Jumat, 08 Februari 2008

Sekolah Bisnis

Siang ini baru saja saya membaca email di sebuah milis yang ditulis oleh sahabat yang saya kagumi:

"... kemarin saya dan dua teman melakukan studi banding program S1 Bisnis, zzz (nama lembaganya saya sensor ya), yang konon tujuannya mencetak pengusaha. Mirip seperti SBM xxx, kurikulum dibuat sedemikian rupa utk mencetak pengusaha menurut paradigma yg mereka anut, termasuk melalui project assignmet ttg business ideas dsb. Sama seperti SBM, 80 persen lebih perkuliahan masih dilakukan dalam kelas. Pokoknya tidak beda dg kuliah MBA yg pernah saya ikuti walaupun mata kuliahnya banyak membahas entreprneurship.

Jadi kalau bisnis diibaratkan berenang, mereka belajar teori berenang di kelas sebanyak 80 persen lebih dan selebihnya praktek di kolam renang. Memang belum ada data berapa persen dari lulusannya yg jadi pengusaha karena toh program ini baru berjalan 3 tahun. Tapi data dari SBM xxx yg programnya mirip menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen lulusannya melanjutkan sekolah ke jenjang yg lebih tinggi, 30 persen bekerja, dan kurang dari 10 persen yg merintis usaha sendiri.

Memang tidak mudah membuat sekolah entrepreneurship. Makanya saya dan temen2 pengin mencoba dan mencoba terus. Dalam bahasa agama ini disebut ijtihad, yg kalaupun salah mendapat pahala, ceunah..."

Saya kagum pada sahabat saya ini karena sejak dulu dia selalu memikirkan orang lain. Dia dan teman-temannya tidak pernah berhenti bagaimana bisa menyumbangkan pikiran dan karyanya bagi kesejahteraan sesama. Mudah-mudahan apa yang dirintisnya diberi kemudahan.

Postingannya membuat saya kaget dan heran. Bagi saya ini adalah pengetahuan baru. Sebuah lembaga terkenal, yang biasanya membuka kelas MM atau MBA, kini membuka kelas S1 bisnis. Tujuannya mencetak pengusaha. Tapi 80% materinya diberikan di dalam kelas. Tentu saja output dari kelas bisnis lembaga ini pasti tidak menemui sasaran.

Menjadi pengusaha adalah soal mindset, masalah pola pikir, dan persoalan sikap mental. Teori dan pelajaran canggih model apapun tidak ada gunanya kalau pola pikirnya belum diubah dulu. Mindset pengusaha adalah 'menabur dulu baru manuai belakangan' alias 'memberi dulu baru menerima'.

Mindset seperti pak Ogah, 'gopek dulu dong' baru mengerjakan sesuatu tidak berlaku di dunia entrepreneur. Pola pikir 'saya dapat berapa kalau mengerjakan sesuatu' adalah pola pikir mayoritas masyarakat kita. Maka menjadi sangat jelas kalau mindset nya tidak diubah upaya apapun yang dilakukan untuk mencetak pengusaha adalah usaha yang (bisa dikatakan) sia-sia.

Sikap mental yang lain adalah tahan banting. Ibarat seorang anak yang belajar naik sepeda, jatuh dan luka adalah proses yang harus dilalui sebelum dia berhasil menguasai sepeda. Maka kalau seseorang ingin bisa naik sepeda tanpa melalui proses belajar dan jatuh, ya mana mungkin bisa mengendarai.

Hanya saja dengan berkembangnya pengetahuan, banyak pihak yang bisa membantu seseorang 'menguasai' sepeda tanpa perlu babak belur karena jatuh. Kalau pun jatuh, ya jatuhnya di atas spons saja. Belajarnya dapat tapi jatuhnya tidak sakit. Sebagaimana seorang yang belajar berenang, kalau belajarnya langsung nyebur tentu resikonya lebih besar dibanding belajarnya pakai ban plus pelatih yang selalu mendampingi.

Mudah-mudahan niat sahabat saya cepat terealisasi lewat jalan yang tepat...

2 komentar:

  1. saya lulusan S1 Manajemen Bisnis loh pak :)

    dan dulu, mata kuliah entrepreneurshipnya dapet E alias ngulang :D

    tapi setahu saya, dari temen2 seangkatan, cuman saya yg pas lulus berani bisnis. Alhamdulillah

    salam kenal dari muridnya ustad abuyahya :)

    BalasHapus
  2. Kalau saya malah langsung terjun sebagai TDB di Saudi Arabia (di salah satu perusahaan distributor produk2 Unilever seluruh KSA) dengan training ala "swim or sink", 1 persen teori 99% praktek sendiri he...he...

    Emang yang "kepepet" lebih kreatif untuk jadi pebisnis, jadi setiap "success story" pasti ada "keprihatinan" di baliknya.

    Matur nuwun Mas Abduh, Blognya makin inspiratif aja...

    BalasHapus