|
Pakubuwono X bersama Ratu Mas dan Sekar Kedaton 1935 (Koleksi: Perpustakaan Sanapustaka Kraton Kasunanan Surakarta)
|
Batik, beberapa tahun belakangan begitu digandrungi dan dirayakan dengan berbagai
acara seremoni di beberapa kota di Jawa. Kain atau pun teknik batik menjadi
ikon nasionalisme masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, karena warisan masa lalu ini telah ditetapkan oleh Unesco sebagai Warisan Kemanusiaan
untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible
Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober, 2009.
|
Batik Hoek |
Begitu
bangganya, masyarakat di kota Solo mengadakan berbagai acara yang bertemakan
batik, dari fashion show hingga yang termegah adalah Solo Batik Carnival.
Selain itu murid-murid di sekolah dan para pegawai diwajibkan menggunakan baju
batik setiap jumat. Dan ketika hari kemerdekaan RI masyarakat di Solo
diwajibkan bergotong-royong menghiasi gapura masuk perkampungan dengan motif
batik.
Menurut Henk Schulte Nordholt, pada
tingkat yang kurang lebih sadar, kebiasaan berpakaian sudah menjadi alat,
membentuk dan mereproduksi berbagai kelompok orang-orang dalam arti bahwa
batas-batas antara kelompok-kelompok tersebut menjadi sangat jelas dan oleh
karena itu sukar dilangkahi. Baik negara maupun kelompok kepentingan
menggunakan kode-kode berpakaian untuk menciptakan penampilan kuat dari kontrol
negara, kebangsaan atau solidaritas kelompok:
|
Parang Rusak |
Artinya
bahwa fashion (mode) dapat menjadi alat politik penguasa untuk
membentuk segregasi sosial pada masyarakat. Pada masyarakat kerajaan di Indonesia
pakaian raja, bangsawan dan rakyat biasa selalu dibedakan baik kualitas, desain, maupun waktu penggunaannya. Hal ini sebagai pembeda dari status sosial mereka,
dan ini berlanjut hingga kolonisasi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa di
Indonesia. Segregasi sosial melalui pakaian sangat terlihat jelas pada masa
kolonial Belanda terutama di daerah kerajaan, yaitu Surakarta.
|
Semen Ageng Sawat Garuda |
Pameran
kebesaran kerajaan dilakukan melalui berbagai upacara seremoni yang menunjukkan hegemoni kekuasaan terhadap
pemakaian pakaian bagi masyarakat dengan peraturan pelarangan penggunaan motif
batik tertentu bagi masyarakat Surakarta. Ada beberapa motif batik yang tidak
dapat digunakan oleh masyarakat Surakarta, yaitu motif Hoek, yang
diperuntukan bagi raja, permaisuri raja, pangeran dan orang yang berpangkat
Adipati serta anak-anak perempuan raja.
|
Udan Riris |
Motif yang kedua adalah parang
roesak yang diperuntukkan bagi keluarga raja dan anak-anak raja dari
permaisuri. Motif ketiga adalah Semen Ageng Sawat Garoeda yang
digunakan oleh keluarga raja. Motif keempat adalah Oedan Iris. Penggunaan motif ini diberlakukan kepada keluarga raja dan anak-nak raja yang
berasal baik dari permaisuri maupun selir. Motif kelima adalah Roedjak
Sente, yang digunakan oleh seluruh keluarga raja.
|
Kawung |
Sedangkan
motif batik Kawoeng hanya diperbolehkan untuk cucu raja dari
permaisuri dan para bupati. Motif Semen Alit digunakan oleh
bupati dan mantri penewu. Motif batif Slobok digunakan oleh
mantri penewu dan penjaga kerajaan. Motif batik Tjilatjap Kemitir digunakan
oleh panji, mantri, sersan yang bertugas sebagai kepala pasukan pada saat jaga
dan pada saat acara gerebeg.
|
Rujak Sente |
Pelarangan
penggunaan motif batik yang dilakukan oleh pihak istana kerajaan Jawa tidak
lain adalah sebuah pertunjukkan dari semakin hilangnya kekuasaan politik
kerajaan akibat kolonialisme Belanda. Alih-alih melakukan perlawanan secara
nyata terhadap kolonialisme Belanda, kerajaan Jawa melakukan perlawanan
simbolik melalui berbagai upacara-upacara seremoni gemerlap untuk menunjukkan
kebesarannya.
|
Semen Alit |
Patut
dicermati juga bahwa batik yang sejak dulu telah menjadi sarana politik, juga menjalar hingga saat ini. Peraturan memakai batik di hari
tertentu bagi murid-murid sekolah dan pegawai, karnaval-karnaval batik yang
gemerlap tidak lain adalah bentuk simbolik bahwa dengan hal itu semua tradisi akan tetap terjaga dan terpelihara...
|
Slobok |
|
Cilacap Kemitir |