Rabu, 03 Oktober 2007

Potensi

Minggu lalu ada berita yang menggelitik. Berita yang sama sekali di luar bayangan saya sebagai seorang warga negara Indonesia. Selama ini saya cukup kesulitan untuk bangga dengan negara ini. Kalau pun sudah ada bibit-bibit mau bangga dengan cepat bisa hilang karena hal "sepele", misalnya ketika mendengar bagaimana negara besar ini bisa begitu tunduk dengan si Singapur yang sok jagoan itu. Bagaimana bisa pimpinan kita begitu loyo kalau berhadapan dengan londo, baik londo pirang maupun londo sipit.

Juga yang bikin saya sangat tidak bangga dengan pimpinan negara ini adalah bagaimana mereka melayani sang bos Paman Sam sedemikian rupa, merepotkan banyak sekali warga Bogor, menghabiskan miliaran rupiah untuk landasan yang tidak pernah dipakai. Padahal ketika menjamu Putin maupun Ahmadinejad sambutannya biasa-biasa saja.

Di tengah-tengah sangat tidak bangganya dengan pimpinan negara ini tiba-tiba ada berita yang membikin saya langsung bangga dengan Indonesia. Indonesia memang bangsa besar. Hanya saat ini sedang berada pada wrong time karena dipimpin oleh orang-orang lemah.

Berita yang membikin saya kaget adalah musisi Malaysia beramai-ramai mengadakan demo. Mereka mendemo stasiun-stasiun radio di sana karena seringnya memutar lagu-lagu Indonesia. Sangat jarang hasil karya musisi Malaysia diperdengarkan. Jadi lah seniman Malaysia merasa asing di negaranya sendiri, merasa tersisih. Mereka minta agar radio-radio di sana memberi tempat lebih banyak untuk hasil karya bangsa sendiri.

Wah, berita ini langsung membuat saya bangga. Saya benar-benar bangga. Hasil karya anak negeri kita sangat disukai oleh konsumen manca negara. Siapa bilang Indonesia cuma punya koleksi prestasi buruk?

Mendengar berita itu ingatan saya langsung melayang ke belakang, ke waktu beberapa tahun yang lalu. Saat itu saya ada tugas ke beberapa wilayah agak terpencil negeri ini. Di daerah di mana pun saya berada, asal masih di Indonesia, saya sangat mudah berkomunikasi dengan penduduk setempat.

Meski yang saya temui adalah suku-suku yang jarang terdengar, kalo saya menyapa mereka dengan Bahasa Indonesia, mereka bisa langsung menjawab. Kita bisa langsung akrab. Kita bisa langsung ngobrol, bercerita asal muasal dan sebagainya.

Saat itu saya bisa langsung merasakan betapa besar visi para founding fathers kita dalam membangun Bangsa ini. Betapa hebat Budi Oetomo dan kawan-kawan. Betapa dahsyat semboyan Bhinnneka Tunggal Ika. Apa jadinya Indonesia kalau tidak ada Sumpah Pemuda pada 1928?

Dan sekejap pula ingatan saya melayang ke negeri kecil seberang. Sebuah negeri yang luasnya tidak lebih besar dari Pulau Samosir. Di sana betapa susahnya orang yang berlainan suku untuk berkomunikasi.

Di Mustafa Centre saya melihat bagaimana susahnya karyawan yang etnis India berkomunikasi dengan seorang tukang panggul berasal dari etnis Tionghoa. Sang karyawan menyuruh kepada pembawa barang dengan campuran bahasa Melayu-India. Sebaliknya sang kuli menjawab dengan bahwa Mandarin. Alhasil yang terjadi adalah... ah ih uh, lebih benyak pakai bahasa isyarat. Di negeri sekecil ini penduduknya punya 4 bahasa resmi. Mereka yang berlainan etnis susah berkomunikasi.

Betapa bersyukurnya tinggal di Indonesia... Kita punya potensi luar biasa. Indonesia punya segalanya. Hanya satu yang belum dipunyai negeri ini: pemimpin yang baik, yang kuat, yang berani, yang bernyali, punya visi. Ada nggak ya contoh pemimpn yang bernyali, berani, kuat, sekaligus baik plus punya visi?

"Ada dong. Pak Sutiyoso adalah contohnya," kata pak Aji, tetangga saya, mengagetkan lamunan saya. "Dia berani menjalankan visinya meski banyak dicela. Dia berani pasang telinga buat diejek. Dia juga berani menghadapi londo pirang ketika di Australia. Dia lah contoh pimpinan kuat."

"Tapi kalau ngomong soal pak Sutiyoso jangan di sini dong. Di sini bukan tempat yang pas buat kampanye. Emang sampeyan mau bayar berapa kok berani-beraninya iklan di blog ini...?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar