“Ini tiketnya, dan ini ongkos taksinya,” demikian kata atasan saya sambil
menyodorkan uang 50 dollar Singapura. “Ongkos taksi dari bandara 35 dollar,”
tambahnya.
Kalimat di atas masih saya ingat dengan baik meski kejadiannya sudah cukup lama, sekitar 10 tahun yang lalu. Peristiwa itu memberi kesan yang sangat mendalam mengingat perjuangan yang harus kami lakukan setelah itu. Kami, saya dan rekan saya, mendapat tugas untuk memasarkan produk kreatif yang langka, pertama di dunia (klaim kami), untuk dipasarkan di negara tetangga. Meski saya tidak sendirian tapi berangkatnya ke sana saya sendiri saja.
Sebelum berangkat saya sudah bisa menghitung bahwa uang yang saya bawa tinggal 15 dollar Singapura saja. Dengan uang sebesar itu saya harus tinggal di sana selama… 15 hari, wah!
Untuk bertahan di Singapura kami memang tidak dilepas begitu saja, tapi dibekali dengan barang dagangan yang lumayan banyak dan ukurannya besar-besar. Ibarat sebuah film, misi yang kami emban adalah mission (must not) impossible. Dan ibarat sejarah Bani Umayah, kami memposisikan seperti panglima Thariq bin Ziyad ketika menaklukkan Andalusia, yaitu membakar semua kapal. Jadi tidak ada jalan pulang kecuali harus berhasil.
Keluar Terakhir
Ketika berangkat dari Bandara Soekarno Hatta saya banyak dibantu oleh rekan-rekan kantor untuk mengangkat barang dagangan yang berat-berat itu. Tapi ketika tiba di Bandara Changi saya harus melakukan semuanya sendiri. Supaya tidak menganggu penumpang lain, saya memutuskan menjadi orang terakhir yang mengambil bagasi. Begitu suasana sudah sepi, dan ban berjalan di tempat pengambilan bagasi sudah berhenti, baru lah saya beraksi.
Dengan susah payah saya mengangkat, tepatnya setengah menyeret, barang dagangan untuk saya pindahkan ke troli. Setelah berjibaku sekian lama akhirnya berhasil. Saya pun melangkah menuju pintu keluar. Karena suasana sudah sepi, dan penumpang tinggal saya sendiri (saat itu malam hari), saya harus menjelaskan kepada patugas sekuriti barang besar yang ada di troli.
Selanjutnya saya harus mencari taksi menuju Geylang road. Oya, di Geylang road, di wilayah Malay Village (Kampung Melayu), tiap bulan puasa selalu diadakan pasar malam. Pasar malam ini berakhir pada malam takbiran. Di Malay Village inilah kami harus bisa menjual barang yang kami bawa. Tidak hanya menjual, tapi menjual yang profitnya harus bisa menutup biaya akomodasi (makan, penginapan), honor, plus gaji. Kalau tidak bisa, maka gigit jari.
Kembali ke cerita mencari taksi. Saya cukup bersukur bahwa saat itu saya berada di Bandara Changi. Tempat yang sangat aman. Tidak ada porter yang memaksa membawa barang, tidak ada calo, tidak ada taksi tembak, dan tentu saja tidak ada preman. Saya tidak bisa membayangkan kalau saat itu berada di Bandara Soekarno Hatta.
Setelah berputar-putar akhirnya saya menemukan konter taksi. Di konter itu saya diberi pilihan, pilih taksi biasa yang biayanya cukup murah atau taksi besar seperti golden bird kalau di Jakarta tapi biayanya lebih mahal. Sebenarnya saya memilih taksi biasa, tapi mengingat barang bawaan saya yang demikian besar, taksi biasa tidak bisa membawanya. Dan terpaksa saya memilih taksi besar. Biayanya, pas 35 dollar. Dan sekarang, uang saya betul-betul tinggal 15 dollar.
Malam Pertama Ngelapak
Perjalanan dari bandara ke Malay Village di Geylang road cukup lancar. Saya banyak ngobrol dengan sopir taksinya. Bahasanya campur-campur. Dia pakai Bahasa Melayu, sedangkan saya Bahasa Indonesia. Sesekali kami pakai Bahasa Inggris kalau tidak mengerti maksud kosa kata yang diucapkan.
Di pasar malam saya sudah ditunggu rekan kantor yang sudah lebih dulu tiba di sana. Ternyata taksinya tidak bisa parkir sampai depan pasar malam, tapi harus parkir di Onan Road, di samping Hotel 81, yang jaraknya hampir 100 meter. Dan kami harus mengangkat barang bawaaan yang besar-besar itu secara manual. Peluh keringat pun menyertai kami pada malam itu.
Malam itu saya langsung ikut ngelapak, menjual produk kreatif yang kami produksi. Tidak sempat istirahat, tidak sempat mandi, dan belum makan, plus keringat yang belum kering karena mengangkat barang. Ngelapak adalah istilah untuk berjualan secara kaki lima. Ya, malam itu adalah malam pertama saya jadi PKL di Singapura. PKL yang terorganisir. :)
Malam itu selesai sekitar jam 22.30 waktu setempat. Kami “pulang” ke penginapan. Selesai mandi dan makan saya pun langsung pulas karena kecapekan.
Menjemur di Kamar
Pagi harinya kami punya waktu untuk membereskan beberapa hal karena pasar malam dimulai setelah jam 12 siang. Rekan saya cukup kreatif menyiasati hidup di negeri jiran itu. Dengan uang yang sangat terbatas, betul-betul mengandalkan dari hasil berjualan, tidak mungkin bagi kami membeli makanan di restoran, mencuci baju di laundry, maupun berbelanja macam-macam.
Di penginapan itu, kamar kami selalu dibersihkan dan dirapikan sekitar jam 9 pagi. Ini adalah service yang diberikan pihak hotel kepada kami. Nah, sebelum jam 9 biasanya kami segera keluar untuk sekadar jalan-jalan di luar. Setelah diperkirakan kamar sudah dibersihkan, kami pun segera kembali ke kamar. Secara bergantian kami pun mencuci baju di kamar mandi. Lalu bagaimana menjemurnya?
Baju akan lebih cepat kering kalau udaranya kering. Indonesia (dan Singapura tentu saja) udaranya sangat basah. Baju sulit kering. Fungsi AC di samping untuk mendinginkan udara juga membuat udara menjadi kering.
Selesai mencuci rekan saya membentangkan jemuran di dalam kamar, kemudian AC dihidupkan. Dia punya trik bagaimana membuat AC tetap menyala terus meski kamar ditinggal kosong. Dan karena AC nya dihidupkan seharian, maka ketika kami pulang selepas ngelapak, pakaian kami pun sudah kering semuanya. Sip!. Karena saat itu bulan Puasa maka pekerjaan yang kami lakukan pun terasa lebih berat. Selain menjemur baju kami harus punya trik bagaimana makan dengan cara hemat.
Sebelum berangkat ke Singapura kami sudah mempersiapkan menjalankan puasa di negeri jiran. Kami membeli rice cooker kecil yang murah, seterika lipat, lauk yang tahan lama disimpan, dan sebagainya. Sebelum tidur kami memasak nasi, dan ketika sahur kami tinggal makan sambil menunggu air mendidih, membuat teh atau kopi susu yang dibawa dari Jakarta. Jadilah sahur yang memenuhi syarat seperti di rumah. :)
Tamasya Puasa
Tentunya tidak lengkap kalau sudah di luar negeri tanpa menikmati panorama negeri itu. Tentunya tidak afdol kalau sudah sampai di Singapura tapi tidak menikmati keramaian, lalu lintas, mengenal lingkungan, naik angkutan umum, dan sebagainya.
Setiap hari, selesai mencuci, menggosok, dan sebagainya kami selalu berusaha menyempatkan untuk jalan-jalan menikmati negeri-kota itu. Sekali waktu kami sengaja menjadwalkan hari itu khusus untuk naik MRT (Commuter Line kalau di Jabotabek) keliling Singapura.
Dari tempat menginap, kami berjalan kaki kurang lebih 1 km, menuju stasiun Eunos. Kami mencoba untuk menikmati jalur timur-barat Singapura. Dari Eunos melewati Stasiun: Paya Lebar, Aljunied, Kallang, Lavender, Bugis, City Hall, Raffles Place, Tanjong Pagar, dan seterusnya hingga melewati: Pasir Ris, Tampines, Simei, Tanah Merah, Bedok, Kembangan, dan kembali ke Eunos. Hampir 1,5 jam kami di atas MRT sampai kami sedikit merasa bosan.
Pada hari yang lain kami pergi ke Raffles Place. Kembali kami berjalan kaki ke Stasiun Eunos, naik MRT, dan turun di Stasiun Raffles Place. Cukup lama kami menikmati tanah yang luas di lapangan itu, menikmati bangunan tua tapi masih dirawat dengan baik. Sayang sekali kami tidak bisa mengeksplorasi lebih lama karena teriknya panas Matahari membuat kami lebih mudah capai, sedangkan saat itu kami semua manjalankan ibadah puasa.
Dan tentu saja kurang afdol kalau tidak berjalan-jalan di Orchad Road. Di hari yang lain kami pun ke sana. Menikmati suasana lalu lintas, mencari hal-hal yang unik, dan sebagainya. Dari hasil blusukan kami menemukan sebuah toko elektronik kecil, tempatnya terpencil, namun menjual ponsel mutakhir (untuk saat itu) second, kualitas bagus, tapi harganya sangat ‘bersahabat’ bagi kami. Ponsel inilah yang jadi salah satu oleh-oleh kami dari Negeri “Singa” itu.
Parfum 10 Tahun
Di samping blusukan menggunakan MRT kami juga blusukan secara manual, alias jalan kaki. Sebelum buka lapak pada siang-sore hari, tempat-tempat yang cukup dikenal seperti Mustafa Centre di Jalan Syed Alwi, Arab Street, Bugis Street kami datangi. Juga tentu saja Patung Merlion dan Gedung Esplanade kami sambangi.
Yang cukup menarik, di Mustafa Centre, selain membeli mainan, saya juga membeli dua parfum dengan wangi yang berbeda. Saya sendiri sebenarnya sangat jarang atau kurang suka pakai parfum. Namun saat itu saya penasaran dengan parfum yang ditawarkan penjualnya. Saya murni penasaran dengan parfumnya, bukan dengan penjualnya, karena panjualnya bukan SPG yang kinyis-kinyis seperti di Jakarta, tapi penjualnya seorang bapak yang sudah cukup berumur. :)
Karena sangat jarang menggunakan parfum, maka sampai sekarang parfum itu masih ada separuh. Sudah 10 tahun parfum itu saya simpan. Yang menarik, wanginya tidak berubah. Tetap wangi seperti ketika masih baru. Betul-betul kwalitasnya yang sangat apik.
Akhirnya pada malam takbiran pasar rakyat itu pun berakhir. Kami bersukur karena hasil penjualan bisa menutup semua biaya (makan, menginap, dll) yang harus dikeluarkan. Paginya Shalat Idul Fitri digelar di Masjid dekat pasar rakyat. Suasananya sungguh berbeda dengan di Tanah Air. Sama sekali tidak ada suasana Lebaran di Negeri itu. Semuanya biasa-biasa saja.
Sore harinya kami pun ke Bandara Changi untuk kembali ke Jakarta. Kembali ke pelukan keluarga yang sudah menunggu dengan penuh asa.
Kalimat di atas masih saya ingat dengan baik meski kejadiannya sudah cukup lama, sekitar 10 tahun yang lalu. Peristiwa itu memberi kesan yang sangat mendalam mengingat perjuangan yang harus kami lakukan setelah itu. Kami, saya dan rekan saya, mendapat tugas untuk memasarkan produk kreatif yang langka, pertama di dunia (klaim kami), untuk dipasarkan di negara tetangga. Meski saya tidak sendirian tapi berangkatnya ke sana saya sendiri saja.
Sebelum berangkat saya sudah bisa menghitung bahwa uang yang saya bawa tinggal 15 dollar Singapura saja. Dengan uang sebesar itu saya harus tinggal di sana selama… 15 hari, wah!
Untuk bertahan di Singapura kami memang tidak dilepas begitu saja, tapi dibekali dengan barang dagangan yang lumayan banyak dan ukurannya besar-besar. Ibarat sebuah film, misi yang kami emban adalah mission (must not) impossible. Dan ibarat sejarah Bani Umayah, kami memposisikan seperti panglima Thariq bin Ziyad ketika menaklukkan Andalusia, yaitu membakar semua kapal. Jadi tidak ada jalan pulang kecuali harus berhasil.
Keluar Terakhir
Ketika berangkat dari Bandara Soekarno Hatta saya banyak dibantu oleh rekan-rekan kantor untuk mengangkat barang dagangan yang berat-berat itu. Tapi ketika tiba di Bandara Changi saya harus melakukan semuanya sendiri. Supaya tidak menganggu penumpang lain, saya memutuskan menjadi orang terakhir yang mengambil bagasi. Begitu suasana sudah sepi, dan ban berjalan di tempat pengambilan bagasi sudah berhenti, baru lah saya beraksi.
Dengan susah payah saya mengangkat, tepatnya setengah menyeret, barang dagangan untuk saya pindahkan ke troli. Setelah berjibaku sekian lama akhirnya berhasil. Saya pun melangkah menuju pintu keluar. Karena suasana sudah sepi, dan penumpang tinggal saya sendiri (saat itu malam hari), saya harus menjelaskan kepada patugas sekuriti barang besar yang ada di troli.
Selanjutnya saya harus mencari taksi menuju Geylang road. Oya, di Geylang road, di wilayah Malay Village (Kampung Melayu), tiap bulan puasa selalu diadakan pasar malam. Pasar malam ini berakhir pada malam takbiran. Di Malay Village inilah kami harus bisa menjual barang yang kami bawa. Tidak hanya menjual, tapi menjual yang profitnya harus bisa menutup biaya akomodasi (makan, penginapan), honor, plus gaji. Kalau tidak bisa, maka gigit jari.
Kembali ke cerita mencari taksi. Saya cukup bersukur bahwa saat itu saya berada di Bandara Changi. Tempat yang sangat aman. Tidak ada porter yang memaksa membawa barang, tidak ada calo, tidak ada taksi tembak, dan tentu saja tidak ada preman. Saya tidak bisa membayangkan kalau saat itu berada di Bandara Soekarno Hatta.
Setelah berputar-putar akhirnya saya menemukan konter taksi. Di konter itu saya diberi pilihan, pilih taksi biasa yang biayanya cukup murah atau taksi besar seperti golden bird kalau di Jakarta tapi biayanya lebih mahal. Sebenarnya saya memilih taksi biasa, tapi mengingat barang bawaan saya yang demikian besar, taksi biasa tidak bisa membawanya. Dan terpaksa saya memilih taksi besar. Biayanya, pas 35 dollar. Dan sekarang, uang saya betul-betul tinggal 15 dollar.
Malam Pertama Ngelapak
Perjalanan dari bandara ke Malay Village di Geylang road cukup lancar. Saya banyak ngobrol dengan sopir taksinya. Bahasanya campur-campur. Dia pakai Bahasa Melayu, sedangkan saya Bahasa Indonesia. Sesekali kami pakai Bahasa Inggris kalau tidak mengerti maksud kosa kata yang diucapkan.
Di pasar malam saya sudah ditunggu rekan kantor yang sudah lebih dulu tiba di sana. Ternyata taksinya tidak bisa parkir sampai depan pasar malam, tapi harus parkir di Onan Road, di samping Hotel 81, yang jaraknya hampir 100 meter. Dan kami harus mengangkat barang bawaaan yang besar-besar itu secara manual. Peluh keringat pun menyertai kami pada malam itu.
Malam itu saya langsung ikut ngelapak, menjual produk kreatif yang kami produksi. Tidak sempat istirahat, tidak sempat mandi, dan belum makan, plus keringat yang belum kering karena mengangkat barang. Ngelapak adalah istilah untuk berjualan secara kaki lima. Ya, malam itu adalah malam pertama saya jadi PKL di Singapura. PKL yang terorganisir. :)
Malam itu selesai sekitar jam 22.30 waktu setempat. Kami “pulang” ke penginapan. Selesai mandi dan makan saya pun langsung pulas karena kecapekan.
Menjemur di Kamar
Pagi harinya kami punya waktu untuk membereskan beberapa hal karena pasar malam dimulai setelah jam 12 siang. Rekan saya cukup kreatif menyiasati hidup di negeri jiran itu. Dengan uang yang sangat terbatas, betul-betul mengandalkan dari hasil berjualan, tidak mungkin bagi kami membeli makanan di restoran, mencuci baju di laundry, maupun berbelanja macam-macam.
Di penginapan itu, kamar kami selalu dibersihkan dan dirapikan sekitar jam 9 pagi. Ini adalah service yang diberikan pihak hotel kepada kami. Nah, sebelum jam 9 biasanya kami segera keluar untuk sekadar jalan-jalan di luar. Setelah diperkirakan kamar sudah dibersihkan, kami pun segera kembali ke kamar. Secara bergantian kami pun mencuci baju di kamar mandi. Lalu bagaimana menjemurnya?
Baju akan lebih cepat kering kalau udaranya kering. Indonesia (dan Singapura tentu saja) udaranya sangat basah. Baju sulit kering. Fungsi AC di samping untuk mendinginkan udara juga membuat udara menjadi kering.
Selesai mencuci rekan saya membentangkan jemuran di dalam kamar, kemudian AC dihidupkan. Dia punya trik bagaimana membuat AC tetap menyala terus meski kamar ditinggal kosong. Dan karena AC nya dihidupkan seharian, maka ketika kami pulang selepas ngelapak, pakaian kami pun sudah kering semuanya. Sip!. Karena saat itu bulan Puasa maka pekerjaan yang kami lakukan pun terasa lebih berat. Selain menjemur baju kami harus punya trik bagaimana makan dengan cara hemat.
Sebelum berangkat ke Singapura kami sudah mempersiapkan menjalankan puasa di negeri jiran. Kami membeli rice cooker kecil yang murah, seterika lipat, lauk yang tahan lama disimpan, dan sebagainya. Sebelum tidur kami memasak nasi, dan ketika sahur kami tinggal makan sambil menunggu air mendidih, membuat teh atau kopi susu yang dibawa dari Jakarta. Jadilah sahur yang memenuhi syarat seperti di rumah. :)
Tamasya Puasa
Tentunya tidak lengkap kalau sudah di luar negeri tanpa menikmati panorama negeri itu. Tentunya tidak afdol kalau sudah sampai di Singapura tapi tidak menikmati keramaian, lalu lintas, mengenal lingkungan, naik angkutan umum, dan sebagainya.
Setiap hari, selesai mencuci, menggosok, dan sebagainya kami selalu berusaha menyempatkan untuk jalan-jalan menikmati negeri-kota itu. Sekali waktu kami sengaja menjadwalkan hari itu khusus untuk naik MRT (Commuter Line kalau di Jabotabek) keliling Singapura.
Dari tempat menginap, kami berjalan kaki kurang lebih 1 km, menuju stasiun Eunos. Kami mencoba untuk menikmati jalur timur-barat Singapura. Dari Eunos melewati Stasiun: Paya Lebar, Aljunied, Kallang, Lavender, Bugis, City Hall, Raffles Place, Tanjong Pagar, dan seterusnya hingga melewati: Pasir Ris, Tampines, Simei, Tanah Merah, Bedok, Kembangan, dan kembali ke Eunos. Hampir 1,5 jam kami di atas MRT sampai kami sedikit merasa bosan.
Pada hari yang lain kami pergi ke Raffles Place. Kembali kami berjalan kaki ke Stasiun Eunos, naik MRT, dan turun di Stasiun Raffles Place. Cukup lama kami menikmati tanah yang luas di lapangan itu, menikmati bangunan tua tapi masih dirawat dengan baik. Sayang sekali kami tidak bisa mengeksplorasi lebih lama karena teriknya panas Matahari membuat kami lebih mudah capai, sedangkan saat itu kami semua manjalankan ibadah puasa.
Dan tentu saja kurang afdol kalau tidak berjalan-jalan di Orchad Road. Di hari yang lain kami pun ke sana. Menikmati suasana lalu lintas, mencari hal-hal yang unik, dan sebagainya. Dari hasil blusukan kami menemukan sebuah toko elektronik kecil, tempatnya terpencil, namun menjual ponsel mutakhir (untuk saat itu) second, kualitas bagus, tapi harganya sangat ‘bersahabat’ bagi kami. Ponsel inilah yang jadi salah satu oleh-oleh kami dari Negeri “Singa” itu.
Parfum 10 Tahun
Di samping blusukan menggunakan MRT kami juga blusukan secara manual, alias jalan kaki. Sebelum buka lapak pada siang-sore hari, tempat-tempat yang cukup dikenal seperti Mustafa Centre di Jalan Syed Alwi, Arab Street, Bugis Street kami datangi. Juga tentu saja Patung Merlion dan Gedung Esplanade kami sambangi.
Yang cukup menarik, di Mustafa Centre, selain membeli mainan, saya juga membeli dua parfum dengan wangi yang berbeda. Saya sendiri sebenarnya sangat jarang atau kurang suka pakai parfum. Namun saat itu saya penasaran dengan parfum yang ditawarkan penjualnya. Saya murni penasaran dengan parfumnya, bukan dengan penjualnya, karena panjualnya bukan SPG yang kinyis-kinyis seperti di Jakarta, tapi penjualnya seorang bapak yang sudah cukup berumur. :)
Karena sangat jarang menggunakan parfum, maka sampai sekarang parfum itu masih ada separuh. Sudah 10 tahun parfum itu saya simpan. Yang menarik, wanginya tidak berubah. Tetap wangi seperti ketika masih baru. Betul-betul kwalitasnya yang sangat apik.
Akhirnya pada malam takbiran pasar rakyat itu pun berakhir. Kami bersukur karena hasil penjualan bisa menutup semua biaya (makan, menginap, dll) yang harus dikeluarkan. Paginya Shalat Idul Fitri digelar di Masjid dekat pasar rakyat. Suasananya sungguh berbeda dengan di Tanah Air. Sama sekali tidak ada suasana Lebaran di Negeri itu. Semuanya biasa-biasa saja.
Sore harinya kami pun ke Bandara Changi untuk kembali ke Jakarta. Kembali ke pelukan keluarga yang sudah menunggu dengan penuh asa.