Rabu, 19 Januari 2011

Mistik dan Mitos Seputar Batik


Mitos di seputar cerita tentang keris atau wayang sering kita dengar. Tetapi mitos di seputar pembuatan batik, barangkali hanya sedikit yang pernah beredar. Misalnya saja mitos penciptaan motif batik sidoluhur yang menuntut pencipta awalnya untuk menahan nafas berlama-lama. Atau tentang batik parang yang tercipta karena kekaguman seorang Panembahan Senopati kepada alam sekitarnya, atau juga tentang truntum yang konon tercipta karena dorongan sebuah pengharapan seorang garwa ampil kepada rajanya dan sebagainya.
Ya, sebagaimana keris, batik juga mempunyai mitos-mitos yang melingkupinya. Motif sidoluhur yang diciptakan Ki Ageng Henis, kakek dari Panembahan Senopati pendiri Mataram Jawa, serta cucu dari Ki Ageng Selo itu adalah contohnya.
Motif Sidoluhur

Konon motif sidoluhur dibuat khusus oleh Ki Ageng Henis untuk anak keturunannya. Harapannya agar si pemakai dapat berhati serta berpikir luhur sehingga dapat berguna bagi masyarakat banyak.
Menurut seorang pengamat budaya Jawa, Winarso Kalinggo, motif itu kemudian dimanifestasikan ke selembar kain (dicanting) oleh Nyi Ageng Henis. Nyi Ageng sendiri adalah seorang yang mempunyai kesaktian. Mitosnya, Nyi Ageng selalu megeng (menahan) nafas dalam mencanting sampai habisnya lilin dalam canting tersebut. Hal itu dimaksudkan agar konsentrasi terjaga dan seluruh doa dan harapan dapat tercurah secara penuh ke kain batik tersebut.
Sampai sekarang pun, secara umum, proses penciptaan batik masih sama seperti jaman dulu. Laki-laki membuat motif, yang wanita mencanting. Pada proses penciptaan motif parang juga seperti itu. Panembahan Senopati (bertahta 1540–1553 J) dikenal sebagai pencipta motif parang. Panembahan mendapat inspirasi semasa ia melakukan teteki (menyepi dan bersemadi) di goa pinggir Laut Selatan. Ia begitu kagum terhadap stalagmit dan stalaktit yang ada di dalam goa yang dalam pandangan Panembahan sangat khas khususnya pafa saat gelap. Setelah menjadi Raja Mataram, ia pun menyuruh para putri kraton untuk mencanting motif tersebut.
Motif Parang Rusak

Tetapi ada pengkecualian dalam proses penciptaan motif truntum. Menurut Winarso Kalinggo, motif itu diciptakan oleh Kanjeng Ratu Beruk. Anak dari seorang abdi dalem bernama Mbok Wirareja ini adalah isteri dari Paku Buwono III (bertahta dari 1749–1788 M) tetapi berstatus garwa ampil (selir), bukan permaisuri kerajaan.
Persoalan status ini menjadikan Kanjeng Ratu Beruk selalu gundah. Ia mendamba jadi permaisuri kerajaan, sebuah status yang begitu dihormati dan dipuja orang sejagad keraton. Tapi lebih dari semua itu, Kanjeng Ratu Beruk ingin selalu berada di samping sang raja agar malam-malam sunyi tidak ia lewati sendirian.
Motif Truntum

Pada suatu malam, perhatian Kanjeng Ratu Beruk tertuju pada indahnya bunga tanjung yang jatuh berguguran di halaman keraton yang berpasir pantai. Seketika itu juga ia mencanting motif truntum dengan latar ireng (hitam). “Ini refleksi dari sebuah harapan. Walaupun langit malam tiada bulan, masih ada bintang sebagai penerang. Selalu ada kemudahan di setiap kesulitan. Sekecil apa pun kesempatan, ia tetap bernama kesempatan,” begitu ujar Winarso Kalinggo melukiskan harapan Ratu pembuat truntum.
Motif Slobok

Cerita lain menyebutkan, Paku Buwono III juga seorang kreator motif batik. Dia memerintah pada masa penuh guncangan pasca perjanjian Giyanti (1755). Seluruh pusaka dan batik kraton telah dibawa ke Jogja oleh Pangeran Mangkubumi. Dimulailah perang dingin itu. Kerap terjadi saling ejek antara orang Solo dan Jogja. Batik Solo motif Krambil Sesungkil dan Slobok yang dipakai para isteri bangsawan untuk melayat, di Jogja dipakai untuk para punakawan dalam kisah pewayangan. Begitu juga sebaliknya, batik Jogja motif Kawung yang dipakai untuk melayat, di Solo dipakai oleh para punakawan. Benar-benar ejekan yang sangat menghina pada waktu itu.
“Antara lain, hal seperti itulah yang membuat Paku Buwono III terguncang,” kata Winarso Kalinggo.
Untuk meredam guncangan tersebut ia mencari ilham. Ia melakukan teteki dengan cara kungkum (berendam) di Kali Kabanaran. Lokasi ini persis di dekat makam Ki Ageng Henis. Hal itu dia lakukan pada malam hari dan hanya ditemani oleh penerangan dari teplok. Waktu dini hari, hujan gerimis mulai turun seakan turut sedih melihat kondisi saat itu. Profil hujan gerimis yang tertangkap oleh cahaya teplok itulah yang kemudian hari menjadi motif Udan Riris.
Motif Kawung

Periode Paku Buwono IV (bertahta 1788–1820 M) adalah periode kebebasan berekspresi bagi rakyat kebanyakan. Sebelum PB IV, batik dijadikan alat untuk menjalankan kekuasaan maka pada masa PB IV banyak motif batik yang lahir dari rakyat biasa. Mitos pun bermunculan. Antara lain adalah kisah batik yang digunakan sebagai pembungkus atau popok bayi (kopohan).
Kopohan adalah batik yang digunakan oleh satu keluarga batih secara turun-temurun. Kopohan digunakan sesekali saja, sebagai pembungkus bayi saat bayi baru lahir. Kemudian dicuci hanya oleh pihak keluarga. Setelah itu lalu disimpan di lemari dengan wewangian dari akar lara setu. Kain tersebut baru boleh dikeluarkan dari lemari sebagai suwuk (terapi magis) bagi si bayi di saat sakit.
Mitos akan motif batik yang terbaru adalah mitos motif Kembang Bangah. Kembang Bangah diciptakan oleh Go Tik Swan yang bergelar Panembahan Hardjonagoro (Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro, Orang Jawa Sejati, penulis Roestopo ).
Motif Udan Riris

Batik Kembang Bangah adalah ungkapan protes terhadap keadaan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat jelata, melainkan pada kapitalisme. Kembang Bangah adalah bunga bangkai yang berkelopak indah tapi baunya sangat busuk. Persis seperti gambaran saat itu. Bagi kebanyakan orang, Kembang Bangah adalah ramalan tentang ontran-ontran (kerusuhan) yang terjadi di tahun 1992. Mulai dari rusuh sebelum Pemilu sampai pada aksi para buruh di Tyfountex Solo.
Itulah beberapa cerita dan mitos di balik proses penciptaan motif batik. Terserah bagi kita untuk mempercayai atau tidak. Sumonggo (silahkan).

Senin, 03 Januari 2011

'Rumitnya' Proses Batik

Selama ini kita mengenal batik hanya dari melihat motifnya saja. Kalau ada pakaian dengan motif dan warna tertentu kita biasanya langsung bisa 'men-vonis' bahwa itu batik atau bukan. Namun jarang diantara kita yang bisa membedakan apakah 'batik' itu adalah batik original atau batik sablon/batik cetakan.

Sebuah busana dikatakan batik jika pada proses pembuatan motifnya menggunakan malam (lilin). Apakah prosesnya dengan menorehkan canting atau menggunakan tembaga sebagai cap asalkan menggunakan malam (lilin) maka karya itu adalah batik original.

Sedangkan yang non malam (non lilin), maka 'batik' itu adalah non original alias bukan batik. Hanya motifnya saja yang meniru motif batik.

Untuk lebih mengenal batik original ada baiknya kita mengetahui bagaimana sebuah karya batik tercipta. Dengan mengetahui kita bisa membayangkan bagaimana rumitnya batik yang kita kenakan dihasilkan. Dan kita bisa menghargai dan memaklumi kalau harga yang harus kita keluarkan setara dengan panjangnya proses pembuatannya.

Proses pengerjaan batik demikian unik sekaligus rumit. Setidaknya ada 12 tahap. Tahap pertama nyungging, yaitu membuat pola/motif pada kertas. Tahap kedua njaplak: memindahkan pola dari kertas ke kain. Tahap ketiga nglowong, yaitu pelekatan malam dengan canting sesuai dengan pola.

Tahap keempat ngiseni, yaitu pemberian motif isen pada pola utama. Tahap kelima nyolet, yaitu memberi bagian tertentu dengan warna. Tahap keenam mopol, atau menutupi bagian yang dicolet dengan malam. Tahap ketujuh ngelir: Pewarnaan secara menyeluruh. Tahap kedelapan nglorod, yaitu penghilangan malam dengan merendamnya di air mendidih. Tahap kesembilan ngrentesi: Pemberian cecek (titik) pada klowongan. Tahap ke-10 nyumti, yaitu menutupi bagian tertentu dengan malam. Tahap ke-11 nyoga, atau pencelupan kain dengan warna sogan. Tahap ke-12 nglorod, penghilangan malam dengan merendamnya di air mendidih.

Jadi masihkah kita berfikir membuat batik original itu sederhana?