Tulisan menarik dari Bu Nunki Suwardi :
-----
“Dok, anak saya penderita Down Syndrome. Umur 12 bulan berat
badannya hanya 7 kg. Karena berat badannya kurang, saya konsul ke dokter gizi. Anak
saya disuruh makan daging 500 gr harus habis 3 hari. Tiga bulan hanya
naik setengah kilo. Periksa lab anak saya didiagnosis ginjalnya RTA atau bocor.
Kok bisa ya dok?”, tanya seorang ibu dengan sedih.
Tadi siang suami saya, Dr. Suwardi, menjadi pembicara bagi komunitas Persatuan
Orang Tua dengan Anak Down Syndrome. Saya tidak mendengar jawaban suami karena
sibuk urusan lain.
Tapi di perjalanan pulang suami
curhat, “Ya ampun anak 12 bulan disuruh makan daging sebanyak itu. Ya jebol lah
ginjal tuh anak. Tapi ayah nggak tega ngomong pada si ibu jika dietnya itu
penyebab bocor ginjal anaknya. Kasihan nanti jadi kepikiran”.
“Lha emang berapa gram sih maksimum makan daging sehari ?”,
tanya saya.
“40 (empat puluh) gram. Itu pun sebaiknya 4-5 hari sekali, bukan
tiap hari. Kebayang kan kepayahannya ginjal anak sekecil itu mencerna daging sebanyak itu tiap hari”,
jelas suami. “Lagipula, mau tiap hari makan daging sekilo pun tuh anak nggak
bakal naik berat badannya”, imbuh suami.
“Lho kok bisa?”, tanya saya bingung.
“Karena anak-anak down syndrome itu kekurangan asetilkolin
yang memproduksi hormon pertumbuhan agar berat badannya bisa naik. Jadi mau
dimakanin daging berapa pun ya percuma”.
“Lha terus harus makan apa dong biar berat badannya naik?”.
“Makan makanan yang mengandung banyak enzim untuk merangsang hormon pertumbuhan yaitu makanan
yang masih fresh yang kurang diolah dengan pemanasan seperti sayur segar,
buah-buahan, kacang2an dan ikan. Enzim itu nanti yang merangsang produksi
asetilkolin. Kalau daging kan perlu pemanasan tinggi jadi enzim nya semua mati”,
jelas suami.
Sambil
menunggu lampu merah, mata suami menerawang,
“Ayah nggak ngerti cara pikir teman-teman sejawat. Kok nggak mikir
ya gimana nanti itu makanan diolah oleh tubuh dan dampaknya ke organ.
Kasihan kan si anak sampai jadi korban gitu. Para peserta tadi juga
banyak yang bengong dengar
penjelasan ayah. Mereka nggak ngerti anak-anak down syndrome itu
metabolismenya
rentan sehingga sebaiknya menghindari makanan berpengawet, pewarna,
tinggi gula
dan sintetik seperti chiki-chikian, minuman instan, dan sejenisnya.
Harusnya anaknya
diberi makanan sealami mungkin agar sehat”.
“Wajar aja kalau nggak ngerti. Lha dietnya saja bisa salah
hingga fatal begitu”, hibur saya.
“iya ya. Ayah juga sedih angka penderita down syndrome makin naik”, kata suami.
“Bukannya itu penyakit keturunan atau gara-gara melahirkan
di usia resiko?”, tanya saya.
“Down syndrome itu penyakit genetik. Bukan karena melahirkan
di umur beresiko atau keturunan. Penyebabnya itu karena gen yang normal berubah
jadi rusak sehingga lahir anak-anak down syndrome. Gen itu bisa rusak karena
tidak menjaga gaya hidup. Kebiasaan makan Junk Food, minum nggak sehat,
merokok, gaya hidup amburadul, stres tinggi. Berapa pun umurnya tapi kalau hidupnya
nggak benar ya beresiko melahirkan anak down syndrome”, jelas suami. “Bisa juga
selnya normal tapi mengalami gangguan saat zygot bertemu karena tubuh dipenuhi
banyak terpapar toksin”.
Hmm... ngeri juga ya, batin saya. Bersyukur
saya dikaruniai tiga putri yang cantik-cantik dan cerdas. Padahal saat
itu kesadaran saya untuk hidup sehat belum muncul. Makan apa saja yang
penting enak dan biasa begadang ngerjain tugas kampus dan kerjaan
kantor.
Sebenarnya saya ingin langsung tidur
merebahkan badan. Tapi saya tak ingin apa yang saya tahu terlewat untuk dibagi. Mungkin ada teman
yang berencana memiliki anak jadi tahu pentingnya menjaga tubuh
tetap sehat agar lahir anak yang sehat pula. Mungkin juga ada teman yang memiliki anak, keluarga atau kerabat dengan down syndrome terbantu
olehnya.
Semoga bermanfaat dan selamat berakhir pekan.
Salam,
Nunki Suwardi
Pusat Studi & Pendidikan Psikologi Komunikasi Bawah Sadar
Studi integratif bahasa tubuh - tulisan tangan - intuisi - fisiognomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar