Silahkan klik fotonya kalau ingin membaca artikel tersebut.
Tulisan versi blognya ada di bawah ini:
---------------
Minggu lalu saya ketemu mas Iim Rusyamsi, Rosihan, dan mbak Inez dari komunitas Tangan Di Atas (TDA). Lama ngobrol dengan mereka banyak pelajaran yang saya dapat. Cerita mereka mengenai bagaimana TDA “beroperasi” membuat saya takjub. Takjub, karena model komunitas yang saya bayangkan selama ini, yaitu apa yang saya sebut “VALUE-CREATING COMMUNITY” berlangsung dalam format sederhana di komunitas yang baru berusia 3 tahun ini.
Sebelumnya saya membayangkan value-creating community ini hanya ada pada kasus-kasus hebat seperti komunitas Linux, komunitas Mozila Firefox, komunitas programer amatir Nokia, komunitas InnoCentive, komunitas Wikipedia, atau komunitas Facebook. Tapi rupanya cikal bakal komunitas pencipta nilai ini sudah ada di negeri ini. Saya pun berharap komunitas seperti TDA ini bisa menjadi model terbentuknya komunitas-komunitas sejenis secara massal di negeri ini.
Bermula Dari Blog
Sebagai background ada baiknya jika saya ceritakan sedikit sejarah berdirinya komunitas ini. Komunitas ini didirikan oleh Badroni Yuzirman yang berawal dari sebuah blog yang ditulisnya. Dari blog yang cenderung “memprovokasi” pembacanya untuk menjadi pengusaha itu kemudian tercetus ide melakukan kopi darat dalam bentuk talkshow dengan menghadirkan Haji Ali, salah satu tokoh sukses yang sering diceritakan di blog tersebut.
Dari talkshow itulah diperkenalkan “Tangan Di Atas” sebagai nama komunitas ini, yang kemudian diperluas tafsirnya menjadi pengusaha atau pedagang. Para peserta kemudian ditantang untuk langsung take action memulai bisnis dengan membuka kios di ITC Mangga Dua. Untuk memperlancar komunikasi, koordinasi dan diskusi mengenai problem bisnis mereka, maka dibuatlah mailing list. Mailing list itu kemudian dibuka untuk umum dengan anggota mencapai ratusan orang.
Dalam rumusan visi-misinya, komunitas ini memiliki tujuan mulia mencetak pengusaha kaya yang gemar memberi kepada sesamanya. Bahkan di dalam misinya secara jelas ditargetkan komunitas ini berambisi mencetak 10.000 pengusaha miliarder sampai dengan tahun 2018. Untuk mewujudkannya, mereka menggunakan medium komunitas. Kenapa? Karena mereka meyakini bahwa dengan berbagi, saling mendukung, memecahkan persoalan bersama, dan bersinergi satu sama lain, persoalan seberat apapun akan mudah terpecahkan.
Jumlah anggota komunitas ini sampai saat ini sudah sekitar 5000 orang tersebar di berbagai kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Malang, Member komunitas ini secara umum dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, TDA (Tangan Di atas), yaitu member yang sudah full berbisnis dan dalam upaya meningkatkan bisnisnya ke jenjang lebih tinggi. Kedua, TDB (Tangan Di bawah), yaitu member yang masih bekerja sebagai karyawan dan sedang berupaya untuk pindah kuadran menjadi TDA. Ketiga, Ampibi, yaitu member yang masih dalam tahap peralihan dari TDB ke TDA dengan melakukan bisnis secara sambilan.
Untuk memfasilitasi para member-nya komunitas ini telah menjalankan beragam kegiatan produktif yang begitu padat. Kegiatannya mulai dari seminar, workshop, pameran, diskusi online, webinar, business coach, buka kios bersama, leverage game, CSR, kelompok-kelompok diskusi Mastermind, dan sebagainya. Semua kegiatan itu dijalankan untuk memasilitasi dan mengantarkan member menjadi TDA yang sukses.
Value-Creating Community
Balik ke topik semula. TDA saya sebut value-creating community karena sekelompok orang yang punya minat, keinginan, dan visi yang sama bergabung, berkomunikasi, berinteraksi, berkolaborasi, berdiskusi, saling belajar, saling bertukar informasi, saling memberi ide, dan saling memberi solusi atas persoalan yang mereka hadapi. Berbeda dengan komunitas-komunitas yang ada sebelumnya, komunitas ini memanfaatkan web 2.0 tools dan social media seperti blog, milis, Facebook, Multiply, Yahoogroups, YM, dan lain-lain untuk memasilitasi aktivitasnya. Saya kira MASS COLLABORATION dalam format yang sederhana terjadi di dalm komunitas ini.
Mereka membentuk komunitas untuk mengambil manfaat dari apa yang oleh James Surowiecki disebut ”WISDOM OF CROWD”. Mereka meyakini prinsip dasar bahwa ”WE are smarter than ME”: bahwa sesuatu yang dikerjakan secara bersama-sama pasti hasilnya jauh lebih bagus, lebih sempurna, lebih hebat, lebih solid, lebih cepat, lebih efisien, lebih produktif. It’s the power of crowd. Mereka melakukan apa yang disebut kolaborasi secara kolektif di antara member untuk menciptakan nilai. Istilah kerennya: ”mass collaboration for value creation”.
Menariknya, proses komunikasi dan kolaborasi itu berlangsung secara horisontal dan natural. Horisontal, karena di dalam komunitas itu tak ada sebuah otoritas formal yang mengontrol kerja dari komunitas ini. Kalaupun di situ ada mas Iim dan timnya, itu lebih bersifat memfasilitasi, bukan mengatur apalagi menginstruksikan dan mengontrol kerja dari komunitas ini.
Di sini tak ada kooptasi dari Kementrian Koperasi dan UKM; tidak ada instruksi dari Kementrian Pemuda dan Olah Raga; tak ada dana INPRES. Mereka juga tidak menjual proposal ke World Bank atau IMF. Mereka bukanlah komunitas malas yang menunggu datangnya subsidi dan bantuan dari pemerintah atau lembaga donor. Semua kebutuhan dana dicukupi sendiri secara mandiri, kalau perlu pakai saweran. Itu pula sebabnya UKM-UKM binaan pemerintah atau LSM selalu loyo, tak pernah bisa sesolid mereka. Kenapa? Karena mindset dan landasan berpikir komunitas yang dibangun Pemerintah dan LSM 180 derajat berbeda dengan komunitas ini.
Karena mereka memiliki ”mimpi besar” yang sama untuk menjadi great entrepreneur, mereka mampu menyatukan langkah dan menyingkirkan semua persoalan yang menghadang untuk mewujudkan mimpi tersebut. Mereka membentuk apa yang saya sebut ”network of trust” yang memungkinkan komunitas ini bekerja secara seamless, ”self-managed ”, self-coordinated”, ”self-governed” berdasarkan pola kerja bersama yang mereka sepakati. Itu sebabnya mas Iim menyebut komunitas ini: ”trust-based community”.
Jujur, selama berbulan-bulan menulis CROWD: ”Marketing Becomes Horizontal” saya mendambakan adanya sebuah komunitas penciptaan nilai yang mampu memberikan kontribusi besar bagi negeri ini. Sebuah komunitas yang mampu memberdayakan setiap potensi individu dan mengambil manfaat dari kekuatan collective wisdoms. Selama menulis buku waktu itu memang yang ada di benak saya adalah komunitas Linux, komunitas Mozila Firefox, komunitas YouTube, komunitas InnoCentive. Tapi rupanya, dalam format yang sederhana tapi down to earth, value-creating community itu sudah hadir di negeri ini.
Dua minggu lalu saya surprise, karena value-creating community yang memanfaatkan social media ini juga telah hadir dalam format yang sederhana di dunia sastra. Dalam artikelnya, Sastra Pun Berdiaspora, (Minggu, 11 Januari 2009), Kompas menengarai munculnya fenomena ”era booming sastrawan”. Kata Kompas, saat ini sedang terjadi boom munculnya sastrawan-sastrawan baru dalam jumlah yang besar, yang lahir tak hanya dari kalangan sastrawan tapi juga dari kalangan mahasiswa, anak-anak SMA, remaja-remaja gaul, buruh pabrik, ibu rumah tangga, anak jalanan, hingga pembantu rumah tangga.
Bagaimana boom sastrawan ini bisa terjadi? Biangnya adalah media sosial yang memungkinkan siapaun kita bisa membicarakan, berdiskusi, membaca, dan menulis puisi. Media sosial itu bisa berupa komunitas-komunitas penggandrung sastra (contohnya di tulisan itu: Komunitas Bunga Matahari, Komunitas Lingkar Pena, dsb) juga media-media sosial seperti situs-situs Blogspot, Multiply, Worpress, Friendster, atau Facebook.
Para penggiat sastra itu membentuk “crowd” atau komunitas yang menjadi medium bagi mereka untuk belajar, bertukar pikiran, berdiskusi, dan akhirnya menghasilkan karya. Proses penciptaan karya sastra kini sudah tidak dilakukan secara sendiri-sendiri (merenung di pucuk gunung atau di pinggir pantai yang sepi) tapi melalui social media seperti komunitas online atau situs jejaring sosial seperti Facebook untuk mengambil manfaat dari adanya “wisdom of crowd” seperti halnya yang terjadi pada komunitas TDA.
“Sejuta Bill Gates”
Ngobrol panjang dengan mas Iim, mas Rosihan, dan mbak Ines tentang TDA mengingatkan saya tentang buku powerful yang ditulis Thomas Friedman, The World Is Flat. Dalam buku itu Friedman memprediksi munculnya ”jaman keemasan” di mana akan lahir 3 miliar individu dari India, Cina, Rusia dan beberapa negara industri baru seperti Brasil, Malaysia, hingga Vietnam yang saling berkolaborasi sekaligus berkompetisi secara virtual-global untuk menghasilkan inovasi-inovasi dan value creation dalam kuantitas dan kualitas yang tak terbayangkan dalam sejarah umat manusia.
Tiga miliar individu itu akan merupakan spesialis-spesialis yang saling berinteraksi, saling sharing knowledge, saling berkolaborasi kerja satu sama lain untuk menghasilkan invasi-inovasi besar sekelas Linux atau membentuk perusahaan hebat sekelas eBay atau Google. Ketika 3 miliar individu itu memiliki akses kepada perangkat-perangkat kolaborasi (tools of collaboration) berbasis internet maka mereka akan menjadi spesialis yang siap untuk ”plug & play” di dalam jaringan kerja virtual-global yang sangat efisien, seamless, self-governed, dan sangat powerful.
Di dalam jaringan ini, betul-betul yang menjadi main driver-nya adalah individu—nggak ada lagi negara, nggak ada lagi IMF atau WTO, nggak ada lagi multinational corporation. Karena itu Friedman menyebut saat itu sebagai era pemberdayaan individu: ”Individual empowerment”.
Karena energi dan potensi individu terlepaskan (”unleash”) dengan adanya mass collaboration, maka dunia nantinya akan mampu memproduksi orang hebat macam Bill Gates atau Steve Jobs bukan hanya dalam jumlah puluhan atau ratusan, tapi bisa mencapai miliaran. Friedman bahkan sudah menyebutkan angka pastinya: 3 miliar. Miliaran individu hebat akan menghasilkan jutaan inovasi hebat, jutaan teknologi hebat, jutaan perusahaan hebat, jutaan organisasi hebat, alangkah indahnya.
Terus terang saat membaca hipotesis itu, saya berguman Friedman sedang ngelantur. Namun begitu seminggu lalu saya mendengar cerita mas Iim, mas Rosihan, dan mbak Inez, saya jadi takjub: ”Rupanya apa yang divisikan Friedman bukanlah omong kosong.”
Seperti Friedman saya bermimpi (”I have a dream …” kata Martin Luther King), kehadiran TDA dan ”TDA-TDA lain” yang bakal menyusul akan mampu melahirkan sejuta entrepreneur hebat sekelas Bill Gates di Indonesia. Saya tidak muluk-muluk seperti Friedman. Tak usah ”3 miliar”, didiskon cuma jadi ”sejuta” saja sudah alhamdulillah. Jadi dengan mass collaboration, kini kita sedang menyongsong sebuah era keemasan di mana akan lahir sejuta Bill Gates di negeri ini. Saya menyebut era itu ”ERA SEJUTA BILL GATES”
…Mari kita songsong: ”ERA SEJUTA BILL GATES”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar