Selasa, 23 Agustus 2016

Gejala Transformasi Budaya dalam Perkembangan Batik Masa Kini


oleh: Astuti Soekardi

Saya sempat terhenyak ketika salah seorang pakar dan produsen batik ternama di Pekalongan, H. Dudung Aliesyahbana, dalam kuliah umumnya di Program Studi DIII Teknologi Batik, Universitas Pekalongan menyatakan bahwa perkembangan batik sekarang ini lebih dominan pada batik carangan dan batik sempalan. Dunia industri fashion sudah sedemikian rupa menggiring batik dalam kondisinya yang seperti sekarang ini. Bahkan di Pekalongan, muncul suatu kebanggaan bahwa jika bisa memproduksi batik dengan harga semurah mungkin, maka itu adalah prestasi!
 
Jika sudah berbicara tentang harga murah, maka pada akhirnya mutulah yang dipertanyakan. Mutu, terutama akan terkait dengan kain dan obat batik yang digunakan serta desain yang ditampilkan. Orang Jawa bilang, ono rego ono rupa. Hal ini memiliki kedalaman bahwa suatu produk yang dijual dengan harga murah, apa iya memiliki mutu yang bagus? Jika batik menjadi seperti itu, maka batik yang awalnya adalah karya seni yang adiluhung bertransformasi menuju tahapan yang justru lebih rendah. Meminjam istilah Van Peursen bahwa transformasi budaya tidak berarti menuju suatu tahapan yang lebih tinggi, tetapi menuju suatu hal yang berbeda sifatnya saja. Dikatakan juga bahwa proses transformasi selalu terjadi dengan disertai penyelewengan-penyelewengan. Bukankah penyelewengan yang dimaksud sudah terjadi?

Tetapi apakah hanya sejauh itu saja yang terjadi? Apakah sebuah proses transformasi hanya menuju pada sesuatu yang lebih rendah? Pada faktanya sekarang, perkembangan desain batik yang ada di lapangan begitu variatif. Meminjam istilah dalam pewayangan bahwa yang namanya cerita wayang bisa dikategorikan dalam cerita pakem, cerita carangan dan cerita sempalan. Dalam pewayangan, cerita pakem didefinisikan sebagai cerita/lakon wayang yang masih mengikuti cerita klasik seperti Baratayuda dan Ramayana.  

Cerita carangan adalah lakon yang masih mengambil unsur-unsur dalam lakon pakem tetapi sudah dengan sentuhan bentuk baru serta penyajian baru. Sedangkan cerita sempalan adalah cerita wayang yang sama sekali lepas dari cerita pakem. 

Demikian yang terjadi dengan perkembangan batik sekarang ini. Tidak semua perkembangan yang terjadi pada batik menuju pada sesuatu yang lebih buruk. Dewasa ini, perkembangan batik begitu variatif dalam tampilannya. Tampilan batik tidak lagi terpaku pada batik pakem/klasik sebagaimana awal kehadirannya dalam khasanah budaya Indonesia. Bukanlah hal ini juga merupakan penyelewengan akibat proses transformasi? Tapi merupakan penyelewengan yang bersifat positif.

Berdasar analog dunia pewayangan tadi, maka definisi batik pakem adalah batik yang masih melestarikan penggunaan motif dan warna batik sebagaimana asalnya dulu (batik klasik). Batik carangan adalah batik yang sudah mengalami modifikasi tetapi masih menampilkan unsur-unsur batik klasik. Sedangkan batik sempalan, tampilannya merupakan modifikasi bebas hasil kreatifitas desainer/pembatiknya. 

Sangat bisa terjadi bahwa motif dan warna yang digunakan sama sekali lepas dari pakemnya. Dalam bahasa lain, pada batik sempalan, bisa saja diartikan bahwa yang tersisa pada batik jenis ini hanyalah prosesnya saja. Atau dengan kata lain, apapun tampilan batik, jika masih memenuhi kriteria definisi yang diberikan oleh konvensi Batik Internasional di Yogyakarta pada tahun 1997, adalah tetap bisa disebut batik. 

Definisi batik yang dimaksud adalah proses penulisan gambar atau ragam hias pada media apapun dengan menggunakan lilin batik (wax) sebagai alat perintang warna. Bilamana prosesnya tanpa menggunakan lilin batik maka tidak bisa dinamakan batik tetapi dikatakan tekstil bermotif batik.

Apakah perkembangan yang terjadi pada batik yang sudah sedemikian rupa, merupakan sesuatu yang salah? Tidak ada yang salah dalam hal ini. Batik berkembang sedemikian adalah karena tuntutan jaman. Baik batik carangan maupun batik sempalan adalah dalam rangka usaha si pembuatnya untuk mencari format baru yang sesuai dengan perkembangan jaman. Oleh Umar Kayam dikatakan bahwa transformasi budaya merupakan suatu ‘perintah historis’, yaitu usaha untuk mencari format dan sosok yang lebih mampu dan efektif dalam menjawab tantangan jaman dan kebudayaan. 

‘Perintah historis’ adalah sebuah strategi nenek moyang kita untuk mempertahankan kelangsungan hidup dari berbagai pengaruh serta ‘kekuatan’ dari luar. ‘Perintah historis’ mengisyaratkan adanya idiom ‘keluwesan’, kelenturan, dan kreativitas dalam menghadapi pengaruh peradaban lain yang lebih kuat. Dengan kata lain, apapun perkembangan tampilan batik yang sekarang ada, jika dimaknai positif pada dasarnya adalah hasil kreatifitas masyarakat masa kini dalam mensikapi perkembangan jaman. 

Hanya saja, apakah dengan adanya begitu banyak perkembangan yang terjadi, masyarakat memahami sejauhmana selembar batik bisa dikatakan termasuk dalam katagori batik pakem/klasik, batik carangan dan batik sempalan? Atas nama pewaris budaya batik yang adiluhung, seyogyanya masyarakat Indonesia mengetahuinya. Dan bagi para produsen batik, dengan memaknai katagori batik yang berbeda tersebut, maka akan memiliki rasa tanggungjawab terhadap jenis apapun batik yang diproduksinya. 

Jangan sampai terjadi ketika dia memproduksi jenis batik sempalan maka mengaku-aku batiknya merupakan batik carangan, atau lebih ironis lagi jika mengatakan sebagai batik pakem/klasik.

 sumber: askarlo.org