Jumat, 17 Desember 2010

Jejak Batik Bantulan

Sentra batik Desa Wijirejo, Pandak Bantul, menonjolkan motif khas Bantulan. Motif-motif tersebut dibuat baik dalam bentuk batik tulis maupun batik cap (foto samping). Batik Bantulan menjadi kekuatan ekonomi bagi Kabupaten Bantul. Salah satunya dikembangkan di Dusun Giriloyo, Wukirsari, Imogiri, Rabu (1/12).

Mungkin tidak banyak yang tahu jika Bantul memiliki tradisi dan motif batik sendiri yang dikenal dengan batik bantulan. Meski tetap berkiblat pada keraton, batik bantulan lebih dikenal dengan batik petani atau batik rakyat karena para pembatik memodifikasi pola keraton dengan ekspresi mereka dengan dasar kehidupan sehari-hari.

Di wilayah Yogyakarta, Bantul menjadi pemasok terbesar batik rakyat. Ada 53 motif asli Bantul yang saat ini hidup. Beberapa di antaranya adalah motif kembang kenanga, krembyah, alas-alasan, dan motif taru polo. Sentra batik bisa ditemui di Kecamatan Imogiri dan Pandak dengan jumlah perajin sekitar 3.000 orang. Di Imogiri, masyarakat banyak mengembangkan batik tulis, sementara di Pandak lebih banyak batik cap.

Sugito, perajin batik di Dusun Gunting, Gilangharjo, Pandak, Rabu (1/12), menuturkan, awalnya para perajin di Bantul menjadi buruh di sentra batik sekitar keraton. Sebagian juga membatik di keraton. Tiap pagi mereka pergi ke arah utara (keraton) untuk membatik dan kembali ke selatan pada sore harinya.

Kondisi tersebut lama kelamaan menimbulkan kelelahan dan kejenuhan. Mereka pun mulai membatik sendiri di rumah. Awalnya mereka kesulitan membuat pola dan motif karena sebelumnya hanya membatik. ”Kami pun coba-coba membuat motif dengan berpedoman pada keraton. Semuanya kami buat berdasarkan ekspresi. Makanya batik kami juga sering disebut batik kasar,” katanya.

Mulanya hanya satu-dua perajin yang berani membatik sendiri di rumah. Lama kelamaan buruh-buruh batik menjadi perajin mandiri dengan omzet yang lumayan. Mereka juga memperluas jenis batik, seperti batik lukis. ”Batik lukis ini juga untuk mengatasi kejenuhan pasar,” katanya.

Proses pembuatan batik lukis sedikit berbeda dengan batik kain. Setelah pencelupan warna, batik lukis bisa ditambahkan goresan warna menarik, seperti warna emas atau warna mencolok lainnya. ”Bagi pembatik ini menjadi wahana ekspresi diri, karena goresan-goresan warna tambahan itu sepenuhnya tergantung selera kita,” katanya.

Ragam corak batik lukis juga lebih variatif, mulai dari corak-corak pakem keraton sampai ke corak pemandangan, hewan, tumbuhan-tumbuhan, atau goresan-goresan yang sifatnya abstrak. Harga jualnya variatif, tergantung ukuran, mulai dari Rp 40.000 hingga Rp 200.000.

Makam Imogiri

Asal usul batik bantulan bersamaan dengan berdirinya makam raja-raja Mataram di Imogiri pada abad ke-16. Keberadaan makam membuat interaksi antara keraton dan warga sekitar Imogiri semakin intensif. Warga sekitar pun banyak direkrut menjadi abdi dalem untuk menjaga makam. Sebagai abdi dalem, mereka pun berkesempatan belajar membatik, yang banyak dilakukan di lingkungan keraton. Keterampilan itu kemudian ditularkan ke keluarga abdi dalem secara turun temurun.

Tingginya permintaan batik di lingkungan keraton tak mampu dipenuhi para abdi dalem. Abdi dalem bersama sejumlah saudagar lantas memilih membatik di luar keraton dengan mengajari penduduk sekitar. ”Dari situlah muncul modifikasi motif. Lama kelamaan batik juga dipakai masyarakat umum dan akhirnya tumbuh menjadi industri,” tutur Sugito menambahkan.

