Rabu, 15 April 2009

Haji Bini


Sudah beberapa bulan ini bangunan di dekat komplek perumahan saya kosong. Padahal dulunya tempat ini cukup ramai. Truk-truk box hilir mudik datang dan pergi dari bangunan ini. Para pekerja juga tampak ramai di tempat ini.

Namun kini bangunan yang berbeda RW dengan tempat saya hanya menyisakan hening. Tidak tampak ada pekerja di sana. Begitu pula kendaraan angkut yang biasanya hilir mudik kini sudah tidak pernah kelihatan lagi.

"Bisnisnya bangkrut," jawab istri saya ketika saya menanyakan keheningan tempat itu.

Sangat disayangkan. Menurut pengamatan saya bisnis yang menempati bangunan itu sebenarnya cukup fenomenal. Dalam waktu yang relatif singkat langsung kelihatan membesar. Mulanya yang datang hanya motor yang di kanan-kirinya dilengkapi wadah yang terbuat dari terpal, khas sales motoris.

Beberapa saat kemudian satu kijang selalu rutin datang membawa produk dalam jumlah yang lebih banyak. Disusul satu truk, kamudian berkembang dan makin berkembang. Jumlah pekerja juga kelihatan makin banyak. Pekerja yang banyak ini menimbulkan efek berantai dari rangkaian kegiatan ekonomi. Sektor ekonomi lain juga mulai merapat ke sana. Sebut saja tukang bakso, mie ayam, penjual gorengan, es doger, sampai penjual produk-produk khas perempuan.

"Itu kan pabrik minuman sari kelapa dalam kemasan," lagi-lagi jawab istri saya ketika saya menanyakan usaha yang menempati bangunan itu. Ada rasa kagum saya kepada pemilik bisnis itu. Berarti dia mempunyai kemampuan yang bagus memasarkan produknya. Berarti dia pengusaha yang sudah terlatih. Dia sudah mampu mengangkat lingkungannya sehingga ramai dan "tertular" efek ekonomi yang dia gerakkan.

Tapi sayang sekali, kekaguman saya harus berakhir dengan cepat sekali. Bisnis yang sudah matang itu tiba-tiba mengalami penurunan yang signifikan dari hari ke hari. Penurunan yang berlangsung relatif cepat. sampai kemudian berhenti total. Tempat itu pun kembali sepi seperti semula.

Yang membuat saya heran, bagaimana mungkin sebuah bisnis yang sudah membesar dan relatif matang bisa berakhir sedemikian cepat. Bagaimana bisa sang pemilik berdiam diri melihat bisnisnya menurun tajam dan kemudian landing dengan posisi "nyungsep"?

"Pemiliknya sedang melaksanakan haji ketika bisnisnya tutup," lagi-lagi jawab istri saya.

"Tapi bagaimana mungkin bisa terjadi?" tanya saya keheranan.

"Ya bisa saja."

Alkisah sang pemilik memang cukup pandai berdagang. Dia membuka bisnis baru membuat minuman sari kelapa dalam kemasan. Segmennya adalah kalangan ekonomi paling bawah. Dengan pengalamannya dia mampu menembus pasar-pasar tradisional, warung-warung kaki lima, para penjaja yang tersebar di sekolah-sekolah, dan sebagainya. Manurut info terakhir produk ini sudah menyebar sampai Purwakarta.

Yang sangat disayangkan ternyata pemiliknya kurang punya komitmen dengan para suplier, agen, bahkan kepada para pekerjanya sendiri.

Saat dia sedang melaksanakan haji silih barganti orang mendatangi pabriknya. Para suplier bahan baku selalu datang menanyakan kapan pembayaran bahan bakunya dilakukan. Karena sang pemilik memang tidak ada maka tidak ada jawaban yang didapat.

Yang cukup parah ternyata upah para pekerjanya juga belum dibayarkan. Dan entah siapa yang memulai, entah kesepakatan bersama atau tidak, akhirnya satu persatu aset pabrik pun melayang, entah ke suplier entah ke pekerja.

Dan "perahu" bisnis itupun akhirnya benar-benar tenggelam.

Pelajaran yang sangat berharga di sini adalah "perahu" itu tenggelam bukan karena mengarungi ganasnya "samudera" atau menghadapi serunya "pertempuran", tapi tenggelam karena dilubangi dan dirusak oleh awak kapalnya sendiri. Dan perusakan itu diawali oleh sang pemilik "kapal" itu sendiri.

"Berarti hajinya haji bini (BIaya NIpu) dong. Tapi omong-omong, dari mana bisa tahu permasalahan pabrik itu?" tanya saya.

"Jaringan intelijen saya kan kuat," jawab istri saya dengan senyum kemenangan...

ilustrasi: 4bp

1 komentar: