oleh: Yuswohady
Salah satu manfaat sosial terpenting dari sharing economy adalah penciptaan wirausahawan individu
(“individual entrepreneurs” atau sering juga disebut
“micro-entrepreneurs”) melalui sebuah platform kolaborasi untuk mengubah
aset menganggur (idle assets) menjadi layanan bernilai tinggi. Dalam
kasus Gojek, wirausahawan individu itu adalah para pengojek yang
bergabung dengan Gojek. Dalam kasus AirBnB, mereka adalah para pemilik
rumah kosong atau kos-kosan yang memanfaatkan situs Airbnb.com.
Banyak dari mereka awalnya menganggur, namun berkat platform berbasis
aplikasi itu mereka kemudian bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan
layak. Mereka mejadi self-employeed tanpa harus ribet mengurus ijin PT
atau menyewa kios di Tanah Abang yang harganya selangit. Cukup menjadi
anggota Gojek atau mendaftar di situs Airbnb.com, mereka bisa langsung
“buka lapak” menawarkan jasanya melalui aplikasi.
Karena itu tak bisa dipungkiri, di tengah membludaknya pengangguran di negeri ini, plaform sharing economy menjadi “dewa penyelamat” bagi rakyat kebanyakan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
Perusahaan Rakyat
Saya menyebut perusahaan berbasis platform sharing economy sebagai “perusahaan rakyat”
(people’s company). Kenapa? Karena perusahaan seperti Gojek, Uber, atau
AirBnB mempekerjakan “rakyat kebanyakan” dengan pola kemitraan bagi
hasil yang saling menguntungkan dengan pemilik platform. Pemilik
platform memberikan tools yang memudahkan wirausahawan individu (pemilik
motor, mobil, atau rumah kosong) menemukan konsumen, dan ketika terjadi
transaksi, hasilnya dibagi berdua secara adil.
Dengan kemitraan semacam itu, potensi kewirausahaan rakyat mendadak
menggeliat dan berpotensi menghasilkan kemakmuran yang lebih merata. Di
dalam platform berbagi ini terjadi hubungan kemitraan bapak-anak angkat
antara usaha besar (pemilik platform) dengan usaha kecil (wirausahawan
individu). Menggunakan istilah pak David Marsudi pendiri D’Cost, pemilik
platform di sini memainkan peran strategis sebagai “distributor rejeki”.
Ketika Gojek atau Grab maju, maka dengan sendirinya para wirausahawan
individu yang dinaunginya akan ikutan maju dan makmur. Pertumbuhan
dengan sendirinya diikuti dengan pemerataan kemakmuran.
Dengan model bisnis semacam ini, maka platform sharing economy
berpotensi menjadi model ekonomi alternatif yang lebih manusiawi dan
beradab dibanding sistem kapitalisme yang selama ini kita adopsi. Kita
tahu bersama bahwa sistem kapitalisme telah gagal total karena telah
menghasilkan kerusakan akhlak (materialisme, egoisme, ketamakan),
ekonomi (krisis 1929, 1998, 2008), sosial (ketimpangan kaya-miskin) dan
lingkungan (pemanasan global). Sistem kapitalisme harus dirusak secara
kreatif (creative destruction) untuk menghasilkan sistem yang lebih
baik.
Public Good
Pertanyaannya, dengan sistem yang selama ini ada, apakah mekanisme
solutif seperti yang saya gambarkan di atas bisa berlangsung? Saya ragu
sejauh Gojek, Grab, atau AirBnB masih dimiliki oleh kaum kapitalis.
Ketika platform sharing economy masih dimiliki dan dioperasikan oleh
organisasi kapitalis, maka platform tersebut akan diposisikan sebagai mesin keuntungan (profit machine), bukan sebagai alat distributor rezeki (wealth distribution).
Dengan posisi semacam itu maka keuntungan ekonomi dari ekosistem ini
akan disedot oleh pemilik modal (investor) bukan untuk kemanfaatan
rakyat banyak (wirausahawan individu dan konsumen pemakai layanan). Kita
ketahui bersama, kehadiran Gojek, Uber, Grab, AirBnB di tanah air tak
ada urusan dengan penciptaan lapangan kerja atau pemerataan kemakmuran.
Perusahaan-perusahaan itu hadir di sini untuk memanfaatkan pasar
Indonesia yang lukratif dengan memanfaatkan tukang-tukang ojek kita,
pemilik-pemilik mobil nganggur, pemilik-pemilik rumah kosong, dan tentu
jutaan konsumen kita. Tujuannya sangat jelas untuk mendapatkan massa
konsumen sebanyak mungkin dan ujung-ujungnya menghasilkan valuasi saham
setinggi langit di bursa dunia.
Di tingkat dunia kini masih muncul perdebatan apakah platform sharing economy ini dimasukkan dalam kategori public good.
Public good seperti jalan, jembatan, internet, World Wide Web, GPS
(juga mungkin nantinya Google) seharusnya dikelola atau setidaknya
diatur penggunaannya oleh negara agar tidak dimanfaatkan oleh free rider
pencari keuntungan. Dengan menjadi domain publik maka bisa dipastikan
operasi platform sharing economy seperti Gojek atau Grab akan
diakomodasikan untuk kepentingan rakyat kebanyakan, bukan untuk
segelintir pemilik modal.
Koperasi
Melihat potensi platform sharing economy sebagai alat strategis untuk mendistribusi kemakmuran,
kita teringat pesan Bung Hatta mengenai koperasi sebagai soko guru
perekonomian Indonesia. Seharusnya model bisnis sharing economy bisa
menjadi eksperimen mutakhir untuk mewujudkan cita-cita bung Hatta.
Platform sharing economy seharusnya bisa menjadi miniatur dari ekonomi
kerakyatan seperti divisikan Bung Hatta.
Untuk mewujudkannya platform sharing economy harus dimiliki dan
dioperasikan oleh para wirausahwan individu (tukang ojek, pemilik mobil,
pemilik rumah) dalam sebuah wadah koperasi. Dengan format koperasi maka
platform ini betul-betul dikelola oleh dan untuk wirausahawan individu
yang tergabung di dalamnya, di samping tentu untuk memberi pelayanan
terbaik kepada masyarakat sebagai konsumen. Di sini negara harus hadir
untuk bernegosiasi dengan perusahaan global pemilik platform untuk
secara bertahap mengakuisisi kepemilikan dan kemudian dalam jangka
panjang mengalihkannya ke koperasi.
Menyusul demo pekan ini, pemerintah kini sedang sibuk menyusun payung
regulasi untuk mengatur keberadaan platform sharing economy di sektor
transportasi. Saya berharap pemerintah dan DPR tak hanya melihat
regulasi tersebut sebatas aspirin yang meredam sesaat
teriakan masyarakat. Pemerintah harus mengkaji arus besar sharing
economy ini secara menyeluruh dan menjadikannya momentum untuk
menghidupkan kembali spirit kerakyatan Bung Hatta dengan mencangkokkan
sistem koperasi ke dalamnya.
Sebagai sebuah bangsa, kita sudah bosan dijajah pihak asing. Ratusan
tahun kita dijajah Belanda untuk diambil rempah-rempah dan hasil
buminya. Tak lama merdeka, di bawah kepemimpinan Suharto kita kemudian
“dijajah” perusahaan multinasional yang perlahan tapi pasti menguasai
beragam sektor industri (dari bank, telekomunikasi, pertambangan,
otomotif, hingga konsumer). Ketika internet hadir, gelombang kapitalis
global pun berebut masuk ke Indonesia untuk memodali start-up yang kelak
bakal mendominasi jagat e-commerce Indonesia. Kita tak mau gelombang
besar sharing economy sekarang ini (sekali lagi) menjadi ajang perburuan
kapitalis global untuk mengekploitasi negeri ini. Kita tak mau negeri
ini kian tergerus kemandirian ekonominya. Negara harus hadir melawannya.
sumber:
yuswohady dotcom
PRODUK KAMI :
BalasHapusJual Batik Pekalongan
Gamis Batik
Batik Pekalongan
Batik Online
Grosir Batik
Toko Batik