Khazanah budaya adalah kekayaan sebuah bangsa. Sebuah bangsa bisa menjadi besar dan disegani kalau mereka mampu mempertahankan ciri khasnya. Jepang, Cina, Korea adalah contoh bangsa yang menjadi besar dan maju dengan tetap memegang teguh bahasa dan ciri khas kulturnya. Sedangkan kita menjadi bangsa yang sering dilecehkan karena sering silau dengan bahasa dan budaya orang lain.
Tulisan berikut cukup menarik. Saya menyalin tulisan ini dari Pemkab Sragen, Jawa Tengah.
-----------------
Memasuki desa Pilang Kecamatan Masaran, tepatnya di Dusun Jantran terdapat sebuah rumah yang kini ditempati seorang pembatik tua, bahkan bisa dibilang paling tua di antara pembatik-pembatik tua yang masih tersisa di desa Pilang. Teman-teman sebayanya dulu yang sering membatik bersamanya kini telah tiada semua.
Mbah Towirejo, begitu orang-orang menyebutnya. Perempuan tua berbadan kurus yang tak pernah menyerah dengan kerentaannya. Telinganya sudah tidak bisa mendengar secara jelas. Untuk berkomunikasi, seseorang harus mendekatkan mulutnya ke dekat telinga wanita empat anak ini.
Cara berjalannyapun sudah membungkuk dan sedikit terhuyung-huyung, sehingga harus dibantu seseorang agar tidak jatuh. Namun sesekali ia berjalan sendiri sambil merambat berpegangan pada dinding-dinding rumah kayu yang kini ia tempati bersama anak keduanya.
”Umur ibu saya sekitar 102 tahun, teman-teman sebayanya sudah meninggal semua, tinggal ibu saya yang masih setia mempertahankan batik tradisional” tutur Sayem(67), anak kedua mbah Towirejo.
Kebiasaan membatik sudah dilakoninya sejak umur sepuluh tahunan. ”Dulu sewaktu ibu masih muda dan saya masih kecil, ia sering bercerita kepada saya, sewaktu umur sepuluh tahunan sudah diajari simbah saya (ibu mbah Towirejo) untuk membatik. Sekitar umur dua belasan tahun ia sudah mahir membatik” jelas Sayem.
Gurat-gurat seorang pekerja keras jelas terpancar di kerutan-kerutan wajah mbah Towirejo. Meski sudah uzur sinar matanya masih bening tajam menatap setiap orang yang ia temui. Sewaktu muda, ia sering membatik sampai subuh pagi, kemudian tidur sebentar dan sebelum matahari memancarkan sinarnya, si Sabruk, nama kecil mbah Towirejo, sudah bangun untuk melanjutkan membatik. ”Dulu ketika masih muda, saya sering membatik, hingga menjelang subuh ”cerita mbah Towirejo, sambil berkaca-kaca. Pikirannya terlihat menerawang jauh ke masa silamnya.
”Dulu bayarannya sedikit mas, hanya cukup untuk makan. Sewaktu muda, kalau membatik saya selalu bersama-sama ibu dan saudara-saudara saya, sekeluarga kami semua pembatik kecuali ayah saya, seorang buruh tani” tutur mbah Towirejo. Meski sudah uzur, cara bicaranya masih tegas dan jelas.
Ayah si Sabruk, dulu harus berjalan kaki seharian untuk mengambil kain ke Pasar Kliwon Solo di tempat Juragan Batik bernama Tuan Kadir. Setiap dua minggu sekali ayahnya selalu ke Solo untuk mengambil kain maupun menyetorkan hasil batikannya. Jam dua belas malam, ayahnya sudah mulai berjalan menyusuri malam menuju kota Solo, sendirian. Memang kala itu pembatik-pembatik di sini belumlah banyak seperti sekarang. ”Jalan menuju kota belum baik seperti sekarang, ayah saya harus menyusuri jalan-jalan desa, kadang juga lewat Plupuh dengan menyeberang sungai Bengawan Solo,” cerita mbah Towirejo.
Sekitar delapan jam perjalanan barulah sang ayah tiba di Solo. Sampai di rumah kembali sore hari atau Azdan Magrib berkumandang. Rutinitas ini dilakoni ayahnya hingga tahun enam puluhan. Ketika anak keduanya, Sayem, menginjak dewasa dan menikah, suami anaknya merintis untuk menjadi juragan batik. ”Saya dan suami, bisa dibilang juragan batik pertama di desa Kliwonan dan desa Pilang,” tegas Sayem. Sejak itu, mbah Towirejo bekerja pada Juragan Batik Sayem anaknya sendiri. Suami mbah Towirejo tidak perlu susah-susah berjalan kaki ke Solo lagi untuk menyetorkan maupun mengambil kain batik.
Keahlian
Di balik kerentaannya itu, ada satu hal yang sangat menonjol. Mata perempuan ini masih tajam dan seperti tak pernah lelah ketika menorehkan lekuk demi lekuk garis dalam selembar kain.
Tangan kanannya yang memegang canting tidak terlihat bergetar saat mengguratkan malam yang dicairkan dengan bara kayu jati ke atas kain putihan yang membentang di hadapannya.
Sambil bercerita, ia masih memegang canting dan mengoreskan ukiran-ukiran batik di selembar kain. Anehnya di lebar kain putih tersebut tidak terdapat gambaran pola batik. Rupanya mbah Towirejo mempunyai keahlian tersendiri yang tidak dimiliki oleh teman-teman pembatik lainnya sejak jaman dulu.
Sayem menyatakan bahwa sejak kecil ibunya mempunyai keahlian tersendiri dalam membatik yang jarang tidak dimiliki oleh pembatik-pembatik lainnya di desa Pilang maupun Kliwonan. Setiap membatik dia tidak mau kain sebagai bahan dasar membatik sudah digambari atau diberi pola. Ia lebih senang berkreasi di lembaran kain polos, serta langsung mengoreskan cantingnya tanpa mengeblat pola, dan hasilnya malah lebih bagus”.
Motif Rumit
Sampai kini ia masih hafal betul motif-motif batik. “Motif-motif yang saya kuasai sejak dulu adalah motif Sidomukti, Sidoluhur, Sekar Jagad, Gringgring, Parang, Sidodrajad dan Semen Rantai,” cerita mbah Towirejo dalam bahasa Jawa. Sampai sekarang pun ia masih mahir mengoreskan setiap jenis motif tersebut tanpa harus mengeblat pola.
Menurut Sayem, konon Mbah Towirejo bisa menyelesaikan sebuah motif sekar jagad yang cukup rumit dalam waktu dua hari. ”Padahal, saya yang lebih muda saja harus menyelesaikan motif itu dalam 1 minggu,” tuturnya.
Ya, Mbah Towirejo memang sangat mahir. Melihat dia beraksi di atas kain, seolah-olah seperti melihat gerakan pembatik muda. Garis-garis yang dibuat sangat halus. Titik-titik juga dibuatnya dengan sangat teliti, sangat runtut meski tidak mengeblat pada pola. Beberapa pembatik muda justru kalah dari Mbah Towirejo.
Sejak kecil, Mbah Towirejo memang telah bergelut dengan malam, canting, dan kain. Tak urung, puluhan tahun yang telah dilewatinya untuk membatik itu membuatnya menjadi sangat piawai dalam membuat motif.
”Sekarang ibu sebetulnya sudah saya larang untuk membatik karena kasihan, usianya sudah uzur. Namun sekali saya perbolehkan membatik, sekedar untuk hiburan, beliau kadang jadi lupa waktu, seharian penuh ia bisa membatik terus,” cerita Sayem.
Jarang Sakit
Kebiasan membatik dari pagi hingga subuh, yang telah dilakoni sejak kecil dulu, tak menjadikan mbah Towirejo menjadi rentan terhadap penyakit. Justru ia mengaku tak pernah menderita penyakit serius. “Paling hanya masuk angin atau pusing-pusing, setelah minum jamu sembuh dan sehat kembali,” ungkap mbah Towirejo.
Menurut mbah Towirejo untuk tetap sehat dan jarang sakit resepnya sangat sederhana, yakni banyak minum air putih dan minum jamu, serta jarang mengkonsumsi makanan yang mengandung kolesterol. Sedang lauk kegemarannya yang sering menemani setiap makan adalah bothok mlanding (bothok pete cina).
Penghargaan
Keahlian membatik mbah Towirejo kini telah diteruskan oleh para anak cucu dan masyarakat lainnya di desa Pilang dan Kliwonan. Sudak tak terhitung lagi berapa jumlah anak cucu ataupun warga dari desa-desa disekitarnya yang telah ia ajari membatik. Di usia senjanya mbah Towirejo berharap agar seni membatik yang merupakan warisan budaya yang adiluhur dari nenek moyang dapat tetap dilestarikan.
Pada tahun 2004, mbah Towirejo pernah mendapatkan penghargaan dari Bupati Sragen Untung Wiyono. Pemerintah Kabupaten Sragen memandang dia telah berjasa dalam kepeloporan, keteladanan dan pelestarian warisan tradisional leluhur bangsa indonesia yakni kerajinan batik. Penghargaan berupa Piagam ADI KARYA NUGRAHA Tahun 2004 tersebut diserahkan Bupati Sragen kepada mbah Towirejo, bersamaan dengan peresmian menara pandang di Sangiran.