Senin, 22 Desember 2008

I B U


Hari ini kita memperingati Hari Ibu. Ingin sekali saya membuat tulisan khusus mengenai sosok yang paling berperan dalam hidup kita. Namun sayang sekali saya tidak punya cukup ide yang bisa menggambarkan keagungan Ibu kita.

Tulisan berikut ini saya buat tahun lalu, juga untuk memperingati Hari Ibu.

**************

Kata mereka diriku slalu dimanja,
Kata mereka diriku slalu ditimang
oh bunda,
ada dan tiada dirimu kan selalu
ada di dalam hatiku....


Penggalan syair "Bunda" karya Melly Goeslaw yang dinyanyikan pada 21 April lalu begitu sahdu, hidmat, dan sangat menyentuh. Begitu sahdunya sehingga membuat hampir semua pengunjung acara di MetroTV saat itu tidak mampu menahan air matanya... termasuk saya yang menyaksikan dari rumah

Siapa pun orangnya, dari bangsa mana pun dia, mempunyai nilai universal tentang seorang ibu. Tidak peduli kalangan berpendidikan tinggi atau rendah, kelas ekonomi atas maupun ekonomi paling bawah, apakah dia seorang ulama atau residivis, semua akan tersentuh manakala di hadapannya diperlihatkan sosok seorang ibu. Ibu yang tegar, mencintai dengan tulus, rela mengorbankan apa pun demi kebahagiaan anaknya.

Ibu adalah sosok nyata tentang nilai cinta yang tulus. Cinta yang ikhlas. Cinta yang total. Tidak ada cinta yang melebihi ketulusan cinta seorang ibu. Mencintai adalah memberi. Ikhlas adalah melepas keinginan untuk dibalas. Seorang ibu akan memberi apa pun yang dia punya tanpa sedikit pun mengharapkan balasan dari anak-anaknya. Seorang ibu akan merasakan kebahagiaan yang berlimpah manakala melihat anak-anaknya mampu tertawa lepas. Lepas dari beban kehidupan. Beban itu cukup lah jadi 'beban' ibu saja.

Begitu totalitasnya seorang ibu terhadap kebahagiaan sang buah hati, maka hanya Tuhan yang mampu membalas keikhlasannya. Tidak ada seorang anak di dunia mana pun yang bisa membalas jasa ibunya. Maka jangankan seorang anak durhaka kepada bunda, hanya berkata 'ah' saja kepada sang ibu, sudah membuat Allah murka kepada seorang anak. Dan jika seorang anak berani menyakiti hati sang ibu berarti dia langsung berhadapan dan menantang sang khalik. Kita semua tentu sudah tahu resikonya : Hidupnya tidak mungkin bahagia dan berkah.

Seorang ibu selalu rela 'pasang badan' manakala ada yang kurang baik pada sang buah hati. "Anak ini kok tidak terurus, bagaimana sih ibunya?" adalah komentar pertama yang dilontarkan masyarakat bila melihat ketidak beresan seorang anak.

"Anak ini bandel sekali, kemana saja sih ibunya?" komentar yang lain

"Anak kok tidak pernah sarapan, emang ibunya tidak pernah memasak?" kata guru kelasnya.

Ibu juga selalu menjadi tumpuan kesalahan. Rumah tidak bersih, mainan anak berantakan, nilai sekolah anak jeblok, anak bandel, anak lapar, anak jatuh dari sepeda, dan sebagainya. Tetapi ketika semua keadaan jadi baik dan menyenangkan: Anak mendapat ranking di kelasnya, suasana rumah nyaman & bersih, maka sangat jarang pujian dialamatkan kepada sang ibu. Dan ibu tidak pernah protes untuk semua perlakuan yang tidak seimbang ini.

Dan ketika masa senja menjemput hari-harinya, ibu pun tidak pernah protes mengapa semua anaknya hidup menjauh dari sisinya. Dia sudah merasa nikmat hanya ditemani suami dan keheningan rumah yang telah banyak menorehkan catatan sejarah anak-anaknya. Rumah yang menjadi saksi bagaimana semuanya tumbuh dan berkembang.

Seorang ibu akan sangat berbahagia manakala telepon rumahnya berdering, dan dari seberang sana terdengar suara yang sangat akrab di telinganya: suara anak-anak dan cucun-cucunya.

Jadi mulai lah menambah frekwensi suara kita di telinga sang ibu. Kebahagiaan ibu mampu mempercepat upaya kita menggapai mimpi. Ridlo ibu mempermudah kita 'menemukan' jalan yang tepat.

"SELAMAT HARI IBU"

Rabu, 17 Desember 2008

Berkah Mandiri

Lebih 3 tahun lalu, ketika saya mengikuti Temu Nasional EU (Entrepreneur University) di Yogyakarta, saya sempat bingung. Saya bingung ketika disodori formulir oleh panitia. Dalam formulir itu ada pertanyaan jenis usaha yang saya jalani saat itu.

Bisa saja sih saya abaikan saja pertanyaan itu dan tidak saya isi jawabannya. Tapi saya malu. Masa di acara temu nasional pengusaha saya tidak punya usaha, apa kata dunia... :)

Cukup lama saya terdiam membiarkan formulir itu di tangan saya. Saat itu saya memang belum punya usaha. Saya masih mencari-cari usaha apa yang bisa saya jalani saat itu. Usaha yang bisa dijalani tanpa melibatkan uang sebagai modal utama.

Kebetulan saat itu saya membawa beberapa sampel VCD milik sahabat saya. VCD yang berisi pendidikan untuk anak. Tiba-tiba muncul ide di kepala saya. Mengapa bukan VCD ini saja yang dijadikan sebagai entitas usaha? Akhirnya muncul ide di kepala saya sebagai distributor VCD pendidikan untuk anak.

Saya ambil lagi formulir itu. Di kolom jenis usaha langsung saya isi sebagai 'Distributor Media Pendidikan Anak'. Ternyata masalah belum berakhir di sini. Masih ada pertanyaan apa Nama Usaha Anda? Di sini saya bingung lagi. Nyari ide lagi. Beruntung saya tidak terlalu lama mencari ide nama usaha saya. Kalau lama panitia bisa-bisa curiga orang ini sedang ngarang bisnis meski saat itu saya memang sedang ngarang beneran :). Akhirnya muncullah nama 'Berkah Mandiri Distribusi'. Maka saat itu saya punya 'perusahaan distribusi' yang saya dirikan semenit yang lalu.

Saat itu saya memakai nama Berkah Mandiri karena cita-cita saya memang ingin mandiri, tidak ngantor di tempat orang. Dan apa yang saya lakukan bisa menjadi berkah untuk sesama, amin. Itulah cita-cita saya saat itu (sekarang pun juga masih).

Bensin non Berkah

Bicara soal berkah mengingatkan saya kepada sahabat yang sudah lebih lima tahun tidak bertemu. Ubaidi, nama sahabat saya itu, adalah teman main sejak kecil. Suatu ketika kami pernah bertemu ketika Idul Fitri di Solo. Karena sudah lama tidak bertemu maka obrolan kami menjadi sangat menarik. Mulai dari obrolan ringan hingga pembicaraan yang lebih serius. Dan obrolan kami pun sampai kepada hal yang cukup sensitif tapi sangat menarik untuk direnungkan. Berikut ini adalah pembicaraan yang masih saya ingat. Mudah-mudahan tidak banyak melencengnya.

"Aneh ya mas hidup ini," katanya.

"Apanya yang aneh?" timpal saya.

"Saya dulu kan bekerja di SPBU. Bos saya menyuruh kita-kita men-set meteran di sana. Sehingga konsumen yang membeli sebenarnya dirugikan."

"Mengapa tidak protes saja?"

"Ya nggak berani lah. Namanya juga karyawan. Menentang berarti dipecat."

"Terus anehnya di mana?"

"Memang sih keuntungan kita bertambah banyak. Tapi ada yang ngganjel di hati saya. Susah digambarkan. Pokoknya hidup saya jadi gimana gitu."

Cukup lama Ubaidi terdiam. Mungkin dia kesulitan meneritakan suasana keluarganya saat itu. Kebetulan saat itu dia belum punya anak padahal sudah menikah sekian tahun.

"Akhirnya lama kelamaan hati saya tidak kuat mas. Saya sering sakit. Kalau diperiksakan ke dokter tidak ada yang sakit padahal saya merasakan badan saya sakit. Saya juga jadi berfikir apakah Allah belum mengabulkan keinginan kami untuk punya anak karena uang yang saya dapatkan tidak halal.

Karena sering sakit dan perang batin akhirnya saya beranikan diri untuk keluar dari tempat kerja. Saat itu saya jadi pengangguran meski tidak lama karena kemudian mencoba jualan makanan kecil. Hasil usaha saya memang jauh lebih kecil dibanding gaji sebelumnya tapi hati saya kok tiba-tiba jadi ringan banget. Dan anehnya tidak lama kemudian istri saya hamil. Apakah ini peringatan dari Allah kepada saya ya yang selama itu mendapatkan uang dengan cara tidak halal," tanyanya tanpa meminta jawaban dari saya.

Bisa jadi Ubaini benar. Harta yang didapatkan dengan cara tidak halal hanya akan menjerumuskan kita sendiri.

Merdeka Sehat

Beberapa hari lalu saya bertemu dengan pak Priono. Pria ini sehari-hari adalah sopir taksi. Setelah ngobrol sebentar dengan saya dia langsung bisa menebak dari mana saya berasal, maklum logat saya sangat medhok sehingga langsung ketahuan. Dan langsung berbicara dengan saya memakai bahasa Jawa :).

"Saya dari Wonogiri mas. Dulu pegang bis Wonogiri-Jakarta."

"Mengapa kok berubah ke taksi, pak?" tanya saya.

"Maklum mas, saya merasa honornya kurang. Dulu kami sering main kucing-kucingan dengan pengawas bus dari perusahaan. Aturan perusahaan kami tidak boleh nyari penumpang di jalan demi kenyamanan penumpang yang membeli tiket di loket. Tapi karena merasa kurang maka saya dan kenek saya sering 'ngambil' orang di jalan. Uangnya tentu saja masuk kantong sendiri. Kejadian ini cukup lama kami jalani sampai suatu saat batin saya tidak kuat."

"Tidak kuatnya kenapa?" tanya saya ingin tahu.

"Perusahaan saya sebenarnya sangat baik. Kalau kita butuh uang, perusahaan selalu mau meminjamkan uangnya, berapapun kita minta. Masa perusahaan yang sangat baik ini kita tikam dari belakang?" tanya pak Priono tanpa minta jawaban.

"Saya sempat setahun nganggur. Setelah itu saya diterima bekerja di sebuah perusahaan kontraktor. Di perusahaan itulah saya biasa memegang uang sangat banyak. Saya dipercaya belanja kebutuhan proyek seperti semen, pasir, batu, dan sebagainya. Tapi dasar nafsu kita yang suka serakah, saya sering menaikkan harga belanjaan material. Bahasa sekarang disebut mark up. Saat itu harga semen masih Rp 8000 (tahun 80-an) tapi pada laporan saya tulis Rp 11.500. Itu untuk satu zak. Padahal dalam sebulan belanja semennya ada sekian ribu zak. Itu baru dari semen saja, belum dari material lainnya. Tiap bulan penghasilan saya tidak pernah kurang dari Rp 10 juta. Itu tahun 80-an."

"Besar sekali," kata saya.

"Betul mas. Besar sekali. Tapi ada yang aneh. Anak saya selalu sakit-sakitan. Kadang asmanya kambuh, kadang lambungnya kumat. Pokoknya sering banget sakit. Pernah salam sebulan tiga kali dirawat di rumah sakit. Saya jadi bingung ada apa dengan anak saya. Mengapa jadi begini. Apakah ini karena pekerjaan saya yang tidak diridloi Allah. Apakah karena saya sering mendapat uang dengan cara-cara tidak halal," kata pak Priono

"Wah bapak 'beruntung' langsung diingatkan Allah," saya menimpali.

"Saya nggak tahu mas. Sampai pada suatu ketika saya memberanikan diri meninggalkan pekerjaan saya yang sangat empuk itu."

"Terus apa yang dilakukan bapak?"

"Ya saya nganggur lagi. Sampai kemudian ada teman yang mengajak saya menjadi supir taksi sampai sekarang ini. Dan ajaibnya, anak-anak saya tiba-tiba jadi sehat semuanya, bagas waras tidak kurang suatu apa. Mereka sehat-sehat. Asmanya tidak pernah kambuh. Bagas waras adalah ungkapan dalam bahasa Jawa yang artinya sangat sehat, betul-betul sehat. Sampai sekarang saya masih heran lho mas. Heran dan bersyukur kami tidak pernah lagi menginjak rumah sakit."

Apa yang kita alami adalah rangkaian dari apa yang kita upayakan. Apa pun yang menimpa kita merupakan akibat dari apa yang kita lakukan, disadari atau tidak. Tinggal bagaimana kita pandai-pandai mengambil hikmahnya. Matur nuwun pak Priono atas pelajarannya yang sangat berharga dan bermanfaat ini....


foto: fesabilillah

Kamis, 11 Desember 2008

Nggih!

Di Solo kami punya tetangga. Orang tua saya biasa menyebut sosok ini dengan Mas Basir. Akhirnya saya dan kakak juga ikut-ikutan memanggil dia dengan Mas, bukan Pak.

Orang ini sangat bersahaja. Ya, terpaksa bersahaja karena dulu kehidupannya memang sangat pas-pasan. Tapi kebersahajaan Mas Basir bukan bersahaja terpaksa meski dulu hidupnya memang terpaksa bersahaja. Bingung?

Keahlian dasar Mas Basir adalah tukang batu. Tapi dia punya multi kemampuan: bikin tembok, tukang kayu, betulin listrik, bikin lemari, bahkan gali sumur. Bahasa kerennya multi tasking meski kalau di-Indonesiakan arti sebenarnya adalah serabutan. Mas Basir ini memang 'produktif'. Meski tukang batu anaknya ada 6 (enam).

Ternyata mengandalkan pekerjaan sebagai tukang batu betul-betul sangat repot mengelola kehidupan. Untuk mengimbangi kebutuhan hidup pada malam hari Mas Basir juga berjualan gorengan. Apa pun digoreng. Kalau yang digoreng tahu, tempe, atau pisang sudah biasa. Tapi Mas Basir menggoreng apa saja: nanas, pepaya, dan buah-buahan lain. Pokoknya apa pun digoreng. Mirip dengan ANIN Rumah Batik. Apa pun yang masuk di ANIN Rumah Batik bakalan dibatik.

Kalau dagangan gorengannya kurang laku, masih banyak yang tersisa, Mas Basir membagikannya kepada para pemuda yang biasa nongkrong di masjid atau di pos kamling. Kalau ada yang berniat membayar dia menolak. "Inilah sedekah yang bisa saya lakukan," katanya.

Yang juga menarik dari Mas Basir adalah kemampuannya untuk tidak berkata 'tidak' kalau ada yang minta tolong kepadanya. "Orang kan diperintahkan sedekah mas. Saya bisanya baru sedekah tenaga, ya inilah sedekah saya," katanya pada suatu ketika.

Karena selalu berkata 'nggih' maka tenaga Mas Basir selalu menjadi rujukan pertama kalau ada kegiatan-kegiatan yang memerlukan tenaga fisik. Kalau ada yang punya hajat Mas Basir juga selalu dipanggil karena mukanya selalu senyum kalau ada yang nyambat tenaganya. Alhasil jarang dia terlihat nganggur di rumah.

Meski kelihatan begitu santun, baik, dan dermawan bukan berarti tidak ada ujian yang diterimanya. Karena mukanya selalu cerah tidak ada yang tahu kalau pada saat itu dia betul-betul tidak punya beras satu butir pun. Tidak ada yang tahu pasti berapa hari dia dan keluarganya tidak makan nasi. Hingga pada suatu hari ibu saya berniat memberikan beras zakat fitrahnya kepada Mas Basir. Ibu saya sangat kaget ketika malam itu Mas Basir menerima beras, "Alhamdulillah lare-lare saget nedho." Alhamdulillah sekarang kami bisa makan (nasi).

Cukup susah Ibu saya menceritakan kejadian itu kepada kami. Ibu sangat susah menggambarkan suasana malam itu. Kata-kata yang Beliau ucapkan tidak cukup mampu menggambarkan suasana yang terjadi. Mas Basir pun tidak bersedia mengaku sudah berapa lama tidak menyentuh nasi. Masih ada beberapa ujian lagi yang harus diterima Mas Basir tapi yang paling saya ingat ya kejadian beras fitrah itu.

Cerita di atas adalah kejadian masa lalu. Karena begitu ringannya Mas Basir membantu orang lain maka Allah juga meringankan langkahnya. Mas Basir sudah cukup menabung. 'Tabungannya' adalah kejujuran dan suka membantu yang lain. Kini dia sudah tidak lagi jualan gorengan. Spesialisasinya masih tukang batu. Tapi kini dia juga 'memegang' motor. Dia menjadi dealer tidak resmi motor.

Secara 'tidak sengaja' usaha 'sampingannya' adalah jualan motor. Usaha sampingan yang jauh lebih besar dari pada usaha utama. Kalau ada yang ingin membeli motor cukup bilang kepadanya. Maka motor yang kemudian dibawa Mas Basir kepada pemesan pasti motor yang baik. Sebaliknya kalau ada yang ingin menjual motor tinggal bilang kepada Mas Basir. Biasanya tidak lama dia bisa mendapatkan pembelinya.

Sehari-hari dia memang pakai motor tapi motor yang dia pakai sering sekali ganti. Karena orang sudah begitu percaya kepadanya maka kalau dia memakai motor berarti motor itu jaminan bagus. Biasanya motor yang dikendarai Mas Basir sering ditaksir orang. Begitu juga dengan anak-anaknya. Keenam anaknya punya prestasi yang membanggakan. Bahkan salah satunya jadi penghafal Qur'an.

Itulah kehidupan. Kehidupan adalah 'cermin' bagi kita. Apa pun yang kita tabur akan kita tuai di kemudian hari. Maka mulailah menabur kebaikan hari ini...

ilustrasi: prayudi

Selasa, 02 Desember 2008

Modar (MOdal DAsaR)

Ini cerita istri saya:

Minggu lalu dua orang penjual (sales) mampir di outlet kami. Mereka membawa panci-panci yang harganya di atas rata-rata harga panci di pasaran. Sekilas panci yang mereka bawa memang mempunyai kualitas lebih baik dibanding dengan panci yang biasa ada di pasar.

Dua orang ini sebenarnya tidak menawarkan dagangannya kepada kami. Mereka menawarkan kepada seorang ibu yang kebetulan sedang mampir di outlet kami. Karena settingan tempat kami adalah semacam "ruang tunggu", maka dua pemasar ini kami persilahkan masuk.

Dari dua orang ini kelihatan sekali bahwa salah satu dari mereka nilai penjualannya pasti lebih tinggi dibanding temannya. Dia pinter sekali mengajak calon pembelinya ngobrol sehingga diantara penjual dan (calon) pembeli ada semacam keterikatan. Dan karena sudah terjalin "keterikatan", maka sang konsumen jadi merasa tidak enak dan kikuk kalau tidak membeli barang dagangan mereka. Dan meski sang konsumen akhirnya berhasil lolos dari "jebakan" harus beli, lolosnya tidak mudah.

Istri saya yang memperhatikan bagaimana penjual ini mempengaruhi konsumennya akhirnya tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya. Singkatnya, sang sales akhirnya bercerita bahwa saat ini dia "memegang" empat produk dari empat perusahaan yang berbeda. Sebuah prestasi yang tidak kecil. Biasanya seorang sales hanya bisa menjajakan produk dari satu perusahaan. Biasanya setiap pagi dan/atau sore ada semacam apel yang ditujukan bagi para penjual untuk mengevaluasi kinerja mereka pada hari tersebut. Tapi, bagi sales yang mampir di tempat kami, dia jarang mengikuti apel itu.

"Saya tidak pernah ikut apel bu. Biasanya sih dipecat tapi ternyata nama saya tetap tercantum sebagai tenaga pemasar di sana. Mungkin karena saya selalu bisa memenuhi target, jadi tetap saja tercantum," katanya.

Yang dikatakan sangat mungkin benar. Bagi perusahaan, mungkin, yang penting adalah seorang penjual bisa menjual, terserah dia masuk kantor atau tidak.

"Mbak, kalau sampeyan punya kemampuan menjual bagini bagus, mengapa tidak bisnis saja sendiri, tidak bergantung pada perusahaan?" tanya istri saya.

"Abis bagaimana ya bu, saya kan belum punya modal," jawabnya.

Sebuah jawaban yang aneh. Sebagai seorang pemasar yang andal ternyata pola pikirnya masih "kaca mata kuda". Pola pikirnya masih modal identik dengan duit.

"Mbak, modal anda sudah besar. Kemampuan menjual itulah modal yang sangat besar," bantah istri saya. Tapi, anehnya, tetap saja sang panjual ini belum mengerti.

Mindset bahwa yang namanya modal adalah identik dengan uang ternyata memang sudah masuk ke alam bawah sadar mayoritas orang. Jarang sekali yang melihat bahwa potensi yang dimiliki seseorang adalah modal yang sebenarnya sangat besar. Maka menjadi mudah menjelaskan fenomena mengapa seseorang yang ingin jadi pengusaha tidak kunjung action karena pola pikirnya belum berubah. Pola pikir modal identik dengan duit.

Menunggu Godot

Hari minggu kemarin saya bertemu dengan seorang sahabat. Dia punya bisnis souvenir atau cinderamata. Sebenarnya perusahaan itu bukan dia yang merintis tapi 'warisan' ayahnya. Sahabat saya ini punya tempat yang sangat strategis. Dia juga punya banyak pelanggan potensial. Pelanggan yang jarang menawar harga yang dia sodorkan. Sebuah bisnis ideal, pikir saya.

"Mas, sekarang ini pasar saya lesu. Modal kami banyak tersedot ke tempat lain. Seandainya ada tambahan modal pasti saya bisa menambah varian produk. Pengalaman saya kalau variannya banyak omsetnya pasti bagus. Sayang sekali dana yang saya harapkan tak kunjung ada," keluhnya. "Wah, menunggu godot," pikir saya.

"Sampeyan kan punya tempat bagus?" tanya saya.

"Betul tapi modal yang nggak ada," jawabnya.

Jawabannya membuat saya sangat heran. "Siapa bilang sampeyan nggak punya modal. Lokasi strategis itu kan modal yang sangat besar. Dan modal ini bertambah besar lagi karena anda punya pelanggan potensial yang tidak sensitif harga," sergah saya.

"Maksudnya?" sahabat saya ternyata masih bingung dengan pernyataan saya.

"Coba sampeyan datang ke pembuat atau pemilik produk. Nego dengan mereka. Ceritakan kondisi anda (lokasi, pelanggan potensial, dan sebagainya). Ceritakan semuanya. Bilang pada mereka kalau anda ingin menjualkan barang mereka. Sampeyan bilang saja ingin pinjam barang sekitar tiga hari. Kalau tidak laku barang dikembalikan."

"Bagaimana kalau mereka tidak percaya saya. Kan mereka tidak kenal saya."

"Ajak mereka ke tempat anda. Kalau perlu suruh dia nongkrong beberapa jam supaya bisa melihat profil pelanggan anda."

Sahabat saya terdiam. "Boleh juga dicoba," katanya.

"Dengan cara ini semuanya untung. Anda nggak perlu keluar uang sedangkan pemilik barang juga senang karena barangnya mendapat pasar yang bagus. Mereka pasti mau kalau sudah melihat konsumen anda," kata saya.

Sebenarnya tiap orang sudah mempunyai modar (MOdal DasAR) nya sendiri-sendiri. Tapi jarang yang melihat kelebihan modar masing-masing. Maka yang terjadi adalah ya... modar beneran. :)

ctt:
modar (bhs jawa)= KO, mati, dsb.