Jumat, 30 Januari 2009

Kepantasan

Beberapa hari ini mungkin ada di antara kita yang mendengar perubahan perilaku beberapa figur publik.

Saya sendiri sebenarnya bukan pemerhati kehidupan mereka, tapi beberapa kali mata ini sering tertodong oleh iklan media yang menampilkan kehidupannya. Salah satu tokoh mengalami perubahan perilaku semenjak namanya banyak dikenal massa. Ketika materi datang melimpah bak air bah, dan ketika namanya banyak diagungkan kalangan muda, sang idola ini pun berubah menjadi sosok yang lain. Dia menjadi tidak peduli dengan keluarga dan perilakunya menjadi kasar.

Perubahan ini membuat keluarga heran dan tidak mengerti. Perilaku kasar yang sering mereka alami membuat trauma. Hingga pada suatu ketika berubah menjadi gerah, dan menggugat pisah. "Dia boleh kembali kepada kami dengan satu syarat, yaitu kembali ke sosok semula, menjadi pribadi yang sama dengan ketika dia belum terkenal," kata sang istri.

Tokoh yang lain, meski kasusnya beda, endingnya sama. Sebelum namanya melambung dia adalah sosok yang sederhana dan santun, hormat pada orang tua dan mencintai keluarga. Tapi begitu dinobatkan menjadi ikon kaum muda, dia pun berubah. Perilakunya menjadi temperamental, suka memukul istri, tidak menghiraukan keluarga. Dan karena tabiatnya yang sudah jauh melenceng akhirnya dia diberi vonis pisah oleh keluarganya.

Ketenaran dan kelimpahan materi ternyata menimbulkan problem yang besar. Keberhasilan, yang oleh orang luar sangat diidamkan, ternyata mendapat sambutan sebaliknya oleh keluarganya, orang-orang terdekatnya. Apanya yang salah? Ada yang mengatakan orang-orang ini sebenarnya belum siap mental mendapat kedudukan seperti sekarang ini. Perubahan yang demikian cepat dari bukan apa-apa menjadi 'apa-apa' membuat mental mereka limbung. Akibatnya perilaku mereka pun berubah dengan cepat pula. Ada juga yang berpendapat orang orang ini sebenarnya belum pantas menyandang predikat sebagai figur publik.

Jadi karena sebetulnya belum punya kepantasan menyandang kedudukan tertentu maka yang terjadi adalah keguncangan jiwa, ketidak tenteraman hidup.

Apakah selama ini banyak diantara kita yang rajin berdoa meminta rezeki yang banyak tapi yang diharapkan tak kunjung datang? Saya yakin kok banyak (termasuk saya mungkin, hehe). Mengapa doa kita tak kunjung dikabulkan Allah? Jangan-jangan di mata Tuhan kita memang belum punya kepantasan mendapatkan apa yang kita inginkan. Kalau Allah langsung memberi semua yang kita minta bisa jadi hidup kita malah berantakan dan jauh dari rasa tenteram. Lalu bagaimana supaya doa kita lebih cepat terkabul? Ya kita harus membangun kepantasan diri di mata Tuhan bahwa kita memang sudah layak mendapat apa yang kita minta.

Apakah kita masih ingat waktu masih anak-anak kita minta uang pada ibu/ayah kita? Apa reaksi orang tua ketika kita minta uang? Tentu saja kita akan ditanya, "buat apa?" Kalau kita tidak bisa menjawab, maka orang tua yang bijak tidak mungkin langsung memberi.

Begitu pula ketika kita berdoa. Jangan-jangan kita belum punya rencana (proposal) apapun terkait doa kita. Kita minta rezeki melimpah tapi sama sekali belum punya rencana mau diapakan dengan harta itu seandainya doa kita terkabul. Maka wajar saja kalau Allah masih menahan keinginan kita. Tapi kalau sudah punya rencana kongkrit yang mendatangkan maslahat bagi banyak orang, mudah-mudahan kita sudah punya kepantasan yang cukup untuk terkabulnya doa kita. Wallahu a'lam


ilustrasi : djunaedird

Jumat, 23 Januari 2009

Pingin tapi Takut


Semua orang punya keinginan: Ingin bahagia, ingin selalu sehat, ingin banyak uang, ingin dihormati. Tapi kenyataan menunjukkan, sangat banyak orang (mungkin sebagian besar) takut melewati "jalan" yang mengarah ke impiannya.

Kata Pak Mario Teguh, berapa banyak karyawan yang ingin berubah tapi takut melewati "jalannya". Sebagai manusia yang punya fitrah bersih, pada dasarnya tidak ada karyawan yang ingin dusta pada orang lain. Tidak ada karyawan yang ingin memanipulasi data. Tidak ada karyawan yang mau nyogok aparat pajak yang datang. Tidak ada karyawan yang ingin nyuap petugas PLN yang memergoki kalau pabrik/kantornya mencuri listrik. Tidak ada karyawan yang bersedia melakukan pemalsuan data ke bank supaya bisa mendapatkan kredit. Dan masih banyak lagi daftar perbuatan negatif yang bisa dibuat di sini.

Pertanyaannya, mengapa karyawan akhirnya bersedia melakukan perbuatan dosa, perbuatan melawan hukum dan melawan nurani ini? Jawabannya tentu saja sangat klasik: Takut dipecat. Hanya karena takut dipecat atau diturunkan jabatannya inilah mereka bersedia melayani keinginan atasan dan menempuh "jalan" yang jelas-jelas berlawanan arah dengan impiannya.

Padahal impian ingin bahagia, ingin selalu sehat, ingin banyak uang, ingin dihormati, dan sebagainya tidak mungkin bisa ditempuh dengan cara-cara dan perilaku nista seperti itu. Kalau logika ini dihadapkan pada karyawan maupun pengusaha saya yakin mereka setuju, tapi akan langsung disela dengan kata "tapi..."

"Kalau saya dipecat keluarga makan apa? Bagaimana saya membiayai sekolah anak-anak? bagaimana saya bisa membayar kebutuhan rutin?"

Di sinilah keimanan kita yang sebenarnya diuji. Berapa banyak dari kita yang mengaku beriman kepada Allah tapi melakukan perbuatan yang jelas-jelas berlawanan dengan keinginan-Nya. Tuhan hanya meridloi yang bersih, yang jujur, yang amanah. Kita berteriak beriman tapi tidak yakin dengan jalan-Nya.

Lalu, bagaimana solusinya? Hanya satu, harus berubah. Keinginan berubah ini sebenarnya ada di benak lebih dari 60% karyawan. Mengapa saya berani mengatakan lebih 60% karyawan ingin berubah? Karena lebih 60% karyawan sebenarnya bekerja di tempat yang tidak mereka inginkan. Apakah data ini valid? Saya tidak tahu pasti karena saya mendengar data ini di acara 'Busniness Art with Mario Teguh' tadi malam. Nah , bebaslah saya dari soal validitas data... :)

"Kalau saya berubah, bagaimana kalau gagal?" Pertanyaan ini sangat wajar. Tapi kita juga harus ingat, kegagalan itu hanya terjadi jika kita berhenti. Kalau kita tidak berhenti maka tidak ada kegagalan. Yang ada adalah 'belajar'.

Kalau sudah memutuskan berubah, berarti sudah sukses. Kalau sudah memutuskan meninggalkan perbuatan nista dan memilih jalan-Nya, yaitu jalan menuju impian, berarti sudah sukses. Maka kesuksesan awal ini tidak boleh membuat kita berhenti. Allah akan menguji kesuksesan kita. Tuhan akan menguji keseriusan kita. Kita akan diuji dengan berbagai halangan dan rintangan.

Dalam menghadapi ujian ini tidak jarang kita akan 'jatuh'. Bisa jadi kita jatuh di atas "kaki" kita. Tapi tidak jarang kita jatuh di atas "kepala" kita. Yang dibutuhkan dalam ujian ini adalah keteguhan mental kita, kekuatan motivasi kita.

Apakah kita bisa memilih, jika jatuh tapi tidak merasa jatuh?

Bisa, pilihlah bidang pekerjaan yang menjadi hobi kita. Pekerjaan yang akan membuat kita bisa lupa makan, pekerjaan yang membuat kita betah melakukannya terus menerus sampai larut, pekerjaan yang membuat kita bahagia.

Hanya orang yang mencintai pekerjaannya yang akan berlaku jujur, dan akan menempuh jalan yang selaras dengan impiannya: Ingin bahagia, ingin selalu sehat, ingin banyak uang, ingin dihormati.

ilustrasi: mediaforidea

Selasa, 20 Januari 2009

Hem Canting

Canting 2


Canting 1

Senin, 19 Januari 2009

Latar Belakang


Masih ingat dengan sinetron tempo doeloe yang berjudul 'Losmen'?
Sinetron itu ditayangkan di TVRI tahun 80-an. 'Losmen' adalah sinetron yang kualitasnya diakui sampai sekarang. Bisa dikatakan tayangan itu cukup melegenda sampai sekarang. Para bintangnya pun juga tidak hilang ditelan zaman. Sebut saja Mathias Muchus, Eeng Saptahadi, Dewi Yull, Ade Irawan, Ida Leman, Mang Udel yang mahir main ukelele.

Kwalitas peran mereka tidak diragukan lagi. Mereka bermain dengan sangat bagus. Meski alur ceritanya sedikit muter-muter tapi kita cukup puas melihat aksi para pemainnya karena mereka memang berlatar belakang seni peran. Jangan dibandingkan dengan kebanyakan sinetron sekarang. Ibarat membandingkan mobil mewah terbaru dengan bajaj.

Yang cukup menarik di sini adalah mang Udel. Pria pensiunan ini benar-benar mengidap post power syndrome. Sebelum pensiun mang Udel adalah seorang pejabat di sebuah instansi ternama. Kalau berangkat ke kantor tas selalu dibawakan sopir, pintu mobil dibukakan. Begitu pula kalau turun dari mobil, pintu juga dibukakan dan tas dibawakan sampai di meja kerja. Semua karyawan menghormati dan memujanya. Semua orang tampak ramah di hadapannya.

Tapi begitu usia pensiun menghampiri, dia tidak mampu mengelak. Usia tidak bisa ditahan dengan kekuatan apapun. Semua kenikmatan yang selama ini diperoleh satu persatu diminta kembali dan harus dikembalikan kepada lembaga yang selama ini dipimpinnya. Sopir pribadi yang selama ini setia menemani kini beralih menemani pejabat baru yang menggantikannya. Wajah-wajah ramah karyawan tidak lagi dijumpainya. Tas yang selama ini hanya mengenal tangan sang sopir kini jadi akrab dengan tangannya. Semua pujian tidak pernah lagi terdengar. Mobil yang begitu nikmat kini sudah dipakai oleh pejabat pengganti. Hidupnya kini sepi.

Perubahan yang cukup drastis ini ternyata tidak siap untuk dihadapi. Mang Udel tidak kuasa menghadapi realitas. Dia mencoba tetap dengan kehidupan "pejabat"nya. Tiap pagi dia pergi dengan busana kerja yang sama dengan yang dipakai ketika masih jadi pimpinan. Kebiasaannya yang suka memerintah orang tidak bisa hilang dari perilakunya. Tapi kini tidak ada orang yang mau diperintah. Jadinya dia makin stres dan tertekan. Makin lama hidupnya makin terpuruk.

Sindrom 'mang Udel' ternyata dengan mudah kita jumpai di sekitar kita. Beberapa tetangga saya ternyata mempunyai kebiasaan mirip mang Udel. Pak Sastro (bukan nama sebenarnya) dulu adalah manajer lapangan perusahaan kontraktor. Anak buahnya banyak. Banyak perusahaan rekanan yang sangat ramah kepadanya. Kata-katanya cukup bertuah. Satu set kendaraan disediakan untuknya.

Tetapi ketika perusahaannya ambruk oleh krismon 1998 dia harus menerima kenyataan dipensiun dini. Tiba-tiba dia harus di rumah ketika pagi hari, tanpa mobil tanpa sopir. Mobil yang selama ini disediakan untuknya harus dikembalikan. Tidak ada yang bisa dia lakukan. Keadaan ini membuatnya sangat malu. Dan dia pun memutuskan mengurung diri di rumah bertahun-tahun supaya masih ada kesan tetap ngantor. Emosinya berubah cukup drastis. Rumah tangganya pun sangat terpengaruh.

Ada lagi pak Silo (bukan nama sebenarnya). Sebelum krismon dia adalah "penghubung" antara ekportir dengan pejabat pelabuhan. Sepak terjangnya yang licin dalam mengurus dokumen membuatnya sering dipakai oleh perusahaan yang enggak mau repot urusan. Dan ketika dia harus keluar kerja lantara kantornya tutup, kebiasaannya ternyata sangat mewarnai di kehidupan bertetangga. Gayanya yang bak preman memang sering cepat "menyelesaikan" urusan meski ditempuh dengan jalan "terobosan".

Bu Siska (bukan nama sebenarnya) juga sama. Dulu dia memegang jabatan cukup tinggi di kantornya sehingga sering memerintah orang lain. Ketika masuk kehidupan realitas kebiasannya sulit hilang. Beberapa tetangga sering mengeluh karena diperintah seperti anak buahnya saja. Bu Siska hanya mau bergaul dengan tetangga "sekelas" dan menyepelekan yang lain.

Sedangkan bu Susi (juga bukan nama sebenarnya), meski sampai sekarang masih ngantor tapi dia terbawa oleh posisi suaminya. "Ruh" Dharma Wanita (kalau suaminya jadi pejabat otomatis dia juga jadi pimpinan) sangat mengendap di benaknya. Tidak boleh ada orang yang menolak titahnya. Semua orang yang disuruh harus bersedia menuruti. Akibatnya sering terjadi benturan dengan tetangga.

Masih ada beberapa tetangga saya yang cukup menarik diamati. Benang merah yang bisa ditarik adalah apakah kita masih memberlakukan mindset lama ketika kita sudah pindah "kuadran"? Ketika kita sudah memutuskan untuk melayani orang lain (jadi pengusaha) apakah kebiasaan minta dilayani masih melekat pada diri kita?

Ada beberapa member TDA lho yang sebenarnya masih pakai mindset lama di "kehidupan" yang baru.


foto: lemondederemi

Selasa, 06 Januari 2009

Raja Hek

Kalau Anda kebetulan sedang berada di Solo atau Yogya, cobalah jalan-jalan pada malam hari. Anda akan menjumpai cukup banyak warung-warung seperti foto di atas. Desain maupun lay-outnya tidak jauh beda antara yang satu dengan yang lain. Begitu pula dengan jenis makanan dan minumannya, juga tidak jauh berbeda.

Warga Solo maupun masyarakat Yogya biasa menamakan warung-warung ini dengan sebutan 'Hek'. Hek biasanya mulai buka sekitar jam 19 dan tutup kira-kira jam 2 dini hari. Hek adalah tempat yang sangat mengasyikkan sebagai sarana berkumpul dan ngobrol, membicarakan dinamika masyarakat dan kejadian sehari-hari.

Karena sebagai sarana ngobrol biasanya yang datang ke Hek akan menghabiskan waktu yang cukup lama berada di situ. Yang nongkrong tepat di kedainya memang hanya satu-dua orang, tapi yang lesehan di sekitarnya bisa puluhan orang. Saya sendiri ketika mengambil gambar foto di atas kira-kira jam 23.30. Dan di sekitar saya ada beberapa sahabat yang sedang asik menikmati hidangan Hek. Bahkan TDA Solo Raya beberapa kali menjamu tamunya wong TDA dari Jakarta di Hek juga. Bersahaja, nikmat, nyaman, dan berkesan, itulah Hek.

Hek bisa juga merupakan sarana 'katup pengaman' bagi orang-orang yang ingin mengemukakan uneg-unegnya. Di Hek kita bebas bicara apa saja dan (yang terpenting) ada yang mendengarkan. Ada pendengarnya, itulah yang penting. Kalau tidak ada pendengarnya namanya ngomyang alias ndleming (istilah bahasa Jawa yang berarti bicara sendiri alias g*l*). Tapi jangan dibayangkan orang-orang yang ada di sana bicara bak orator. Mereka mengemukakan uneg-unegnya dengan cara yang amat sederhana sambil ngguya-ngguyu (tertawa, santai, tanpa beban).

Hek bisa juga disebut warung palugada (apa yang lu cari gua ada). Kita cari minuman apa saja ada. Tapi tentu saja minuman khas daerah di sana. Teh panas, kopi, susu, kopi susu, jahe, jahe bakar, jahe gepuk, JTJ (Jahe Teh Jeruk), jeruk nipis, jeruk keprok (kalau doyan), dan sebagainya. Begitu pula makanannya. Ada nasi kucing (nasi sedikit, lauk sedikit, sayur sedikit) yang dibungkus daun pisang, nasi goreng, sego gurih (mirip nasi uduk tapi yang ini jauh lebih enak), dan lain-lain. Tidak ketinggalan gorengannya. Gorengan apapun ada: pisang goreng, tahu goreng, tempe goreng, bakwan, risol, dsb saya tidak ingat lainnya. Aneka kerupuk juga tersedia.

Yang tidak kalah penting Hek juga bisa menjadi sarana lobi, pertemuan bisnis, konsolidasi parpol, plus ngrasani orang lain. Tapi yang membuat saya kagum dan heran adalah ternyata Hek ini mampu memberdayakan ratusan bahkan ribuan ibu-ibu rumah tangga untuk mandiri dan membantu perekonomian keluarga. Kok bisa?

Di Yogya ada seseorang yang dijuluki Raja Hek. Dia mendapat julukan itu karena mempunyai puluhan kedai Hek di seantero Yogya. Kalau dilihat perawakannya sama sekali tidak tampak bahwa dia adalah pengusaha jempolan yang patut dijadikan contoh. Postur fisiknya mirip dengan J*k* ... (dukun yang sering iklan 'reg spasi' di televisi). Tapi dengan Hek dia bisa memberdayakan ratusan ibu-ibu sehingga mereka mandiri secara finansial. Caranya adalah dia minta ibu-ibu untuk membuat makanan yang dijual di kedai Hek.

Jenis makanan dan minuman untuk satu kedai ada puluhan item dengan sekian ratus pieces. Semuanya dipasok oleh ibu-ibu rumah tangga dan warga masyarakat yang sudah dikoordinir. Untuk tiap piece item makanan sang raja mengambil margin yang amat tipis. Ada satu item yang marginnya cuma Rp 10 (sepuluh) atau Rp 15 per piece-nya. Keuntungan satu kedai (setelah dipotong bagi hasil dengan operatornya dan biaya lain) mungkin kurang menggiurkan bagi wong Jakarta. Tapi dengan adanya faktor kali maka net profitnya tidak kalah dengan gaji pimpinan BUMN plus bonus-bonusnya.

Tapi yang membuat pengusaha ini istimewa adalah kemampuannya untuk memberdayakan masyarakat sekitar. Ada sekian ratus orang yang menjadi 'gerbongnya'. Kalau satu orang memberi nafkah atau membantu menafkahi 3 orang misalnya, maka ada ribuan orang yang hidupnya bisa terangkat karena Hek. Luar biasa. Sangat mulia. Inilah sukses mulia sebenar-benarnya.

Tapi yang 'lucu' dari sang raja ini adalah kesehariannya. Ternyata sehari-hari dia sangat dikenal sebagai pengusaha batik premium. Dikatakan batik premium karena semua koleksinya adalah batik tulis. Batik adiluhung. Batik dengan nilai seni tertinggi. Sering ibu-ibu pejabat menyambangi padepokannya dan memborong koleksinya. Sering pula londo-londo belajar mbatik di sana. Ketika beberapa tahun lalu saya ke pabriknya, saya melihat seorang londo Jepang, tepatnya seorang pangeran dari Negeri Sakura yang sudah 6 bulan belajar membatik di sana. Memang luar biasa pengusaha ini...