Senin, 30 Juli 2007

Lakon M. Taufik Kindy

Bagi laki-laki, perut gede apakah tanda kemakmuran? Maybe yes maybe not, kata iklan rokok yang lagi ngetren.

Jumat kemarin, ketika saya ada acara di Hotel Sahid, di depan restoran Sukoharjo dipajang 90-an buah karya seni, hampir semuanya karya seni lukis. Pengamatan saya semua aliran lukis ada di sana, mulai dari Romantisme, Realisme, Kubisme, sampai Abstraksi terpampang di bawah penerangan lampu halogen.

Mulanya saya tidak memperhatikan pameran itu. Saya hanya menikmati sekilas benda-benda seni yang tertata rapi. Pada awalnya saya kira itu adalah pameran tunggal.

Tetapi setelah 2-3 kali melewati pameran itu, saya merasakan ada sesuatu yang lain. Karya-karya seni itu makin dinikmati makin tampak keindahannya. Dari sini lah saya mulai memperhatikan siapa pembuat lukisan-lukisan itu. Tidak mungkin pameran itu adalah pameran tunggal karena berbagai aliran ada di sana. Akhirnya satu persatu karya itu saya dekati dan perhatikan. Ternyata benar. Berbagai nama terpampang sebagai pembuat karya-karya seni yang berharga antara Rp 15 juta - Rp 150 juta.

Tetapi ada satu hal yang membuat saya kaget. Meski kreator lukisan itu berbagai nama, hanya satu nama yang menyelenggarakan pameran itu, yaitu Galeri Menara Nusantara. Dan yang membuat saya makin kaget adalah ketika saya tahu bahwa pemilik galeri itu adalah M. Taufik Kindy.

Ya, nama itu tidak asing di telinga saya. Tetapi sudah sangat lama saya tidak mendengar nama itu. Ketika saya tanya kepada penjaga pameran dimana pemilik galeri, saya kaget lagi ketika ditunjukkan. Taufik terlihat sedang ngobrol dengan beberapa orang. Kelihatan sekali mereka tertarik dengan sebuah lukisan dan sedang membahas dengan pemilik galerinya.

Jadi dalam waktu yg sangat singkat saya menderita dua kekagetan. Kaget dengan galeri Menara Nusantara dan lebih kaget lagi ketika tahu siapa pemiliknya.

Ingatan saya langsung mundur kira-kira 15 tahun silam. Saat itu saya dan teman-teman mengontrak sebuah rumah. Sebagai mahasiswa kami memang memilih mengontrak rumah bareng-bareng karena jatuhnya lebih murah dibanding kalau harus kost.

Saya tidak ingat dari mana atau siapa yang mengajak ke rumah kami. Yang saya ingat saat itu Taufik dan 3 temannya numpang di rumah kami. Rumah kami mereka jadikan semacam markas. Saat itu mereka sudah melakoni hidup sebagai sales buku. Tiap pagi mereka berempat selalu diskusi sebelum berangkat menjajakan buku door to door. Dan malam hari ketika pulang mereka berdiskusi lagi tentang kejadian yang ditemui hari itu.

Jadi ketika kami sedang asik dan menikmati hidup sebagai mahasiswa, Taufik sudah memulai merintis "tangga"nya dengan menjadi sales. Tidak jarang kami menggoda dan sedikit mengejek yang mereka lakukan. Saat itu kami merasa "derajat" kami jauh di atas Taufik dkk. Toh mereka hanya sales buku. Sedangkan kami mahasiswa, wong pinter kata orang. Yang juga saya ingat adalah saat itu Taufik sangat kurus. Kurus sekali. Paling kurus di antara teman-temannya.

Saya tidak ingat secara pasti apa yang menyebabkan kami dan Taufik dkk berpisah. Kalau tidak salah penyebab pisahnya kami dan mereka adalah kami harus pindah rumah karena masa kontrak sudah habis. Jadi mau tidak mau Taufik dkk juga harus hengkang.

"Koleksi saya semuanya ada 1200 lebih. Beberapa ratus diantaranya saya taruh di Sarinah," Kata Taufik pada Jumat sore 27 Juli 2007, puluhan tahun kemudian sejak kami berpisah. Puluhan tahun dia mendahului start dengan saya. Dan puluhan tahun lalu kami sempat meremehkan dia. "Selain rutin di Sahid saya juga rutin pameran di Grand Hyatt," sambungnya. Hotel Sahid dan Grand Hyatt adalah nama yang sudah menunjukkan kelas tersendiri. Begitu pula konter tetap dia yang di Sarinah, sudah menunjukkan kelasnya.

"Selain rutin pameran dan konter Sarinah, koleksi-koleksi lain disimpan di mana?" tanya saya.

"Ya saya simpan saja di rumah," jawabnya enteng.

Saya mencoba menghitung-hitung sendiri. Anggap di Sarinah ada 150 lukisan. Yang di pameran total ada 200 buah. Berarti masih ada 1000-an yang dia simpan. Langsung terbayang di benak saya berapa kira-kira luas rumahnya yang terletak di kawasan tebet ini....

2 komentar:

  1. Wah menarik sekali ceritanya, memang kita kadang baru menyadari jika kadang2 kita memandang "sebelah mata" karena pola pikir kita berbeda walau sebenarnya kita jauh2 dibawah mereka2 itu...Yang pasti saya juga pengin jadi kaya pak taufik yang bisa diceritakan temen2 saya..Iya ga pak?Sukses selalu Pak abduh...

    www.eripurnama.blogspot.com

    BalasHapus
  2. Saya cukup bangga sebagai adik kelas saat di SMA saja... Hehehehe...

    BalasHapus