Rabu, 23 Januari 2008

TDA: Relasi, Akselerasi, dan 'Sepatu'


Minggu lalu ketika saya mengunjungi bibi di Tebet terjadi obrolan yang cukup menarik. Kebetulan saat itu anak bibi ikut menemani kami. Saya datang ke Tebet karena sudah lama sekali tidak mengunjungi beliau di sana. Silaturahmi memang membawa berkah. Silaturahmi membawa ilmu, dan silaturahmi membuka pengetahuan.

Ketika tiba pertanyaan bibi kepada saya, "Sekarang bisnisnya apa?"

Satu pertanyaan itu ternyata membawa kami kepada sebuah obrolan yang panjang, menarik, tidak membosankan, dan membuat kami hampir lupa dengan waktu. Tema yang dominan pada Sabtu siang itu adalah tentang jejaring, akselerasi bisnis, dan pilihan usaha.

Jawaban-jawaban yang saya berikan ternyata membuat bibi dan anaknya kagum. Kekaguman mereka justru membuat saya bingung. Saya bingung karena menurut saya jawaban yang saya berikan adalah standar-standar saja. Ternyata bagi mereka hal itu merupakan pengetahuan baru yang luar biasa.

"Saya bingung banget, pingin buka usaha tapi apa ya? Mau buka makanan tapi dari mana mulainya. Mau jualan baju belanjanya di mana... dsb," adalah sebagian pertanyaan yang keluar waktu di rumah bibi.

"Kalau ingin buka usaha bakso, saya punya kenalan yang bersedia membantu dari awal hingga ready to go. Anda hanya menyediakan tempat saja. Selanjutnya teman saya yang mengurus semuanya. Jadi tidak perlu tiap pagi subuh harus bersusah payah ke pasar belanja sendiri keperluan bakso," jawab saya.

"Kalau ingin buka toko busana, saya ada kenalan yang bisa menunjukkan di mana harus belanja. Atau kalau ingin lebih mudah, anda bilang saja ke teman saya ingin jualan baju model apa. Nanti sahabat saya bisa menyediakan dengan harga pabrik," kata saya kepada anak bibi.

"Kalau ingin buka warnet, bisnis komputer, grosir voucher, bahkan bisnis peralatan outdoor pun saya juga ada kenalan yang bisa membantu semuanya."

Jawaban-jawaban standar itu ternyata membuat dia antusias dan kagum. "Ternyata bisnis itu tidak sesulit yang saya bayangkan ya," komentar anak bibi.

"Bisnis tidak sulit kalau kita tahu jalurnya," jawab saya.

'Jalurnya'. Satu kata inilah sebetulnya salah satu kunci keberhasilan sebuah bisnis, di samping tentu saja ide. Berapa banyak orang yang punya banyak dana tapi tidak berani buka usaha karena tidak punya dua kunci itu: Ide dan jalur. Sebaliknya hampir semua pengusaha sukses ketika memulai usahanya modalnya 'hanya' ide dan jalur.

Nah TDA adalah sebuah fenomena ide dan jalur plus. Plus ini adalah action.

Adalah realitas bahwa member TDA bukanlah orang yang sangat awam dalam berbisnis. Saya sangat yakin hampir semua anggota TDA sudah punya pengetahuan tentang usaha. Tidak sedikit member TDA adalah alumni 'sekolah' bisnis. Tidak sedikit member TDA sudah mulai mencoba bisnis. Tidak sedikit member TDA sudah mempunyai bisnis yang mampu menopang kebutuhan hidupnya.

Apa yang menarik dari TDA sehingga mereka semua antusias menjadi anggota komunitas ini?

Take Double Action adalah positioning yang sangat pas dari komunitas ini. Sejak awal anggota yang masuk komunitas TDA selalu ditekankan untuk action dan action. Bertindak. Bahkan forum komunikasi yang sejatinya berbentuk milis di-positioning-kan bukan milis, melainkan hanya alat komunikasi. Meski seseorang berhasil jadi member milis tapi belum 'diakui' keberadaannya sebagai anggota TDA kalau belum bertindak, belum action.

TDA sendiri juga tidak sembarangan mendorong orang membuka usaha secara bonek alias nekad tanpa membekali dengan pengetahuan dan jalur yang bisa dilalui.

Banyaknya kegiatan off air seperti seminar, bedah buku, nonton bareng, dan sebagainya adalah contoh usaha yang dilakukan untuk mempertemukan dan menjalin relasi antar anggota. Begitu juga terjalinnya relasi antara TDA dengan pelatih bisnis ActionCOACH adalah upaya lain yang diperlukan untuk memberi bekal anggota komunitas ini supaya 'mudah' menemukan ide dan jalur yang paling cocok untuk mereka.

Dengan berjalannya waktu, ide dan jalur membentuk kristalisasi yang mampu menarik para member-nya untuk menentukan pilihan. Terbentuknya TDA Management, TDA IT, TDA Garmen, TDA Finance, TDA Mastermind wilayah, dan sub-sub komunitas yang lain adalah 'jalur-jalur' yang terbentuk secara otomatis tanpa rekaan, tanpa paksaan, tanpa sandiwara. 'Jalur-jalur' itu terbentuk secara alamiah, otomatis, mengalir. Anggota yang mempunyai minat yang sama akan berkumpul di sub komunitas yang sama.

Dan 'takdir' TDA pun sebenarnya sudah bisa dibaca sejak hari ini.

TDA adalah ibarat bola salju. Makin hari jalannya makin ngebut dan makin besar. Anggota yang masuk belakangan secara teori mempunyai peluang berhasil dalam bisnis lebih cepat. Mereka bisa mendapatkan akselerasi lebih optimal. Member baru, atau member lama tapi baru aktif sekarang, bisa dengan mudah menemukan sub komunitas yang sesuai dengan minat bisnisnya.

Dengan aktif di sub komunitas mereka banyak mendapat 'pencerahan' untuk berani bertindak. Mereka tidak sulit menemukan ide dan jalur. Ide dan jalur adalah modal utama dalam usaha. Dan kemungkinan gagal pun bisa diminimalisir.

Bukan berarti TDA tanpa kekurangan. Ada satu program yang menurut saya masih luput dari perhatian komunitas ini. Program menemukan jati diri (seperti 8 model-nya Roger Hamilton) belum pernah diadakan oleh TDA. Selama ini anggota TDA mencari sendiri seminar 'jati diri' yang biayanya relatif masih belum terjangkau oleh banyak member. Padahal salah satu kelebihan TDA yang tidak dimiliki oleh komunitas lain adalah berhasil mengadakan seminar 'mahal' dengan biaya yang sangat terjangkau.

Menemukan jati diri adalah salah satu hal yang juga sangat penting. Kalau kita tahu jati diri kita, maka dengan sangat cepat bisa menentukan usaha apa yang paling pas. Kita tidak perlu 'silau' dengan keberhasilan member yang sukses di properti, atau di pertambangan, atau di event organizer, atau di IT, dan sebagainya. Orang akan berhasil kalau pilihan jalurnya pas dengan jati dirinya.

Sebagai intermezo, ada cerita menarik. Sewaktu saya masih ngantor di sebuah gedung di Jakarta Selatan, saya dan teman-teman hampir tiap hari melihat seorang wanita yang menurut kami ada yang kurang pas.

Sebenarnya busana karyawati ini selalu serasi dan fashionable. Tetapi ada satu kekurangan yang membuat kurang enak dipandang. Karena kantor kami bersebelahan dan hampir tiap hari melihatnya, akhirnya kami 'berhasil' menemukan kekurangan penampilannya.

"Hak sepatunya terlalu tinggi dibanding tinggi badannya. Jadi kurang proporsional," komentar sahabat saya. "Coba lihat kalau sepatu setinggi itu dipakai oleh perempuan dengan tinggi 170-an cm, pasti serasi," tambahnya.

Ternyata sahabat saya benar. Perempuan jangkung memang serasi dengan hak yang jangkung pula. Jadi 'sepatu' yang pas dipakai orang lain memang belum tentu cocok buat diri kita. Jadi kuncinya adalah jati diri, ide, dan jalur.

1 komentar: