Minggu, 26 Oktober 2008

PPE, Intrade, dan Jokowi


Kira-kira satu tahun lalu saya berkesempatan ikut rombongan anggota Koperasi Pedagang Tanah Abang ke Solo. Saat itu Koperasi Pedagang Tanah Abang mendapat undangan dari pengelola PGS (Pusat Grosir Solo) untuk mengunjungi pusat perdagangan itu. Tentu saja bukan undangan biasa. Dan tentu saja ada 'maksud' tertentu dari pengelola PGS mengundang koperasi ini.

PGS memposisikan dirinya sebagai 'Tanah Abang'nya Solo. Maka mereka merasa perlu memperkuat potisioningnya dengan mengundang para pedagang Tanah Abang yang asli. Dan tentu saja mereka menginginkan para pedagang asli Tanah Abang ini nantinya juga 'menghuni' PGS. Sebuah ide yang cukup bagus.

Supaya undangannya efektif dan mendapat respon cukup bagus, pengelola PGS harus mengeluarkan kiat khusus, yaitu menggratiskan akomodasi dan konsumsi rombongan selama di Solo. Tidak hanya itu, bahkan transportasi ke Solo juga mereka gratiskan. Kiat ini ternyata cukup jitu. Jumlah rombongan sesuai dengan keinginan pengelola PGS.

Tetapi karena yang diundang adalah pengusaha rupanya tidak mudah bagi PGS untuk menarik minat mereka. Rombongan, dengan jam terbangnya masing-masing, selalu berusaha mencari peluang di manapun berada. Peluang yang akan memperluas pasar mereka. Peluang yang sebenarnya di luar kehendak PGS. Yang terjadi undangan itu efektif mengundang orang tapi tidak efektif menarik mereka untuk menjadi penyewa PGS.

Usaha mengundang pengunjung atau rombongan dengan cara menggratiskan akomodasi dan konsumsi memang cukup jitu untuk menarik minat. Keberhasilan kota Solo menjadi tuan rumah WHCCE atau Konferensi Kota-Kota Bersejarah Dunia adalah juga karena keberhasilan walikotanya untuk menggratiskan akomodasi dan konsumsi selama di Solo. Dan hari-hari ini Solo sedang sibuk melayani dan menjamu para tamu manca negara.

'Untungnya' yang diundang walikota Solo bukan para pedagang atau pengusaha. Jadi mudah-mudahan saja kiat ini cukup jitu mempromosikan Solo menjadi 'kota dunia' :)

Perhatian dan keberpihakan pemerintah untuk ikut memajukan ekonominya juga ditunjukkan pemerintah Malaysia. Demi memajukan sektor riilnya pemerintah Malaysia tidak tinggal diam ikut meramaikan International Trade (Intrade) Malaysia 2008. Mereka tidak segan mengeluarkan biaya untuk menjamu pengunjung yang sangat diharapkan menjadi buyernya.

Saya tidak tahu persis berapa orang yang akomodasi dan konsumsinya selama acara Intrade ditanggung pemerintah Malaysia. Yang jelas ada 27 anggota TDA yang diudang untuk menghadiri Incoming Buying Mission International Trade (IBM Intrade) Malaysia 2008. Panitia jauh-jauh hari sudah membuat batasan aturan. Kalau ternyata nanti terbukti para undangan yang akomodasi dan konsumsinya ditanggung melakukan kegiatan 'selling', maka semua fasilitas langsung dicabut. Tidak tahu persis apakah panitia belajar dari kasus PGS atau tidak... :)

Dalam Intrade ini pemerintah Malaysia menyiapkan 4 hal: Hal A, B, D, E. Tidak ada penjelasan mengapa kok tidak ada Hal C. Entah, apakah ini masalah kepercayaan, klenik, fengshui, primbon, weton, atau yang lain. :). Jumlah stand yang disiapkan adalah 633 stand dengan luas total 14.649 meter persegi.

Bandingkan dengan PPE (Pameran Produk Ekspor) yang diinggriskan menjadi The 23th Trade Expo Indonesia. Di PPE ada 7 hal, 1000 stand, dan luas total 38.000 meter persegi. Buyer yang diharapkan datang adalah 8000 buyer.

Kita tunggu saja apakah nanti jumlah buyer PPE lebih banyak dibanding Intrade. Kalau lebih banyak PPE berarti undangan dengan cara menggratiskan makan dan tidur kurang efektif kalau itu ditujukan untuk para pebisnis. Tapi kalau buyer Intrade lebih banyak berarti kiat gratis makan-tidur cukup efektif untuk kalangan siapa saja... :)

foto PGS Solo oleh Skyscrapercity

Jumat, 17 Oktober 2008

Let's Go to Solo, the Spirit of Java


Melihat foto di atas ingatan saya kembali ke masa-masa penuh kenangan. Masa ketika kami, saya dan teman-teman, sering menggunakan pelataran Kraton Kasunanan Surakarta itu sebagai ajang bermain.

Kami sering berlarian, main sepeda, main layang-layang, dan sebagainya. Hampir tiga puluh tahun silam pelataran Kraton juga penuh dengan pedagang aneka makanan yang setia melayani setiap wisatawan yang berkunjung ke sana. Di pelataran Kraton itu juga rutin digunakan sebagai tempat mengadakan Shalat Idul Fitri dan Idul Adha.

Dulu tempat itu teduh dan nyaman. Ada dua pohon besar Sawo Kecik yang menaungi pelataran itu. Tiap hari tubuh kita dimanja oleh angin sepoi-sepoi basa yang dihembuskan olah dua pohon besar itu.

Kini suasananya sudah berubah. Pelataran Kraton sudah 'bersih' dari pohon dan pedagang. Tempat itu kini sepi. Tidak ada lagi anak-anak yang berlarian bermain di sana. Pokoknya suasananya sudah 'tertib', hening, bisu. Udaranya tentu juga berubah menjadi sangat terik. Pada musim kemarau seperti sekarang ini sinar Matahari dengan leluasa 'membakar' setiap yang lewat di sana. Satu-satunya yang masih tersisa adalah pelataran itu sampai sekarang masih digunakan sebagai tempat menyelenggarakan Shalat Idul Fitri dan Idul Adha.

Saya menghabiskan masa kecil di sekitar Kraton karena ayah saya mendapat izin untuk magersari di sana. Magersari adalah izin membangun rumah di atas lahan milik Kraton.

Ah, kok jadi cerita masa kecil...

Kembali ke judul Let's Go to Solo. Kini di berbagai penjuru kota Solo terpajang spanduk Let's Go to Solo, the Spirit of Java. Spanduk itu dipasang dalam rangka menyambut World Heritage Cities Conference and Expo 2008 (WHCCE). Dalam bahasa yang merakyat WHCCE adalah Konferensi Kota-Kota Kuno se-Dunia. Inilah cara pak Jokowi, walikota Solo, mempromosikan kotanya menjadi kota ternama di dunia. Sebuah proyek sangat prestisius yang langsung dirasakan rakyat. Sebuah ide luar biasa yang belum ada duanya. Acara sangat besar tapi penyelenggaraannya hanya dilakukan oleh skala kota madya. Hm... lagi-lagi pak Jokowi, seorang pengusaha yang kini jadi walikota.

Bagaimana caranya pak Jokowi meyakinkan peserta bahwa Solo adalah kota yang paling cocok untuk WHCCE 2008?

Sebelum terpilih menjadi wali kota, sebagai pengusaha di bidang berkaitan dengan kayu, ia mengunjungi berbagai kota di Rusia, Korea Selatan, dan Cina. Yang pertama kali terkesan dan menjadi obsesinya adalah tradisi yang tetap hidup dan berkembang sementara kota-kota itu tumbuh modern.

Huruf mereka sendiri, misalnya, mewarnai seluruh kota: terpampang di mana-mana sebagai alat menyampaikan informasi, digunakan untuk menulis nama jalan, nama toko, hotel, perkantoran, dan sebagainya. ”Lha, kita di sini malah cenderung memakai bahasa Inggris,” katanya.

Begitu duduk di kursi wali kota, selain mendaftar masalah-masalah, ia pun menghitung potensi Kota Madya Solo. Ia menemukan kemiripan Solo dengan beberapa kota kecil dunia yang sukses dengan MICE-nya. MICE adalah Meeting, Incentive travel, Conference, dan Exhibition. Dalam bahasa yang sederhana MICE adalah kegiatan yang berhubungan dengan pariwisata, konferensi, pameran bisnis, festival seni & budaya.

Dari sinilah, pelan-pelan, dua tahun kemudian ia melancarkan berbagai program untuk menjadikan Solo kota MICE. Lalu, diluncurkan semboyan untuk mengundang orang mengunjungi Solo: Let’s Go to Solo. Selain itu, untuk membangun karakter Solo, pada ulang tahun kota ke-263 ini, 17 Februari 2008, ia meresmikan penggunaan aksara Jawa.

WHCCE atau Konferensi Kota-Kota Warisan Dunia adalah sebuah forum untuk melestarikan kota-kota bersejarah yang memiliki warisan berupa benda dan seni budaya. Anggotanya adalah kota-kota yang oleh Unesco diakui sebagai kota cagar budaya, salah stunya adalah SOLO.

Tiap dua tahun sekali konferensi ini mengumpulkan para pakar dalam bidang pelestarian kota bersejarah serta pemafaatannya untuk priwisata dan peningkatan perekonomian kota. Termasuk yang dikumpulkan adalah walikota, politisi, dan birokrat.

Ketika konferensi diadakan di Lijian, Cina, pada 2006. Jokowi melobi sidang agar Solo diterima menjadi tuan rumah pada konferensi 2008. ketika itu jokowi harus bersaing dengan Austria, Korea Selatan, Pakistan, dan Rusia. Jokowi merasa terdesak dalam bidding di Lijian karena pesaing-pesaingnya didukung dana besar.

Entah bagaimana ceritanya muncul ide di kepala pak Walikota satu ini untuk menembak soal biaya. Inilah senjata pamungkas. "Saat konferensi lanjutan di Pattaya, Thailand, saya hanya bisa bilang semua akan saya gratiskan mulai penginapan dan makanan," tutur jokowi.

Ajaib, senjata pamungkas itu bekerja dengan baik. Sidang sepakat menjadikan Solo tempat konferensi 2008. Apa kata Jokowi? "Sebenarnya menggratiskan hotel dan makanan itu murah. Pemkot hanya habis Rp 400 juta. Kalau konferensi di negara maju mematoknya dengan dolar sehingga mahal."

Jokowi tak mau melepaskan kesempatan emas ini. WHCCE diadakan 25-30 Oktober 2008 di Solo. Selain kongres Jokowi berusaha merapatkan beberapa event internasional ke jadwal WHCCE 2008, misalnya Solo International Ethnic Music, Solo Batik Sale, Borobudur Travel Mart, dan International Keroncong Fest. Ibaratnya sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui.

Ini memang strategi seorang pengusaha, bukan semangat formalistis birokrat. Sebab nantinya ada 33 walikota anggota OWHC (Organization of World Heritage Cities), 37 walikota anggota UCLG (United Cities and Local Goverment) Asia Pasifik, 100 orang UCLG Euro-Asia, 93 anggota Apeksi (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia), 80 perwakilan LSM, serta 30 perwakilan perguruan tinggi dan profesional. Total delegasi resmi dan pedamping 1050 orang. Padahal menurut pengalaman selain delegasi resmi terdapat pengikut tak resmi. Hitung-hitung WHCCE akan dihadiri oeh sekitar 2500 orang. Mereka inilah yang akan menjadi agen promosi untuk Solo, hampir-hampir gratis.

Dampak lain yang sangat dirasakan adalah maraknya kegiatan ekonomi. Semua kamar hotel di Solo penuh. Semua taksi hilir mudik membawa penumpang dengan frekwensi tinggi. Becak-becak menjadi semarak karena para tamu tentu ingin merasakan moda transportasi tradisional yang khas. Gladag Langen Bogan, wisata kuliner yang baru saja diresmikan Walikota, tentu semarak dengan aneka makanan khas Solo. dan tentu saja pakaian khas berupa batik akan ikut menikmati promosi gratis yang dibawa oleh para tamu.

Inilah mindset seorang pemimpin yang berlatar belakang pengusaha. Pengusaha yang berangkat dari bawah. Pak Jokowi akan membuat sejarah. Jadi tunggu apa lagi, Let's Go to Solo, the Spirit of Java.


foto: rooneyruni. sumber: Majalah Venue

Sabtu, 11 Oktober 2008

Kalau Laris, Gimana?

"Sepupu saya sekarang sudah jadi 'orang'. Bisnis kainnya sudah merambah ke luar kota. Sudah kaya dia sekarang," kata ibu tetangga sebelah menceritakan familinya.

"Sudah berapa lama dia menjalankan bisnisnya?" tanya istri saya.

"Sudah lama banget, bu. Sudah sejak saya masih belum menikah," jawabnya.

"Ya sudah selayaknya dong kalau sekarang dia sukses. Dia serius dengan bisnisnya lebih sepuluh tahun lalu. Terus, mengapa Bu Ade (bukan nama sebenarnya) tidak ingin meniru dia?" tanya istri saya.

"Takut aja bu kalau gagal," jawabnya ringan.

Obrolan di atas sebenarnya tidak hanya sekali saja terjadi. Pembicaraan seperti itu sudah beberapa kali terjadi antara istri saya dengan ibu tetangga. Mengubah pola pikir memang bukan perkara mudah.

Bu Ade sering mengeluh kalau karir suaminya susah beranjak naik. Bukan karena prestasi suaminya jelek tapi perusahaan tempat suaminya bekerja berjalan stagnan, bahkan sekarang cenderung grafiknya menurun. Bu Ade sering sekali mengemukakan keinginannya untuk membuka usaha tapi pola pikir yang ada di kepalanya yang akhirnya menghentikan semua niatnya.

"Coba deh Bu Ade pikir. Anggap saja bu Ade bisa sukses nanti pada tahun ke-5...." (belum selesai istri saya melanjutkan kalimatnya, bu Ade memotong...

"Wah, lama banget kalau harus lima tahun..."

"Itu anggap saja, sukur bisa 2 tahun. Kalau sekarang mulai buka usaha, berarti nanti pada tahun 2013 bu Ade sudah merdeka. Itu kalau mulainya sekarang. Bagaimana kalau mulainya tahun depan atau dua tahun nanti. Makin lama lagi bisa merdeka finansial

Sebenarnya ibu kan punya keahlian, yaitu kalau membuat empek-empek (makanan khas Palembang) kelezatannya sudah diakui orang. Puasa kemarin jualan empek-empeknya laris kan?" kata istri saya.

"Alhamdulillah laris."

"Mengapa enggak diteruskan saja jualan empek-empeknya?"

"Iya sih... tapi kalau nggak laku, gimana?"

Inilah lagi-lagi pola pikir yang saya yakin menghinggapi mayoritas penduduk bumi Nusantara. Sebagian besar mereka sadar kalau membuka usaha, berbisnis adalah solusi kongkret menghadapi krisis yang sekarang sudah diambang pintu. Berbagai fakta dan gambaran yang kita kemukakan sebenarnya mereka terima. Tapi kalau diminta untuk action... inilah masalahnya.

Pola pikir negatif barangkali adalah pola pikir yang dianut sebagian besar masyarakat kita. Yang ada di benak mereka adalah 'bagaimana kalau gagal'. Padahal dengan cara yang sangat sederhana pola pikir ini sebenarnya bisa langsung dibalik dengan kalimat: 'bagaimana kalau berhasil'.

Tetapi ternyata mengubah kalimat yang sederhana itu tidak mudah kalau harus diterapkan di kehidupan nyata. Memasukkan 'bagaimana kalu berhasil' ke alam bawah sadar ternyata persoalan yang cukup sulit.

Tapi sulit bukan berarti tidak bisa. Sebenarnya ada beberapa metode yang bisa mengubah pola pikir itu secara sederhana dan cukup singkat. Salah satunya adalah workshop EDAN-nya pak Ikhwan Sopa...