Minggu, 23 Mei 2010

Gesang, Pahlawan Nasional

Oleh: Jaya Suprana

Mata airmu dari Solo
terkurung gunung seribu
air mengalir sampai jauh
akhirnya ke laut

Akhirnya Pak Gesang meninggalkan dunia fana ini. Di samping tentu berbelasungkawa, saya juga gigih menyarankan agar Pak Gesang diangkat menjadi Pahlawan Nasional.

Saya yakin kini arwah Pak Gesang tersenyum: ”Ah, Pak Jaya ini memang senang macem-macem!” Saya yakin Pak Gesang yang senantiasa tulus dan rendah hati itu tak mengharapkan dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Namun, saya yakin kepahlawanan nasional Pak Gesang sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan. Apabila Ismail Marzuki dianggap layak sebab memang layak diangkat menjadi Pahlawan Nasional, kelayakan tersebut juga layak dianugerahkan kepada Pak Gesang.

Cukup satu mahakarya Pak Gesang saja sudah memenuhi kelayakan Pak Gesang diangkat menjadi Pahlawan Nasional: ”Bengawan Solo”. Lagu sederhana indah ini sudah mengglobalkan Indonesia jauh sebelum istilah globalisasi itu sendiri ramai dipergunjingkan.

”Bengawan Solo” sebenarnya sudah menjadi Bengawan Dunia sebab lagu indah ini didendangkan dalam bahasa Mandarin di daratan RRC. Tak kurang dari Kaisar Akihito menganugerahkan penghargaan kepada Gesang akibat lagu ”Bengawan Solo” demikian dicintai masyarakat Jepang sehingga juga teksnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang.

Tak sedikit warga negeri Belanda yang lebih mampu mendendangkan ”Bengawan Solo” ketimbang lagu kebangsaan mereka sendiri. ”Bengawan Solo” begitu merakyat di bumi kerajaan kincir angin itu sampai ada warga Belanda berhalusinasi bahwa lagu ciptaan putra Indonesia terbaik itu adalah ciptaan dirinya sendiri. Setelah kebudayaan hak cipta merajalela di dunia kesenian memang tak sedikit makelar kasus bernafsu memanfaatkannya habis-habisan tanpa kenal apa yang disebut malu sebab mungkin memang tak punya kemaluan.

Di Suriname, ”Bengawan Solo” senantiasa populer sepanjang masa dan sudah dianggap sebagai lagu nasional nun jauh di sana itu. Di sebuah restoran China di Madrid, Spanyol, saya sempat sulit menelan santap malam akibat terharu mendengar lagu ”Bengawan Solo” mengalun sebagai musik latar rumah makan jauh dari Solo itu.

Di Malaysia dan Singapura yang serumpun kebudayaan dengan kita itu, dengan sendirinya ”Bengawan Solo” sudah dianggap milik mereka juga. Tak heran ketika saya bersama Kwartet Punakawan mengalunkan ”Bengawan Solo” di Esplanade Singapore, hadirin spontan ikut menyanyi dan setelah usai aplaus membahana menggetar ruang resital.

Secara eksplisit, para panitia penyelenggara konser Kwartet Punakawan di Brisbane, Melbourne, Sydney, Perth, menuntut agar ”Bengawan Solo” ditampilkan sebagai lagu wajib pergelaran. Tanpa ”Bengawan Solo” enggak usah konser-konseran!

Estetika

Sebagai seorang yang sedikit mengerti makna estetika karya musik, maka dipercaya sebagai juri berbagai sayembara musik di Jerman, AS, Hongkong, dan pada akhir April 2010 memperoleh kehormatan menjuri The Bicentennial Chopin Piano Competition selenggaraan Kedutaan Besar Polandia dan Lembaga Kebudayaan Perancis di Erasmus Huis, Jakarta, saya berani tegas menyatakan bahwa harkat dan martabat estetika musik ataupun syair lagu ”Bengawan Solo” Gesang layak disejajarkan dengan ”Indonesia Pusaka” Ismail Marzuki dan ”Indonesia Raya” WR Supratman.

Saya juga berani menyatakan bahwa mutu estetikal ”Bengawan Solo” Gesang tak inferior dibandingkan dengan ”Lorelei” Schubert, ”Widmung” Schumann, ”Wiegenlied” Brahms, ”O sole mio” Di Capua, ”Piacer d’Amour” Martini, ”White Christmas” Berlin, ”I Got Rhythm” Gershwin, dan silakan dilanjutkan sampai memadati halaman koran yang sedang Anda baca ini.

Di forum diskusi kelas komposisi musik Folkwanghochschule Essen, Jerman, saya pernah sengaja memilih ”Bengawan Solo” sebagai bahan kupasan analisis bentuk dan harmoni komposisi musik yang ternyata sangat memesona dan mengagumkan para musikus dan musikolog kelas langit yang hadir.

Pendek kata, sama sekali tak ada alasan bagi bangsa dan negara Indonesia keberatan apalagi menolak insan putra terbaik Nusantara setulus dan sesederhana Pak Gesang diangkat menjadi Pahlawan Nasional kecuali arogansi politik berbumbu prasangka dengki dan benci belaka.

sumber: Kompas.com

foto Gesang muda: www.solopos.com

Rabu, 12 Mei 2010

Tuhan Sembilan Senti

oleh: Taufiq Ismail

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,

tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-
perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im
sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya
apakah ada buku tuntunan cara merokok,

Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk
orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,

Negeri kita ini sungguh nirwana
kayangan para dewa-dewa bagi perokok,
tapi tempat cobaan sangat berat
bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok,

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter
tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun
menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut
dan hidungnya mirip asbak rokok,

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul
saling menularkan HIV-AIDS sesamanya,
tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya
mengepulkan asap rokok di kantor atau di stopan bus,
kita ketularan penyakitnya.
Nikotin lebih jahat penularannya
ketimbang HIV-AIDS,

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia,
dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu,
Bisa ketularan kena,

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok,

Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil,
pertandingan bulutangkis,
turnamen sepakbola
mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,

Di kamar kecil 12 meter kubik,
sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat
dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh,
dengan cueknya,
pakai dasi,
orang-orang goblok merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im
sangat ramah bagi orang perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup
bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh,
duduk sejumlah ulama terhormat merujuk
kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.
Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka
terselip berhala-berhala kecil,
sembilan senti panjangnya,
putih warnanya,
ke mana-mana dibawa dengan setia,
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang,
tampak kebanyakan mereka
memegang rokok dengan tangan kanan,
cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda
yang terbanyak kelompok ashabul yamiin
dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz.
Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan,
Di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum.

Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr.
Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi).
Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok.
Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz.
Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang,
karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alkohol,
sudah ada babi,
tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
Lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan,
jangan,

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu,
yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berfikir.
Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap,
dan ada yang mulai terbatuk-batuk,

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini,
sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok.
Korban penyakit rokok
lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas,
lebih gawat ketimbang bencana banjir,
gempa bumi dan longsor,
cuma setingkat di bawah korban narkoba,

Pada saat sajak ini dibacakan,
berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya,
bersembunyi di dalam kantong baju dan celana,
dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna,
diiklankan dengan indah dan cerdasnya,

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri,
tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini,
karena orang akan khusyuk dan fana
dalam nikmat lewat upacara menyalakan api
dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,

Rabbana,
beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.