Maulvia (20) tersenyum cerah pada Kamis (16/12/2010) lalu. Hari itu adalah hari gajiannya. Setelah mengantongi Rp 105.000 sebagai upahnya membatik selama enam hari, perempuan yang akrab disapa Mia ini juga menerima tas bingkisan dari PT Kao Indonesia. Isi tas itu macam-macam, dari sabun, shampo, pembalut, hingga cairan pencuci batik.
Mia adalah salah satu pembatik di Rumah Batik Cahyo di Desa Setono, Pekalongan, yang antara lain membuat batik pesanan dari Edward Hutabarat. Desainer ini banyak melakukan perjalanan eksplorasi ke kota-kota batik atas biaya PT Kao Indonesia, sebagai bagian dari kampanye "Cintaku Pada Batik Takkan Pernah Pudar".
Tak banyak perempuan muda yang masih bersedia menggeluti dunia batik seperti Mia. Mereka bukannya sama sekali tak paham tentang batik, karena kesibukan membatik sudah biasa terlihat di tiap-tiap rumah tangga. Namun membatik memang bukan pekerjaan yang mudah. Butuh ketelitian, kesabaran, dan ketahanan fisik untuk menciptakan sehelai kain batik tulis. Bayangkan, mereka harus duduk selama 8-12 jam sehari, tanpa bersandar.
Selain itu, upah membatik juga kurang begitu menggembirakan. Mia, misalnya, setelah empat tahun membatik, upahnya Rp 17.500 per hari. Jumlah ini bisa naik seiring dengan meningkatnya kemampuannya membatik. Sedangkan di Rumah Batik Liem Ping Wie di kawasan Kedungwuni menerima antara Rp 15.000, Rp 20.000, hingga Rp 25.000 per hari, tergantung kemampuannya. "Dulu di kampung (sebelum bergabung di Batik Cahyo, RED), upah saya Rp 11.000," ujar Mia, yang saat ini bekerja mulai pukul 04.00 - 16.00.
Pembatik umumnya masih menerima tunjangan berupa uang makan dan THR. "Uang makannya Rp 2.500 per hari, tapi saya kumpulkan dulu, dan baru dibagikan bersamaan dengan pembagian THR. Soalnya mereka itu tidak bisa menabung," ujar Liem Poo Hien, pengelola Batik Liem Ping Wie yang mempekerjakan sekitar 30 pembatik. Agar pembatik disiplin, Hien menerapkan aturan lain. "Mereka masuk mulai pukul 08.00 atau 08.30. Di atas jam itu, uang makan tidak diberikan."
Sulitnya regenerasi
Oleh karena itu, meskipun batik kini terangkat lagi pamornya, daya tarik sebagai pembatik -dalam hal ini batik tulis- tak otomatis terangkat. Apalagi, kota Pekalongan kini sudah makin berkembang. Mini market-mini market bermunculan di segala penjuru jalan, menawarkan lapangan pekerjaan baru yang lebih menjanjikan. Nur Cahyo, pemilik Batik Cahyo, memahami betul hal ini. "Orang Pekalongan cinta batik, tapi juga butuh nafkah. Bagi mereka, kalau tidak bertahan jadi pembatik, lebih baik kerja di mini market," katanya.
Situasi ini bertambah sulit karena perempuan umumnya juga terjebak dalam siklus hidup yang sama. Begitu mereka menikah, lalu hamil, banyak di antara mereka yang memutuskan berhenti membatik. "Akhirnya harus regenerasi lagi, cari pembatik yang lain, entah teman-teman atau saudara-saudaranya," papar Cahyo.
Demi mempertahankan kelestarian batik dan kesejahteraan para pembatiknya, bapak dua anak ini berusaha menjaga hubungan yang baik dengan para pembatiknya. Ia sadar, batik adalah suatu kerja tim, sehingga tidak ada satu pihak yang lebih berperan daripada yang lain. "Batik itu kayak main layangan, harus tarik-ulur. Sifatnya ngemong. Kita butuh satu sama lain. Jadi saat memperlakukan pembatik, saya tidak bisa terlalu keras, juga tidak terlalu lunak."
Dusun Pegandon, Desa Pegandon Kidul, Karang Dadap, Pekalongan timur, yang dulu menghasilkan banyak pembatik andal, kini juga kesulitan meregenerasi. Dusun ini hanya menyisakan pembatik yang kini sudah mulai renta. Mereka bekerja sendiri-sendiri atau berkelompok, di rumah-rumah yang sempit berlantai tanah dan umumnya tanpa pembatas ruang. Penerangan pun hanya mengandalkan cahaya matahari yang masuk melalui celah dinding atau jendela.
Para perempuan ini umumnya tak tahu pasti berapa usianya. Saripi, Jasnoah, Wasni, dan Wasmi, misalnya, rata-rata merasa umurnya sudah 70-an tahun. Untuk membatik, mereka mendapat modal berupa kain mori atau cairan malam dari pengepul seperti Zakiah (45). Pengepul adalah orang yang akan mengumpulkan kain-kain batik yang sudah jadi, dan menjualnya ke buyer. Namun, untuk proses melorod atau mewarnai, pembatik menyerahkannya ke pengepul dengan dikenai biaya Rp 60.000 - Rp 70.000, tergantung warnanya.
Mereka mengaku, upah mereka hanya sekitar Rp 7.000 hingga Rp 10.000 per hari. Namun ketika kami menanyakan siapa yang memberi mereka upah, tak seorang pun mampu menjawab. Cahyo menduga, angka tersebut hanya perkiraan para pembatik dari penghasilan yang mereka dapatkan dari pengepul. Jadi, jika sehelai kain batik halus sudah jadi, pengepul membelinya dengan harga sekitar Rp 300.000 (kain ini lalu dijual Zakiah seharga Rp 600.000 - Rp 1 juta).
Para pembatik ini memang hanya paham soal membatik. Mereka tidak tahu bagaimana jalur distribusi atau bisnis batik itu sendiri. Repotnya, karena sudah terikat pada pengepul, mereka juga tak bisa menjual batik langsung kepada orang yang berminat.
Karena diri sendiri dan keluarga harus dinafkahi, sementara sehelai kain baru jadi setelah sekitar tiga bulan, beberapa pembatik berusaha mencari "side job". Jasnoah, misalnya, pagi hari berjualan jajanan untuk anak-anak yang tak seberapa jumlahnya. Sore, ia baru membatik. Barangkali ini bisa disebut sisi positifnya, dimana para pembatik di sini memang tidak terikat waktu dalam bekerja.
Dengan berbagai kesulitan yang dialami pembatik tersebut, sudah sepantasnya profesi pembatik ini lebih kita hargai. Mereka, termasuk Mia yang tergolong paling muda, tidak pernah menyesal menjadi pembatik. Perempuan lulusan SMP ini bertekat untuk terus membatik. "Saya tidak menyesal meninggalkan sekolah, karena ini sudah keputusan saya sendiri. Saya ingin bisa terus berkarya, bisa meneruskan batik Pekalongan," katanya lirih.
sumber: kompas
Begitulah hasilkarya sebuah gejolak perekonomian kapitalisme, segalanya diukur antara juragan dan jongos, padahal di negerinya para kapitalis perilaku ini sudah pudar dan terkikis menjadi pengelola usaha dan aset usaha, kok lebih pancasilais mereka dibanding kita ya? jawabnya hanya ada di negeri sketsa...
BalasHapus