Selasa, 07 Agustus 2012

Sejarah Batik Pekalongan

Sesuai dengan letak geografisnya, Pekalongan berada di pesisir utara Jawa sebelah barat. Dengan letak tersebut menyebabkan pertumbuhan batik Pekalongan abad ke-15 M tidak jauh berbeda dengan sejarah pertumbuhan batik di kota-kota pesisir Jawa di kawasan timur. Daerah pesisir merupakan daerah lalu lintas ekonomi.

Pengembangan seni batik pesisiran juga dipengaruhi oleh budaya kraton sebagai pusat pemerintahan. Kraton Cirebon pada masa itu telah menjadi kiblat budaya dan agama bagi penduduk kota-kota pesisir Jawa sebelah barat. Dalam sejarah batik pesisiran, seperti Pekalongan, Tegal, Indramayu, Karawang, Ciamis, Tasikmalaya, dan Garut, pola batiknya mengambil pola hias pada kraton Cirebon. Awal Pengembangan batik Cirebon mempunyai hubungan yang erat.

Pola hias batik cirebon mendapat pengaruh dari bentuk ragam hias taman Sunyaragi dan Keraton Pakungwati. Bentuk taman Sunyaragi digambarkan tanah wadas meniru keadaan di negara Cina. Demikian pula bentuk megamendung dan kontur ombak-ombak laut.

Batik Cirebon kuno beragam hias Singobarong dan banyak nama-nama batik Cirebon lainnya yang mendapat pengaruh kuat dari peninggalaan ragam hias bermotif seni Cina. Dalam pilihan warna, batik Cirebon telah mendapat pengaruh warna dari keramik biru dan putih. Meskipun ada warna-warna yang mencolok di luar biru dan putih, tetapi sejarah warna batik Cirebon dimulai dengan dua warna biru dan putih.

Batik Cirebon mengambil tema ragam hias pada bangunan Taman Sunyaragi dan Keraton. Batik Pekalongan lebih banyak dipengaruhi oleh ragam hias keramik Cina. Ragam hias keramik Cina banyak menghiasi bangunan Keraton Kasepuhan dan Makam Raja-Raja Cirebon di Gunung Jati.

Obyek lukisan keramik Cina pada dinasti Ming yang menjadi lambang kemegahan dan kekayaan keraton Cirebon rupanya menjadi perhatian perajin batik Pekalongan.

Perajin batik Pekalongan telah menempatkan hiasan keramik Cina ini sebagai kebudayaan leluhur. Pilihan ragam hias, seperti bunga persik, bunga rose, sulur daun, sulur pandan, dan teratai adalah ragam hias jenis flora yang sebagian besar menjadi obejk utama. Ragam hias semacam itu banyak didapat pada lukisan keramik, Pola jenis daun melengkapi ragam hias flora, seperti bentuk burung pipit, burung merak, ular baga, ataupun kupu-kupu.

Itulah sejumlah jenis ragam hias yang sejak awal sudah menjadi pilihan perkembangan corak batik Pekalongan. Warna-warni yang mencolok sangat kontras jika dibanding dengan batik pedalaman, seperti Yogyakarta dan Solo.

Pilihan warna yang mencolok dari batik Pekalongan tampaknya tidak sekedar sebagai pelengkap pola hias. Adanya pengaruh warna keramik pada masa dinasi Ming yang hanya diproduksi pada abad ke-17 sampai 18. Selain biru putih juga diproduksi berbagai warna. Menurut filsafat Cina kuno, warna-warna tersebut menyimbolkan makna keaktifan, kejantanan, dan keperkasaan. Melalui simbol warna, hal itu diekspresikan dengan serba terang dan bergerak serta penuh variasi (dinamika).

Melalui seni batik mereka memiliki tujuan ganda sebagai seni pakai dan akulturasi terhadap keindahan tanah leluhur.

Namun, sebelum ragam hias keramik Ming abad 17 mewarnai corak batiknya, batik Pekalongan pernah mendapatkan penghargaan di tengah-tengah keluarga Cina ningrat, yaitu dari Ratu Roro Sumanding. Ratu Roro Semanding adalah istri Sunan Cirebon Syarif Hidayatullah yang nama aslinya Tan Eng Hoat.
Penghargaan ini diberikan karena karya-karya batik Pekalongan yang diadaptasi dari keramik telah membawa kebesaran nama dinasti Ming sebagai penguasa kerajaan Cina. Ming yang berarti cemerlang atau berkilauan.

Penghargaan terhadap batik Pekalongan oleh Kraton Cirebon selain ragam hias dari keramik Ming juga karena teknik pembuatannya yang berbeda dengan daerah-daerah lain pada zaman itu. Pada masa itu, perajin batik Pekalongan menggunakan teknik pewarnaan melukis (colet). Sementara itu, di daerah lain dalam membuat warna masih menggunakan teknik celup.

Teknik colet mempermudah untuk mencapai pewarnaan yang dikehendaki sehingga setiap detail motif hias dapat dilukis dengan sempurna sesuai dengan yang dikehendaki. Teknik melukis warna melalui sapuan kuas (colet) bukan sesuatu yang baru. Teknik semacam ini berkaitan dengan kerajinan tangan (terutama kerajinan sutra dan porselin) di Cina pada masa kekaisaran Ming.

Dalam mata rantai perdagangan, bahan warna yang berupa indigosol, India merupakan negara pemasok utama bagi Cina. Bahan pewarna kain ini pada masa dinasti Ming didatangkan dari India. Menurut Ruffear, jalur perdagangan bahan pewarna tekstil mengikuti jalur lama, yaitu dari India ke Indonesia dan dari Indonesia ke Cina. Begitu pula sebaliknya.

Jalur perjalanan Cheng-Ho ke Samudra Barat yang ditulis Zheng He Xia yang dimulai dari Nanjing (Ibu kota). Kapal-kapal berlabuh di Qui-Nho melalui Cina Selatan langsung (India) atau Teluk Benggala (Bengali) dan perjalanan dilanjutkan ke Arab atau Afrika dan Eropa. Begitu sebaliknya.

Dari hubungan perdagangan antarpulau dan antarnegara yang melewati jalur laut itu, pedagang Pekalongan tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan pengetahuan baik teknis, bahan kain, maupun bahan pewarna. Hal itu karena Pekalongan termasuk kota pelabuhan, seperti Surabaya, Gresik, Tuban, Demak, dan Cirebon.

Pada tahun 1620, batik telah menjadi sumber mata pencaharian masyarakat Pekalongan. Hampir setengah abad batik dirintis oleh pedagang Cina di kampong Sampangan. Pada tahun-tahun itu para buruh pribumi mulai membuka usaha sendiri. Dr. Kusnin Asa mengatakan masa itu sebagai masa harapan dan kecemasan.
Kondisi tersebut dipengaruhi kondisi politik oleh beralihnya status Pekalongan menjadi tanah perdikan dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram yang sebelumnya dibawah kekuasaan Kesultanan Cirebon. Perpindahan status tersebut mengakibatkan masyarakat Pekalongan merasa diperlakukan sebagai daerah jajahan.

Pada periode ini juga mulai diberlakukan aturan pemakaian batik dimana masyarakat biasa dilarang memakai maupun memproduksi batik bermotif larangan (Awisaning Ratu/Larangan Dalem). Batik dengan motif batik jenis ini hanya boleh dikenakan oleh keluarga Keraton.

Meskipun Pekalongan pada masa Mataram dilarang memproduksi batik pola larangan, namun perajin di desa-desa masih membuat batik tradisi lama berpola kawung-gringsing atau tumpal. Namun, pembuatan batik ini tidak mempengaruhi pengembangan batik asli, seperti Jlamprang atau batik campuran gaya Cina.

Diskriminasi pemakaian busana ini melahirkan kebencian kaum pedagang muslim dan Tionghoa kepada kaum priyayi penguasa. Sikap perlawanan masyarakat Pekalongan terhadap kekuasaan Mataram ini mempengaruhi munculnya corak-corak batik Pekalongan. Sikap perlawanan masyarakat Pekalongan tersebut menjadikan daerah tetangga sekitarnya menyebutnya dengan semboyan Merak Ngigel digambarkan dengan simbol burung merak yang sedang menari sehingga memberikan makna sifat-sifat masyarakat Pekalongan yang tidak mau ditindas dan mandiri

sumber: int'l batik center

3 komentar:

  1. wah sejarah batik pekalongannya menarik dan menambah wawasan,,

    BalasHapus
  2. mantap sekali pembahasannya tentang batik. detail dan mudah dimengerti :D

    BalasHapus
  3. mantapp.. silakan berkunjung ke IBC pak kalau lewat Pekalongan :D

    BalasHapus