Senin, 19 Januari 2009

Latar Belakang


Masih ingat dengan sinetron tempo doeloe yang berjudul 'Losmen'?
Sinetron itu ditayangkan di TVRI tahun 80-an. 'Losmen' adalah sinetron yang kualitasnya diakui sampai sekarang. Bisa dikatakan tayangan itu cukup melegenda sampai sekarang. Para bintangnya pun juga tidak hilang ditelan zaman. Sebut saja Mathias Muchus, Eeng Saptahadi, Dewi Yull, Ade Irawan, Ida Leman, Mang Udel yang mahir main ukelele.

Kwalitas peran mereka tidak diragukan lagi. Mereka bermain dengan sangat bagus. Meski alur ceritanya sedikit muter-muter tapi kita cukup puas melihat aksi para pemainnya karena mereka memang berlatar belakang seni peran. Jangan dibandingkan dengan kebanyakan sinetron sekarang. Ibarat membandingkan mobil mewah terbaru dengan bajaj.

Yang cukup menarik di sini adalah mang Udel. Pria pensiunan ini benar-benar mengidap post power syndrome. Sebelum pensiun mang Udel adalah seorang pejabat di sebuah instansi ternama. Kalau berangkat ke kantor tas selalu dibawakan sopir, pintu mobil dibukakan. Begitu pula kalau turun dari mobil, pintu juga dibukakan dan tas dibawakan sampai di meja kerja. Semua karyawan menghormati dan memujanya. Semua orang tampak ramah di hadapannya.

Tapi begitu usia pensiun menghampiri, dia tidak mampu mengelak. Usia tidak bisa ditahan dengan kekuatan apapun. Semua kenikmatan yang selama ini diperoleh satu persatu diminta kembali dan harus dikembalikan kepada lembaga yang selama ini dipimpinnya. Sopir pribadi yang selama ini setia menemani kini beralih menemani pejabat baru yang menggantikannya. Wajah-wajah ramah karyawan tidak lagi dijumpainya. Tas yang selama ini hanya mengenal tangan sang sopir kini jadi akrab dengan tangannya. Semua pujian tidak pernah lagi terdengar. Mobil yang begitu nikmat kini sudah dipakai oleh pejabat pengganti. Hidupnya kini sepi.

Perubahan yang cukup drastis ini ternyata tidak siap untuk dihadapi. Mang Udel tidak kuasa menghadapi realitas. Dia mencoba tetap dengan kehidupan "pejabat"nya. Tiap pagi dia pergi dengan busana kerja yang sama dengan yang dipakai ketika masih jadi pimpinan. Kebiasaannya yang suka memerintah orang tidak bisa hilang dari perilakunya. Tapi kini tidak ada orang yang mau diperintah. Jadinya dia makin stres dan tertekan. Makin lama hidupnya makin terpuruk.

Sindrom 'mang Udel' ternyata dengan mudah kita jumpai di sekitar kita. Beberapa tetangga saya ternyata mempunyai kebiasaan mirip mang Udel. Pak Sastro (bukan nama sebenarnya) dulu adalah manajer lapangan perusahaan kontraktor. Anak buahnya banyak. Banyak perusahaan rekanan yang sangat ramah kepadanya. Kata-katanya cukup bertuah. Satu set kendaraan disediakan untuknya.

Tetapi ketika perusahaannya ambruk oleh krismon 1998 dia harus menerima kenyataan dipensiun dini. Tiba-tiba dia harus di rumah ketika pagi hari, tanpa mobil tanpa sopir. Mobil yang selama ini disediakan untuknya harus dikembalikan. Tidak ada yang bisa dia lakukan. Keadaan ini membuatnya sangat malu. Dan dia pun memutuskan mengurung diri di rumah bertahun-tahun supaya masih ada kesan tetap ngantor. Emosinya berubah cukup drastis. Rumah tangganya pun sangat terpengaruh.

Ada lagi pak Silo (bukan nama sebenarnya). Sebelum krismon dia adalah "penghubung" antara ekportir dengan pejabat pelabuhan. Sepak terjangnya yang licin dalam mengurus dokumen membuatnya sering dipakai oleh perusahaan yang enggak mau repot urusan. Dan ketika dia harus keluar kerja lantara kantornya tutup, kebiasaannya ternyata sangat mewarnai di kehidupan bertetangga. Gayanya yang bak preman memang sering cepat "menyelesaikan" urusan meski ditempuh dengan jalan "terobosan".

Bu Siska (bukan nama sebenarnya) juga sama. Dulu dia memegang jabatan cukup tinggi di kantornya sehingga sering memerintah orang lain. Ketika masuk kehidupan realitas kebiasannya sulit hilang. Beberapa tetangga sering mengeluh karena diperintah seperti anak buahnya saja. Bu Siska hanya mau bergaul dengan tetangga "sekelas" dan menyepelekan yang lain.

Sedangkan bu Susi (juga bukan nama sebenarnya), meski sampai sekarang masih ngantor tapi dia terbawa oleh posisi suaminya. "Ruh" Dharma Wanita (kalau suaminya jadi pejabat otomatis dia juga jadi pimpinan) sangat mengendap di benaknya. Tidak boleh ada orang yang menolak titahnya. Semua orang yang disuruh harus bersedia menuruti. Akibatnya sering terjadi benturan dengan tetangga.

Masih ada beberapa tetangga saya yang cukup menarik diamati. Benang merah yang bisa ditarik adalah apakah kita masih memberlakukan mindset lama ketika kita sudah pindah "kuadran"? Ketika kita sudah memutuskan untuk melayani orang lain (jadi pengusaha) apakah kebiasaan minta dilayani masih melekat pada diri kita?

Ada beberapa member TDA lho yang sebenarnya masih pakai mindset lama di "kehidupan" yang baru.


foto: lemondederemi

3 komentar:

  1. Doakan saya Pak supaya tidak spt cerita diatas....kkkkkk. Salam Batik mania

    BalasHapus
  2. Berarti harus CANEI ya pak, Continous and Never Ending Improvement...

    Taufan
    www.plazamuslim.com

    BalasHapus
  3. memang yang penting mindset yaa pak..

    BalasHapus