oleh: Astuti Soekardi
Saya
sempat terhenyak ketika salah seorang pakar dan produsen batik ternama
di Pekalongan, H. Dudung Aliesyahbana, dalam kuliah umumnya di Program
Studi DIII Teknologi Batik, Universitas Pekalongan menyatakan bahwa
perkembangan batik sekarang ini lebih dominan pada batik carangan dan batik sempalan. Dunia industri fashion
sudah sedemikian rupa menggiring batik dalam kondisinya yang seperti
sekarang ini. Bahkan di Pekalongan, muncul suatu kebanggaan bahwa jika
bisa memproduksi batik dengan harga semurah mungkin, maka itu adalah
prestasi!
Jika
sudah berbicara tentang harga murah, maka pada akhirnya mutulah yang
dipertanyakan. Mutu, terutama akan terkait dengan kain dan obat batik
yang digunakan serta desain yang ditampilkan. Orang Jawa bilang, ono rego ono rupa.
Hal ini memiliki kedalaman bahwa suatu produk yang dijual dengan harga
murah, apa iya memiliki mutu yang bagus? Jika batik menjadi seperti itu,
maka batik yang awalnya adalah karya seni yang adiluhung
bertransformasi menuju tahapan yang justru lebih rendah. Meminjam
istilah Van Peursen bahwa transformasi budaya tidak berarti menuju suatu
tahapan yang lebih tinggi, tetapi menuju suatu hal yang berbeda
sifatnya saja. Dikatakan juga bahwa proses transformasi selalu terjadi
dengan disertai penyelewengan-penyelewengan. Bukankah penyelewengan yang dimaksud sudah terjadi?
Tetapi
apakah hanya sejauh itu saja yang terjadi? Apakah sebuah proses
transformasi hanya menuju pada sesuatu yang lebih rendah? Pada faktanya
sekarang, perkembangan desain batik yang ada di lapangan begitu
variatif. Meminjam istilah dalam pewayangan bahwa yang namanya cerita
wayang bisa dikategorikan dalam cerita pakem, cerita carangan dan cerita sempalan. Dalam pewayangan, cerita pakem didefinisikan sebagai cerita/lakon wayang yang masih mengikuti cerita klasik seperti Baratayuda dan Ramayana.
Cerita carangan
adalah lakon yang masih mengambil unsur-unsur dalam lakon pakem tetapi
sudah dengan sentuhan bentuk baru serta penyajian baru. Sedangkan cerita sempalan
adalah cerita wayang yang sama sekali lepas dari cerita pakem.
Demikian
yang terjadi dengan perkembangan batik sekarang ini. Tidak semua
perkembangan yang terjadi pada batik menuju pada sesuatu yang lebih
buruk. Dewasa ini, perkembangan batik begitu variatif dalam tampilannya.
Tampilan batik tidak lagi terpaku pada batik pakem/klasik sebagaimana
awal kehadirannya dalam khasanah budaya Indonesia. Bukanlah hal ini juga
merupakan penyelewengan akibat proses transformasi? Tapi merupakan penyelewengan yang bersifat positif.
Berdasar analog dunia pewayangan tadi, maka definisi batik pakem adalah batik yang masih melestarikan penggunaan motif dan warna batik sebagaimana asalnya dulu (batik klasik). Batik carangan adalah batik yang sudah mengalami modifikasi tetapi masih menampilkan unsur-unsur batik klasik. Sedangkan batik sempalan,
tampilannya merupakan modifikasi bebas hasil kreatifitas
desainer/pembatiknya.
Sangat bisa terjadi bahwa motif dan warna yang
digunakan sama sekali lepas dari pakemnya. Dalam bahasa lain, pada batik sempalan,
bisa saja diartikan bahwa yang tersisa pada batik jenis ini hanyalah
prosesnya saja. Atau dengan kata lain, apapun tampilan batik, jika masih
memenuhi kriteria definisi yang diberikan oleh konvensi
Batik Internasional di Yogyakarta pada tahun 1997, adalah tetap bisa
disebut batik.
Definisi batik yang dimaksud adalah proses penulisan
gambar atau ragam hias pada media apapun dengan menggunakan lilin batik (wax)
sebagai alat perintang warna. Bilamana prosesnya tanpa menggunakan
lilin batik maka tidak bisa dinamakan batik tetapi dikatakan tekstil
bermotif batik.
Apakah
perkembangan yang terjadi pada batik yang sudah sedemikian rupa,
merupakan sesuatu yang salah? Tidak ada yang salah dalam hal ini. Batik
berkembang sedemikian adalah karena tuntutan jaman. Baik batik carangan maupun batik sempalan
adalah dalam rangka usaha si pembuatnya untuk mencari format baru yang
sesuai dengan perkembangan jaman. Oleh Umar Kayam dikatakan bahwa
transformasi budaya merupakan suatu ‘perintah historis’, yaitu usaha
untuk mencari format dan sosok yang lebih mampu dan efektif dalam
menjawab tantangan jaman dan kebudayaan.
‘Perintah historis’ adalah
sebuah strategi nenek moyang kita untuk mempertahankan kelangsungan
hidup dari berbagai pengaruh serta ‘kekuatan’ dari luar. ‘Perintah
historis’ mengisyaratkan adanya idiom ‘keluwesan’, kelenturan, dan
kreativitas dalam menghadapi pengaruh peradaban lain yang lebih kuat.
Dengan kata lain, apapun perkembangan tampilan batik yang sekarang ada,
jika dimaknai positif pada dasarnya adalah hasil kreatifitas masyarakat
masa kini dalam mensikapi perkembangan jaman.
Hanya saja, apakah dengan
adanya begitu banyak perkembangan yang terjadi, masyarakat memahami
sejauhmana selembar batik bisa dikatakan termasuk dalam katagori batik pakem/klasik, batik carangan dan batik sempalan?
Atas nama pewaris budaya batik yang adiluhung, seyogyanya masyarakat
Indonesia mengetahuinya. Dan bagi para produsen batik, dengan memaknai
katagori batik yang berbeda tersebut, maka akan memiliki rasa
tanggungjawab terhadap jenis apapun batik yang diproduksinya.
Jangan
sampai terjadi ketika dia memproduksi jenis batik sempalan maka mengaku-aku batiknya merupakan batik carangan, atau lebih ironis lagi jika mengatakan sebagai batik pakem/klasik.