Senin, 19 Oktober 2015

Near Win


Kesuksesan adalah racun. Ya, karena begitu kita mencapai puncak sukses, kita cenderung terjangkit penyakit puas diri dan kemapanan. Kita cenderung terjebak pada perangkap kenyamanan. Kita menjadi “penikmat” prestasi masa lalu, dan tak lagi menjadi “pejuang” capaian masa depan. Dalam kondisi ini sense of crisis hilang, sense of striving pupus, daya kreasi dan imajinasi pun kemudian memudar.

“Perfection is the enemy of progress,” kata Winston Churchil. Ketika kita menganggap apa yang kita perjuangkan telah mencapai kesempurnaan, maka pada titik itulah sesungguhnya kita mandek. Ketika kita merasa hebat, bahkan merasa yang terhebat, maka sesungguhnya di situlah awal titik kejatuhan kita.

Itu sebabnya saya mengatakan musuh kesuksesan adalah kesuksesan itu sendiri. Kesuksesan menciptakan kondisi enak, nyaman, dipuja-puji, disanjung-sanjung, ditiru-tiru, dijadikan role model, dianggap paling hebat, dianggap menginspirasi. Kondisi serba enak dan nyaman ini seringkali menjadikan kita lupa, lalai, bahkan takabur. Kondisi paling parah adalah kalau kesuksesan menjadikan kita malas berpikir keras, malas bekerja keras, malas berkreasi keras, malas belajar keras. Ketika itu terjadi maka kiamat di depan mata.

“Hampir Menang”
 
Saya suka dengan istilah “near win” yang diperkenalkan oleh Sarah Lewis, seorang kurator seni, dalam bukunya The Rise (Simon & Shuster, 2014). Ia mengatakan bahwa kita seharusnya tak pernah boleh merasa betul-betul sukses. Kita harus menganggap sukses yang kita capai sebagai sesuatu yang belum betul-betul final.

Sehebat apapun kesuksesan yang kita raih harusnya tetap kita anggap sebagai “setengah sukses” atau “hampir sukses”. Ya, karena kalau kita merasa betul-betul sukses maka penyakit kemapanan dan kenyamanan bakal menyergap. Dalam berjuang menggapai impian, sesungguhnya kita tak pernah betul-betul menang, yang ada adalah “hampir menang”.

Near win menjadikan kita terus memompa andrenalin untuk mencapai sukses berikutnya. Near win memungkinkan kita tetap menjaga vitalitas perjuangan untuk menerima tantangan-tantangan dalam mencapai sukses-sukses berikutnya. Near win menjadikan kita tidak malas, tidak comfort, dan tidak takabur. Near win membebaskan kita dari sikap mendewakan prestasi masa lalu, dan lupa pada tantangan kesuksesan masa depan.

Singkatnya, near win yang membuat kita selalu bersemangat untuk terus maju, tidak mandek. “In our pursuit of success, it is actually our near wins that push us forward,” ujar Sarah. Kalau “menang” adalah racun kesuksesan, maka “hampir menang” adalah madu kesuksesan.

“Sekali Sukses, Sesudah Itu Mati”
 
Dalam salah satu sajaknya Chairil Anwar pernah bilang, “Sekali berarti, sesudah itu mati.” Untuk tulisan ini, boleh kiranya bunyi sajak itu saya plesetkan sedikit menjadi, “Sekali sukses, sesudah itu mati.” Ungkapan ini pas sekali menggambarkan sosok-sosok yang sukses, tapi suksesnya tak berkesinambungan. Begitu sukses diraih, sekonyong-konyong penyakit sok hebat, penyakit kemapanan, dan penyakit kemalasan menghinggapi. Akibatnya kemudian bisa ditebak: kesuksesan yang diraih tersebut adalah yang pertama, sekaligus yang terakhir.

Untuk bisa mendaki dari gunung kesuksesan satu ke gunung kesuksesan berikutnya, maka kita harus memiliki mentalitas near win. Mentalitas untuk tetap rendah hati menjadi underdog. Mentalitas untuk menganggap kesuksesan sebagai sebuah never-ending journey: perjalanan yang tak pernah mengenal kata akhir.

Bicara mengenai sukses sebagai sebuah never-ending journey, saya teringat ungkapan Steve Jobs ketika ia di depak dari Apple di tahun 1980-an. Steve bilang, “…getting fired from Apple was the best thing that could have ever happened to me. The heaviness of being successful was replaced by the lightness of being a beginner again, less sure about everything. It freed me to enter one of the most creative periods of my life.”

Ia tidak menyikapi pemecatannya sebagai akhir dari segalanya, tapi justru sebaliknya membebaskannya memasuki masa-masa terkreatif dan terproduktif dalam perjalanan karirnya. Memulai kembali di titik nol justru memberinya energi luar biasa untuk berkreasi menghasilkan produk demi produk hebat di kemudian hari mulai iPod, iPhone, hingga iPad. Kondisi serba keterbatasan di tengah keterpurukan justru memberikan spirit luar biasa untuk merengkuh kesuksesan berikutnya.

Keterpurukan menjadikan Steve Jobs berpikir 1000% lebih keras, bekerja 1000% lebih keras, berkreasi 1000% lebih keras. Hanya dengan begitu kita bisa mendaki dari gunung kesuksesan satu ke gunung kesuksesan berikutnya. Hanya dengan begitu kita mencapai sukses yang berkesinambungan, bukan “sekali sukses, sesudah itu mati.”

sumber|: yuswohady.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar