bekerja.

Dengan berbagai kesulitan yang dialami pembatik tersebut, sudah sepantasnya profesi pembatik ini lebih kita hargai. Mereka, termasuk Mia yang tergolong paling muda, tidak pernah menyesal menjadi pembatik. Perempuan lulusan SMP ini bertekat untuk terus membatik. "Saya tidak menyesal meninggalkan sekolah, karena ini sudah keputusan saya sendiri. Saya ingin bisa terus berkarya, bisa meneruskan batik Pekalongan," katanya lirih.

sumber: kompas