Sabtu, 22 November 2008

Sawang Sinawang

Sekali lagi saya kesulitan menerjemahkan kosa kata bahasa Jawa ini ke dalam Bahasa Indonesia. Secara sederhana kosa kata ini mengandung arti orang biasanya hanya melihat kekurangan diri sendiri dan melihat orang lain lebih nyaman, lebih sukses, dan lebih baik dibanding dirinya. Padahal, ternyata, orang lain juga merasakan seperti itu.

Minggu lalu saya 'bertemu' dengan sahabat lama. Kami sudah tidak bertemu lebih 15 tahun. Kami sibuk dengan perjalanan hidup masing-masing. Bertemu pun juga bukan bertemu secara riil tapi kami bertemu karena 'dijembatani' oleh sebuah portal komunitas global.

Melihat profilnya di portal itu rasanya sahabat saya ini sudah mencapai semua yang diimpikan seorang profesional. Dia bekerja di sebuah perusahaan konsultan ternama. Jabatannya cukup tinggi. Wewenangnya besar. Tidak hanya itu, saat ini dia juga menjadi wakil rakyat di sebuah kabupaten di Jawa Barat. Sempurna, pikir saya.

"Apa kabar mas Abduh. Masih ingat saya kan?" Dia membuka dialog di portal itu.

"Masih ingat banget, apalagi sampeyan pakai batik, mana bisa saya lupa?" jawab saya sekenanya.

"Ah bisa saja. Sampeyan bisnis batik ya?"

Agak kaget saya dengan pertanyaannya. Dari mana dia tahu saya bisnis batik. Ternyata dengan melihat foto saya di portal itu, dia langsung bisa menyimpulkan usaha saya.

"Betul, mas," jawab saya

"Saya iri lho dengan temen-teman yang sudah punya bisnis sendiri."

"Iri gimana? Sampeyan kan sukses di tempat kerja. Apalagi juga jadi wakil rakyat," saya keheranan dengan pernyataannya.

"Betul, saya iri mas. Dari dulu saya cuma jadi orang gajian. Tidak mandiri. Sementara banyak teman-teman yang sudah berhasil di bisnis. Gimana sih caranya bisnis? Ajari dong?"

Saya betul-betul heran. Orang 'sesukses' ini ternyata menyimpan kegelisahan yang cukup dalam. Dan saya juga bingung bagaimana menjawab pertanyaannya tentang cara mulai bisnis. Agak lama saya terdiam, tidak menjawab pertanyaannya. Sampai kemudian dia menulis lagi pertanyaan (mungkin karena lama tidak saya jawab).

"Modal saya kan tidak besar. Bagaimana saya bisa mulai bisnis?"

Pertanyaan terakhir inilah yang kemudian saya jadikan 'bola panas' untuk menjawab pertanyaannya.

"Di mata saya, modal sampeyan sangat besar. Coba dihitung, berapa banyak relasi sampeyan di tempat kerja, berapa banyak klien anda. Dan modal ini bertambah sangat besar ketika sampeyan juga jadi wakil rakyat...," jawab saya

"Maksudnya?" Sahabat saya keheranan. "Emang kenapa dengan relasi saya? Apa hubungannya relasi dengan modal?"

"Anda menyukai bidang apa?" tanya saya.

"Konsultan."

"Kalau gitu mulai sekarang bikin kartu nama. Bikin nama perusahaan konsultan sendiri. Jadikan namamu sebagai managing director. Mulai saat ini tiap ketemu relasi, sahabat, teman, dll, beri mereka kartu nama yang baru, kartu nama perusahaan sendiri. Kan keren, udah jadi wakil rakyat, punya perusahaan konsultan pula."

"Tapi saya kan belum sewa kantor, belum ada karyawan, belum ada...."

"Jangan berfikir rumit begitu. Orang yang anda beri kartu nama kan tidak tahu apakah sampeyan sudah punya kantor atau belum. Mereka kan juga nggak mungkin tanya berapa karyawan anda. Yang mereka lihat adalah sampeyan punya perusahaan konsultan dan anda jadi managing director, meski merangkap sebagai office boy juga," jawab saya sambil tertawa.

"Berarti saya harus iklan ya?"

"Betul, minimal iklan kepada relasi sampeyan yang sangat banyak dan potensial itu."

"Wah, ternyata simpel juga ya."

"Semuanya tergantung kita. Bisa simpel bisa juga ruwet," jawab saya. "Itu bisnis yang keren (konsultan). yang sederhana juga ada," tambah saya.

"Yang sederhana apa?"

"Sampeyan jualin produk saya, bisa busana, furnitur batik, atau barang-barang antik. Modalnya cuma ngomong, kalau laku dapat profit cukup besar."

"Wah, jadi semangat nih. Saya ingin main ke rumah sampeyan mas," kata sahabat saya.

"Boleh, rencana kapan? Karena saya beberapa hari ini harus ke luar kota," jawab saya.

Lama tidak ada jawaban. Ditunggu tetap saja tidak ada jawaban. Akhirnya saya harus log-out dari portal itu.

Malam hari dia kirim email, "Maaf mas tadi terputus karena listrik di kantor saya tiba-tiba mati."

Saya hanya tertawa membaca emailnya. "Saya maklum kok mas kalau listrik byar pet. Kalau byar terus malah aneh," jawab saya dalam hati... :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar