Di tengah maraknya busana batik yang jadi tren saat ini, ada kisah menarik tentang 'pemilik' industri batik yang sesungguhnya. Tulisan di Kompas hari ini cukup menarik untuk direnungkan.
Dari tulisan ini saya baru tahu kalau Pemerintah sesungguhnya sudah berniat menjadikan batik sebagai pakaian nasional, menggantikan jas. Sebuah niat visioner.
Tulisan ini saya ambil dari Harian Kompas, 21 Agustus 2008, dengan judul yang sama.
--------------------
Batik adalah rangkaian ribuan titik. Namun, usianya tidak hanya sesaat seperti saat mata canting meneteskan titik demi titik malam (lilin untuk membatik) cair. Rangkaian itu sekaligus menyimpan seribu satu cerita, suka-duka, sedih-gembira, tangis- tawa. Pendeknya, setiap mata canting merekam setiap hela napas si pembatik dalam titik malam yang menetes.
Kalau yang sudah terampil, satu kain dapat diselesaikan dalam waktu satu bulan. Tetapi, bisa juga jadi lama, apalagi kalau hatinya sedang susah. Membatik itu kan seperti melukis juga,” kata Nila, pembatik yang bekerja di rumah produksi batik di Pekalongan, Jawa Tengah.
Seorang pembatik sepuh di Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pernah mengatakan, membatik itu bukan hanya bekerja. Membatik juga melibatkan batin si pembatik. Jika ingin menghasilkan batik tulis yang halus, hati si pembatik tidak boleh gundah, curiga, dan menyimpan prasangka atau menyimpan niat untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari karya itu. ”Selain niat, batin harus tulus. Tidak bisa membatik dengan rasa hati selalu dikejar-kejar,” katanya.
Meskipun tidak mengenal atau bertemu dengan pembatik sepuh dari Imogiri itu, tampaknya Nila membenarkan ungkapannya. ”Bisa juga, untuk mengejar penghasilan, kami membatik cepat, tetapi hasilnya jelek. Hati jadi tidak sreg,” kata Nila.
Hati harus tenang, Jika perlu membenamkan dalam-dalam kegundahan yang mungkin saja sempat datang mengganggu.
Industri
Datang setiap pagi dengan mengendarai sepeda tua miliknya, Nila mesti bekerja seharian demi upah Rp 6.000 ditambah uang makan Rp 2.500. Jika mengambil borongan, ia bisa memperoleh tambahan Rp 40.000 untuk setiap lembar kain yang ditulisnya.
Demikian juga Paleha. ”Karena masih baru, upah harian saya Rp 8.500, termasuk uang makan. Yang sudah empat atau lima tahun mendapat upah Rp 10.000,” kata Paleha, pembatik di Wiradesa, Pekalongan.
Paleha yang masih ikut orangtuanya harus bersusah payah mengatur pengeluaran. Ia mesti lentur menyiasati hidup, selentur ketika tangannya membatik. Ia menjadi sandaran kehidupan keluarga, apalagi ibunya yang mewariskan keahlian membatik sudah berangsur tua dan tidak kuat lagi membatik.
Untuk menambah pemasukan, Paleha ikut kerja borongan. ”Dalam keadaan sekarang, sangat sulit mengatur pengeluaran dan pemasukan sebesar itu,” kata Paleha, yang bertugas memopok atau melapisi bagian-bagian tertentu pada kain dengan lilin cair atau malam.
Sebagai ilustrasi, upah minimal di Kota dan Kabupaten Pekalongan untuk tahun 2008 sebesar Rp 615.000, sementara upah minimal rata-rata untuk Jawa Tengah masih Rp 601.418,92.
Pekalongan telah tumbuh menjadi satu pusat batik di Indonesia. Di sepanjang jalan utama dan lorong-lorong kota itu, sangat gampang ditemui gerai dan pusat produksi batik rumahan. Geliatnya telah menarik ratusan ribu warga, termasuk Nila dan Paleha, dalam kerja budaya yang telah menjadi industri itu. Ada ribuan anak putus sekolah terlibat dalam rangkaian kerja industri yang telah mengubah wajah Pekalongan.
Sebagian dari mereka bertugas menulisi kain sutra atau katun putih dengan malam-cair seturut pola motif yang telah digambar. Ada pula yang mewarnai, membuat pola, melepaskan lilin, hingga membuat batik cap. Motif yang dibuat antara lain jawa hokokai dan jelamprangan. Juga ada motif pakem batik Solo atau Yogyakarta, seperti Kawung, Parang Rusak, atau Sidomukti.
Dalam dua tahun terakhir ini, kerajinan dan industri batik di Pekalongan maju pesat. Seiring niat pemerintah menjadikan batik sebagai pakaian nasional pengganti jas, batik tak lagi menjadi ciri khas pakaian orang tua. Tahun ini batik telah menjadi arus utama mode di kalangan anak muda.
Bukan hanya pemilik industri batik yang meraup keuntungan dari ledakan itu. Warga pinggiran dan anak-anak putus sekolah pun memperoleh penghasilan sebagai pekerja pada industri batik. Namun, di tengah kemeriahan itu, kehadiran mereka masih sebatas penikmat remahan kue besar industri batik di Pekalongan. ”Perlu modal besar jika ingin membatik sendiri. Jika sekarang masih ikut orang, ya dijalani dulu,” kata Nila.
Pembatik
Kesabaran, itulah kekayaan sebenarnya para pembatik. Begitulah kebijakan si pembatik meskipun kain itu nantinya tidak lagi menjadi miliknya. Setiap hela napas dan batinnya terekam kuat dalam keindahan karya budaya itu.
Setelah semua proses usai, selembar kain batik tulis halus bisa jadi berharga jutaan rupiah. Nyaris dapat dipastikan si pembeli tidak mengenal siapa si pembatik sesungguhnya. Namun, dari sudut pandang lain, bisa jadi si pembeli hanya memiliki lembaran kain batik yang indah dan mahal itu, tetapi ada ”pemilik” lain yang dengan tulus tinggal di balik bilik-bilik rumah pembatikan di Pekalongan.
Merekalah sang pemilik sesungguhnya, mereka yang meneteskan titik demi titik malam cair menjadi lukisan nan menawan….
sumber foto: inori2000
yupz! saya makin cinta dengan Pekalongan, kota kelahiran saya. saya harap batik idak hanya mampu bersaing di kancah nasional, melainkan mampu menembus pasar mode internasional. walalupun sebagian wong mbatik Pekalongan bukan berasal dari golongan terpelajar, namun mereka boleh merasa bangga ketika ,elihat kreasi-kreasi tangan mereka sering nongol d TV nasional.
BalasHapus