Di Dusun Giriloyo, Wukirsari, Imogiri, masyarakat sekitar mengembangkan batik tulis. Bagi masyarakat Giriloyo, membatik sudah menjadi tradisi turun temurun. Keterampilan tersebut diperoleh dari nenek moyang mereka. Kelihaian nenek moyang mereka dalam membatik berawal ketika Sultan Agung dan Sultan Cirebon dimakamkan di Imogiri. Sejak adanya dua makam tersebut, keluarga keraton sering datang untuk berziarah.

”Dulu batik digunakan oleh kalangan keraton. Banyaknya keluarga keraton yang datang berziarah membuat interaksi warga dengan mereka begitu intens. Warga pun diajari membatik dan disuruh membuat kain batik bagi keluarga keraton,” ujar Nur Ahmadi, Ketua Paguyuban Batik Giriloyo.

Di Giriloyo, membatik menjadi pekerjaan sampingan bagi ibu-ibu rumah tangga. Hanya satu dua laki-laki saja yang ikut membatik. ”Dari dulu membatik memang menjadi urusan perempuan. Bapak-bapak bekerja sebagai petani atau buruh bangunan. Pembagian kerja itu terus berlanjut hingga sekarang,” imbuh Nur Ahmadi.

Batik Bantulan sempat hancur setelah gempa tahun 2006. Rasa putus asa sempat menghinggapi sekitar 510 perajin batik di Giriloyo. Selama enam bulan pertama pascagempa, aktivitas membatik berhenti total karena fokus masyarakat ditujukan untuk memperbaiki rumah. Baru setelah itu, satu dua orang pun mulai membatik. ”Kebanyakan warga mulai membatik setelah satu tahun pascagempa,” tutur Amanah, salah satu perajin di Giriloyo.

Kini batik bantulan telah bangkit. Secara khusus, Pemerintah Kabupaten Bantul bahkan menetapkan batik sebagai muatan lokal bagi kurikulum tingkat SD hingga SMA/SMK. Materi tersebut mulai diajarkan pada tahun ini.

Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Non-Formal Kabupaten Bantul Masharun Gazalie mengatakan, target muatan lokal batik adalah mencetak siswa yang bisa membuat, memahami, dan menjual batik. ”Jadi tidak hanya sekadar membuat, tetapi juga memasarkannya karena selama ini perajin banyak menghadapi kendala penjualan,” paparnya.

Menurutnya, pemerintah sudah menyiapkan tenaga pengajar. Guru kesenian dan keterampilan dipilih untuk menjadi pengajar batik. Sebelum mengajar, mereka terlebih dahulu mengikuti diklat selama dua bulan berturut-turut. Nantinya semua guru akan mendapatkan pelatihan soal batik. Tujuannya, agar tumbuh kesadaran bersama untuk mencintai batik.

Salah satu wujud kecintaan terhadap batik adalah wacana menetapkan seragam batik bagi PNS selama tiga hari berturut-turut. Hari wajib batik saat ini baru Jumat dan Sabtu. Nantinya akan ditambah satu hari lagi pada hari Kamis. ”Jika itu terwujud, peluang pemasaran batik semakin terbuka lebar,” katanya.

Sertivikasi HKI

Meski sudah mengembangkan 53 macam motif, Pemerintah Kabupaten Bantul belum mengurus sertifikat hak kekayaan intelektual (HKI) bagi batik bantulan. ”Kami memang belum fokus ke Haki. Fokus kami masih pada kendala pemasaran batik. Batik Bantul harus bersaing dengan batik dari luar daerah, seperti Pekalongan, Kulon Progo, Solo, dan Sleman. Belum lagi masuknya batik murah produksi China dan Malaysia,” kata staf ahli Bupati Bantul Bidang Perekonomian, Yahya.

Walaupun belum memiliki HakI, Bantul tidak khawatir motifnya dijiplak oleh daerah lain. Baginya, motif batik adalah seni yang sulit ditiru. Untuk mendokumentasikan motif-motif tersebut, Bantul telah menerbitkan buku berjudul Batik Bantul setebal 107 halaman. Buku dengan sampul Bupati Bantul Sri Suryawidati tersebut menjelaskan motif-motif batik asli Bantul.

Ari Indah Hayati, salah satu tim penyusun buku, mengatakan, keberadaan buku tersebut menjadi salah satu cara untuk melindungi motif batik bantulan. ”Kami menyusun buku tersebut melalui studi terlebih dahulu. Diharapkan, buku Batik Bantul menjadi media promosi yang bagus bagi sentra batik di Bantul,” katanya.

Penasaran dengan batik bantulan, silakan datang ke Bantul.

sumber: kompas

1 komentar: