Sabtu, 09 Mei 2009

Jamaah Negatif


Hari Selasa lalu, pagi-pagi ada sms di ponsel saya. Isinya sebenarnya biasa-biasa saja, tentang kabar sehat serta menanyakan keadaan saya, kapan bisa kumpul lagi, dan sebagainya.

Tapi yang membuat saya memperhatikan sms ini adalah, pesan dikirim oleh sahabat smp saya. Sahabat yang sudah sangat lama tidak ketemu. Kira-kira sudah seperempat abad kami tidak bertemu muka. Dan sms pagi itu adalah surprise bagi saya.

Apa kabar, Duh. Bagaimana keadaanmu, sehat-sehat kan? Kapan kita bisa kumpul-kumpul lagi?" demikian sms-nya.

Antara kaget dan tidak menyangka, jawaban saya tidak menjawab pertanyaannya. "Kok njanur gunung pagi-pagi sudah sms...," jawab saya.

"Iya, lagi nunggu UAN (SMP) nih. Gak entuk ketat-ketat mengawasinya. Jadi dari pada ngantuk mending ngontak teman-teman, kan podho senenge," jawabnya.

Membaca jawabannya saya langsung mengambil kesimpulan bahwa ada "sesuatu" berkenaan dengan Ujian Akhir Nasional SMP di sekolahnya. Sahabat saya memang menjadi pendidik di sebuah SMP di daerah Jawa Tengah.

"Maksudnya nggak boleh ketat mengawasi ujian... siswa boleh nyontek asal tidak menyolok?" tanya saya meyakinkan kesimpulan saya pribadi.

"Ah, kayak nggak tahu aja. Maksudnya ya biar anak-anak bisa 'mengerjakan' soal. Kata pejabat Diknas di sini, nyontek itu kan 'ketrampilan' siswa...," jawabnya.

Sahabat saya menambahkan, "Pokoke dadi guru ki saiki nelangsa. Sing nanamke akhlak tenanan jebul dirusak karo sistem, pusing banget jadinya." (pokoknya jadi guru sekarang nelangsa. Kita menanamkan akhlak secara sungguh-sungguh ternyata dirusak oleh sistem, pusing banget jadinya).

Itulah sepenggal komunikasi sms kami. Cukup lama saya terdiam. Terbayang saja di benak saya apa yang akan terjadi beberapa puluh tahun ke depan ketika anak-anak yang sedang ujian SMP ini tiba giliran untuk menjadi pemimpin masyarakat, pemimpin komunitas, pemimpin daerah, bahkan pemimpin nasional.

Apa yang akan terjadi dengan negeri ini kalau sejak dini calon penerusnya sudah dididik dan dibiasakan dengan perbuatan curang, tidak jujur, jalan pintas, menghalalkan segala cara. Apa yang akan terjadi dengan masyarakat kita ketika mereka sudah tidak bisa lagi membedakan mana perbuatan terlarang mana perbuatan terpuji. Yang selalu dimasukkan ke benak mereka adalah boleh melakukan apa saja asal tidak menyolok, asal tidak ketahuan, asal tidak terlihat orang lain...

Maka bayangan kurang baik pun langsung menyergap manakala saya teringat dengan Training Sehari yang diadakan oleh Kubik Leadership untuk para member TDA. Dalam training itu diajarkan dan dibuktikan bagaimana hukum alam (sunnatullah) bekerja. Bagaimana energi di dunia itu tidak ada yang hilang tapi hanya berubah bentuk. Tiap energi positif yang kita tebar pasti akan kembali kepada kita dalam bentuk positif pula. Demikian pula sebaliknya.

Melihat fenomena bagaimana energi negatif ditebarkan secara sistematis dan masif pada anak-anak kita maka bayangan kengerian pun sulit saya hilangkan dari pikiran saya. Anak-anak itu sebenarnya polos, suci, jujur, tidak berprasangka. Tetapi para pemimpin di daerah itu (dan mungkin di daerah-daerah lain juga) telah menyemai bibit-bibit energi negarif secara sistematis dan masif. Apa yang akan dialami oleh negeri ini kelak?

Saya masih ingat cerita Pak Jamil ketika mengadakan seminar di ITB. Salah satu kesimpulan dari seminar itu adalah banyaknya bencana yang terjadi di negeri ini karena banyaknya energi negatif yang ditebarkan secara masif, sistematis, berjamaah, terkoordinir, merata di seluruh negeri....

Apa yang bisa kita lakukan untuk 'menutup' energi negatif dan menjadikannya positif...?


ilustrasi: hibhibhorraaay

1 komentar:

  1. Ngeri pak ngebayanginnya.... naudzubillah hi mindzaalik.. semoga anak2 kita terhindar dari hal2 spt itu

    BalasHapus