Sabtu, 28 Agustus 2010

Terima Kasih, Dokter Ida


"Bu, untuk jasa dokter saya bebaskan...," Demikian kurang lebih ucapan seorang dokter muda spesialis anak kepada pasien dan pengantarnya. Antara kaget dan tidak percaya pasien dan pengantarnya hanya bisa mengucapkan, "Terima kasih, dokter..."

Itulah cerita yang masuk ke telinga saya pada Jum'at pagi kemarin (27-8-2010).

Kalimat yang keluar dari seorang dokter itu ternyata merupakan muara dari sebuah rangkaian riwayat yang cukup panjang sebelumnya.

Ceritanya, di kompleks perumahan kami ada seorang anak yang dicurigai menderita penyakit yang berhubungan dengan paru-paru. Ibu si anak tidak kunjung memeriksakan anaknya ke dokter, sampai kemudian kader Posyandu di kompleks kami mencurigai kesehatan anak ini. Belakangan kami tahu bahwa alasan ekonomi lah yang membuat sang ibu terus menunda memeriksakan anaknya.

Oleh bidan di posyandu anak ini diminta untuk diperiksakan ke dokter. Kader posyandu diminta untuk terus memantau perkembangan anak ini. Kami cukup beruntung mempunyai kader posyandu yang sangat peduli dan terus memantau. Bahkan dari kader ini terkumpul sedikit dana urunan untuk berobat. Ternyata (menurut perhitungan) dana ini belum cukup.

Sekian hari anak tersebut tidak kunjung diperiksakan ke dokter. Sang kader posyandu resah karena harus memberikan laporan, sementara dana belum cukup. Dia punya ide akan mengumpulkan dana dari para warga. Tapi, perlu waktu berapa lama mengumpulkan dana door to door, padahal anak ini harus secepatnya dibawa ke dokter.

Mendengar cerita yang sedikit ribet ini seorang ibu di kompleks kami tergerak ikut membantu. Dia memberanikan diri akan mengantar anak (beserta ibunya) ke dokter.

"Uangnya dari mana?" tanya sang kader posyandu.
"Bisalah, uang bisa dicari bu," jawab warga yang peduli ini.

Akhirnya, Jum'at pagi itu anak dan ibunya dibawa ke RS Rawa lumbu. Dokter jaga menyarankan langsung saja ke dokter spesialis anak. Ternyata dokter memerintahkan untuk tes mantoux, periksa darah, dan rontgen. Deg... berapa ya biayanya... kan ada biaya dokter spesialis, tes mantoux, periksa darah, dan rontgen.

Terjadi tanya jawab cukup panjang antara dokter dengan warga peduli ini (sementara pasien dan ibunya lebih banyak diam). Dan dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sangat mudah ditebak, masalah sebenarnya adalah dana. Dan dokter spesialis ini tentu faham arah dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Mungkin inilah yang menggerakkan bu dokter untuk meringankan beban pasiennya. Satu beban berkurang, kata warga peduli ini dalam hati.

Setelah semua beres dan harus ke kasir,
"Jadi berapa, mbak?
"Dua puluh sembilan, bu" jawab kasir
"Maksudnya 290.000?" tanya ibu itu dengan khawatir.
"Bukan bu, tapi 29.000?" jawab kasir

Setelah di rumah, dihitung ulang. Tadi membayar rontgen dan periksa darah. Kalau biaya dokter free, lalu biaya mantoux siapa yang bayar? Jangan-jangan bu Dokter itu yang menanggung...

Ah... alangkah indahnya hidup ini kalau banyak yang peduli dengan sesama.

"Sebenarnya saya juga khawatir, tapi saya yakin kalau niat kita baik menolong orang lain pasti nanti ada solusi," jawab ibu peduli kepada saya. Dan benar. Keyakinanya terjawab oleh Dokter Anak yang juga peduli kepada sesama.

"Saya hanya berdoa semoga bu Dokter tadi selalu sehat sehingga bisa melayani sesama. Semakin banyak menolong orang maka Allah juga akan selalu menolongnya," doa ibu peduli ini...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar