Jumat, 17 Oktober 2008

Let's Go to Solo, the Spirit of Java


Melihat foto di atas ingatan saya kembali ke masa-masa penuh kenangan. Masa ketika kami, saya dan teman-teman, sering menggunakan pelataran Kraton Kasunanan Surakarta itu sebagai ajang bermain.

Kami sering berlarian, main sepeda, main layang-layang, dan sebagainya. Hampir tiga puluh tahun silam pelataran Kraton juga penuh dengan pedagang aneka makanan yang setia melayani setiap wisatawan yang berkunjung ke sana. Di pelataran Kraton itu juga rutin digunakan sebagai tempat mengadakan Shalat Idul Fitri dan Idul Adha.

Dulu tempat itu teduh dan nyaman. Ada dua pohon besar Sawo Kecik yang menaungi pelataran itu. Tiap hari tubuh kita dimanja oleh angin sepoi-sepoi basa yang dihembuskan olah dua pohon besar itu.

Kini suasananya sudah berubah. Pelataran Kraton sudah 'bersih' dari pohon dan pedagang. Tempat itu kini sepi. Tidak ada lagi anak-anak yang berlarian bermain di sana. Pokoknya suasananya sudah 'tertib', hening, bisu. Udaranya tentu juga berubah menjadi sangat terik. Pada musim kemarau seperti sekarang ini sinar Matahari dengan leluasa 'membakar' setiap yang lewat di sana. Satu-satunya yang masih tersisa adalah pelataran itu sampai sekarang masih digunakan sebagai tempat menyelenggarakan Shalat Idul Fitri dan Idul Adha.

Saya menghabiskan masa kecil di sekitar Kraton karena ayah saya mendapat izin untuk magersari di sana. Magersari adalah izin membangun rumah di atas lahan milik Kraton.

Ah, kok jadi cerita masa kecil...

Kembali ke judul Let's Go to Solo. Kini di berbagai penjuru kota Solo terpajang spanduk Let's Go to Solo, the Spirit of Java. Spanduk itu dipasang dalam rangka menyambut World Heritage Cities Conference and Expo 2008 (WHCCE). Dalam bahasa yang merakyat WHCCE adalah Konferensi Kota-Kota Kuno se-Dunia. Inilah cara pak Jokowi, walikota Solo, mempromosikan kotanya menjadi kota ternama di dunia. Sebuah proyek sangat prestisius yang langsung dirasakan rakyat. Sebuah ide luar biasa yang belum ada duanya. Acara sangat besar tapi penyelenggaraannya hanya dilakukan oleh skala kota madya. Hm... lagi-lagi pak Jokowi, seorang pengusaha yang kini jadi walikota.

Bagaimana caranya pak Jokowi meyakinkan peserta bahwa Solo adalah kota yang paling cocok untuk WHCCE 2008?

Sebelum terpilih menjadi wali kota, sebagai pengusaha di bidang berkaitan dengan kayu, ia mengunjungi berbagai kota di Rusia, Korea Selatan, dan Cina. Yang pertama kali terkesan dan menjadi obsesinya adalah tradisi yang tetap hidup dan berkembang sementara kota-kota itu tumbuh modern.

Huruf mereka sendiri, misalnya, mewarnai seluruh kota: terpampang di mana-mana sebagai alat menyampaikan informasi, digunakan untuk menulis nama jalan, nama toko, hotel, perkantoran, dan sebagainya. ”Lha, kita di sini malah cenderung memakai bahasa Inggris,” katanya.

Begitu duduk di kursi wali kota, selain mendaftar masalah-masalah, ia pun menghitung potensi Kota Madya Solo. Ia menemukan kemiripan Solo dengan beberapa kota kecil dunia yang sukses dengan MICE-nya. MICE adalah Meeting, Incentive travel, Conference, dan Exhibition. Dalam bahasa yang sederhana MICE adalah kegiatan yang berhubungan dengan pariwisata, konferensi, pameran bisnis, festival seni & budaya.

Dari sinilah, pelan-pelan, dua tahun kemudian ia melancarkan berbagai program untuk menjadikan Solo kota MICE. Lalu, diluncurkan semboyan untuk mengundang orang mengunjungi Solo: Let’s Go to Solo. Selain itu, untuk membangun karakter Solo, pada ulang tahun kota ke-263 ini, 17 Februari 2008, ia meresmikan penggunaan aksara Jawa.

WHCCE atau Konferensi Kota-Kota Warisan Dunia adalah sebuah forum untuk melestarikan kota-kota bersejarah yang memiliki warisan berupa benda dan seni budaya. Anggotanya adalah kota-kota yang oleh Unesco diakui sebagai kota cagar budaya, salah stunya adalah SOLO.

Tiap dua tahun sekali konferensi ini mengumpulkan para pakar dalam bidang pelestarian kota bersejarah serta pemafaatannya untuk priwisata dan peningkatan perekonomian kota. Termasuk yang dikumpulkan adalah walikota, politisi, dan birokrat.

Ketika konferensi diadakan di Lijian, Cina, pada 2006. Jokowi melobi sidang agar Solo diterima menjadi tuan rumah pada konferensi 2008. ketika itu jokowi harus bersaing dengan Austria, Korea Selatan, Pakistan, dan Rusia. Jokowi merasa terdesak dalam bidding di Lijian karena pesaing-pesaingnya didukung dana besar.

Entah bagaimana ceritanya muncul ide di kepala pak Walikota satu ini untuk menembak soal biaya. Inilah senjata pamungkas. "Saat konferensi lanjutan di Pattaya, Thailand, saya hanya bisa bilang semua akan saya gratiskan mulai penginapan dan makanan," tutur jokowi.

Ajaib, senjata pamungkas itu bekerja dengan baik. Sidang sepakat menjadikan Solo tempat konferensi 2008. Apa kata Jokowi? "Sebenarnya menggratiskan hotel dan makanan itu murah. Pemkot hanya habis Rp 400 juta. Kalau konferensi di negara maju mematoknya dengan dolar sehingga mahal."

Jokowi tak mau melepaskan kesempatan emas ini. WHCCE diadakan 25-30 Oktober 2008 di Solo. Selain kongres Jokowi berusaha merapatkan beberapa event internasional ke jadwal WHCCE 2008, misalnya Solo International Ethnic Music, Solo Batik Sale, Borobudur Travel Mart, dan International Keroncong Fest. Ibaratnya sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui.

Ini memang strategi seorang pengusaha, bukan semangat formalistis birokrat. Sebab nantinya ada 33 walikota anggota OWHC (Organization of World Heritage Cities), 37 walikota anggota UCLG (United Cities and Local Goverment) Asia Pasifik, 100 orang UCLG Euro-Asia, 93 anggota Apeksi (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia), 80 perwakilan LSM, serta 30 perwakilan perguruan tinggi dan profesional. Total delegasi resmi dan pedamping 1050 orang. Padahal menurut pengalaman selain delegasi resmi terdapat pengikut tak resmi. Hitung-hitung WHCCE akan dihadiri oeh sekitar 2500 orang. Mereka inilah yang akan menjadi agen promosi untuk Solo, hampir-hampir gratis.

Dampak lain yang sangat dirasakan adalah maraknya kegiatan ekonomi. Semua kamar hotel di Solo penuh. Semua taksi hilir mudik membawa penumpang dengan frekwensi tinggi. Becak-becak menjadi semarak karena para tamu tentu ingin merasakan moda transportasi tradisional yang khas. Gladag Langen Bogan, wisata kuliner yang baru saja diresmikan Walikota, tentu semarak dengan aneka makanan khas Solo. dan tentu saja pakaian khas berupa batik akan ikut menikmati promosi gratis yang dibawa oleh para tamu.

Inilah mindset seorang pemimpin yang berlatar belakang pengusaha. Pengusaha yang berangkat dari bawah. Pak Jokowi akan membuat sejarah. Jadi tunggu apa lagi, Let's Go to Solo, the Spirit of Java.


foto: rooneyruni. sumber: Majalah Venue

5 komentar:

  1. beberapa kali membaca ulasan artikel anda mengenai pak jokowi, sungguh menyejukan hati,...utamanya mengenai kepemimpinan pak jokowi berdasarkan jiwa kewirausahaannya,...dalam menumbuh kembangkan kota yang dipimpinnya,... apalagi kalo saya bisa merasakan langsung kepemimpinannya,...saya rindu indonesia yang membanggakan

    saya yakin kekaguman saya terhadap pak jokowi itu, bukan hanya karena pak abduh jagoan dalam mengolah kata,...tapi emang kenyataannya demikian,...salam sukses

    BalasHapus
  2. wah saya bukan jagoan ngolah kata kok pak. Saya cuma nggabung-nggabungin kalimat2 yang sudah ada... :)

    BalasHapus
  3. Ass Wr Wb

    Halo pak Abduh, senang sekali baca artikel (lebih tepat berita ringan ya?) ttg kiat walikota Solo pak Jokowi. Membaca berita-2 ttg kreatifitas dan prestasi seseorang maupun kemajuan suatu daerah sangat bermafaat sbg asupan "energi positif" bagi kita, yg bermanfaat menginspirasi kita dalam menghadapi suatu situasi yg akan kita hadapi, baik situasi itu mirip atau tidak, karena otak kita akan mampu mensintesa solusi berdasarkan asupan "energi positif" sebelumnya.

    Sayangnya, media-2 di Indonesia jarang sekali membuat exposure berita-2 yg positif prestatif spt ini.

    Keep sharing pak Abduh...

    Wassalam

    BalasHapus
  4. Jangan berhenti untuk terus berkarya, semoga

    kesuksesan senantiasa menyertai kita semua.
    keep update!model mobil

    BalasHapus