Selasa, 24 Mei 2011

Batik Harus Punya Cerita

Menciptakan sebuah batik yang memiliki nilai tinggi memang tidak mudah. Pasalnya, si pembatiknya harus dimodali ilmu spiritual dan kemampuan visualisasi.

Pendapat itu dilontarkan desainer kondang Iwan Tirta, di sela-sela pagelaran busana Himpunan Ratna Busana di Cascade Lounge Hotel Mulia Jakarta, akhir Maret 2008. Menurut pemilik nama lengkap Nusjirwan Tirtaamidjaja, batik itu jangan bagus hanya dari tampilannya saja, tetapi juga harus ada isinya atau punya cerita.

"Kalau mau tahu batik itu bagus atau tidak, bisa kita lihat dalam jarak tiga sampai empat meter. Kita lihat pengulangan warna ataupun motif yang tertera pada material bahannya," kata Iwan kepada okezone.

Selama proses mencipta batik, Iwan mengaku pikiran harus dikosongkan. Karena kalau pikiran ke mana-mana lantas membatik, hasilnya pasti tidak sesuai harapan.

Saat mau membatik pun Iwan selalu menetapkan waktu khusus, pagi atau malam. Alasannya pun sederhana, dirinya tidak mau diganggu oleh orang lain. "Pikiran harus kosentrasi," ujar lulusan School of Economic's, London dan School of Oriental and African Studies itu pendek.

Untuk menyelesaikan satu lembaran kain batik, Iwan bisa menghabiskan waktu dua sampai tiga bulan. Ukuran kainnya pun biasanya berbeda-beda, tergantung untuk keperluan apa. Semisal untuk kain, bahan yang dibutuhkan bisa sampai dua meter tiga per empat, sementara untuk dress bisa empat meter dan kain sari sepanjang enam meter.

"Namun hanya karena alasan bisnis, kini banyak orang yang masih tidak jujur atau mengelabuhi orang lain. Mereka sebenarnya menjual batik cap atau print, tetapi mengaku batik tulis. Itulah yang harus diperhatikan baik-baik saat membeli kain batik," saran peraih penghargaan dari Presiden Republik Indonesia Upakarti (1990) dan Adikarya Wisata (1992).

Mengenai batik yang kini ditampilkan lebih ramai dengan imbuhan detail, Iwan mengatakan bahwa tidak harus begitu untuk menampilkan batik itu indah.

"Batik yang bagus tidak perlu ditampilkan secara berlebihan. Tetapi kalau harus diberi macam-macam detail seperti payet, itu pasti batiknya yang murahan. Tapi kenyataannya, masih banyak masyarakat yang memilih tampilan yang semakin ramai akan semakin oke," pungkas pria kelahiran 18 April 1935, di Blora, Jawa Tengah.

sumber: okezone

Senin, 09 Mei 2011

Keris Belum Sepopuler Batik

Keris dan batik sama-sama diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Namun, keberadaan keris belum sepopuler batik.

Pernyataan itu diungkapkan Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) Ukus Kuswara saat membuka Kongres I Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) di Solo, Jawa tengah, Rabu (20/4).

"Dibandingkan dengan batik, keris masih menghadapi tantangan besar," katanya di hadapan 72 utusan paguyuban keris dan perwakilan tujuh museum keris dari berbagai daerah di Indonesia itu.

Selain anggota paguyuban keris, acara itu juga dihadiri Wali Kota Solo Joko Widodo, Staf Ahli Gubernur Jawa Tengah bidang Politik Maryanto, mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, para empu (pembuat keris), seniman, dan kalangan akademisi.

Menurut Ukus, jika batik telah berhasil menembus batas-batas gender dan usia, keris masih identik dengan laki-laki dan belum terlalu akrab dengan kalangan muda. Kondisi itu merupakan sebuah pekerjaan rumah bagi SNKI di masa mendatang.

"Kalau tidak, ya bakal punah juga," kata Ukus, mewakili Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik yang berhalangan hadir dalam kesempatan itu.

Menanggapi pernyataan tersebut Sekjen SNKI Wiwoho Basuki Tjokrohadiningrat mengatakan pihaknya akan melakukan berbagai upaya untuk menjawab tantangan tersebut. Karena itulah, salah satu agenda utama dalam kongres tersebut adalah membahas upaya melestarikan dan memasyarakatkan keris.

sumber : Media Indonesia