Hari ini kita memperingati Hari Ibu. Ingin sekali saya membuat tulisan khusus mengenai sosok yang paling berperan dalam hidup kita. Namun sayang sekali saya tidak punya cukup ide yang bisa menggambarkan keagungan Ibu kita.
Tulisan berikut ini saya buat tahun lalu, juga untuk memperingati Hari Ibu.
**************
Kata mereka diriku slalu dimanja,
Kata mereka diriku slalu ditimang
oh bunda,
ada dan tiada dirimu kan selalu
ada di dalam hatiku....
Penggalan syair "Bunda" karya Melly Goeslaw yang dinyanyikan pada 21 April lalu begitu sahdu, hidmat, dan sangat menyentuh. Begitu sahdunya sehingga membuat hampir semua pengunjung acara di MetroTV saat itu tidak mampu menahan air matanya... termasuk saya yang menyaksikan dari rumah
Siapa pun orangnya, dari bangsa mana pun dia, mempunyai nilai universal tentang seorang ibu. Tidak peduli kalangan berpendidikan tinggi atau rendah, kelas ekonomi atas maupun ekonomi paling bawah, apakah dia seorang ulama atau residivis, semua akan tersentuh manakala di hadapannya diperlihatkan sosok seorang ibu. Ibu yang tegar, mencintai dengan tulus, rela mengorbankan apa pun demi kebahagiaan anaknya.
Ibu adalah sosok nyata tentang nilai cinta yang tulus. Cinta yang ikhlas. Cinta yang total. Tidak ada cinta yang melebihi ketulusan cinta seorang ibu. Mencintai adalah memberi. Ikhlas adalah melepas keinginan untuk dibalas. Seorang ibu akan memberi apa pun yang dia punya tanpa sedikit pun mengharapkan balasan dari anak-anaknya. Seorang ibu akan merasakan kebahagiaan yang berlimpah manakala melihat anak-anaknya mampu tertawa lepas. Lepas dari beban kehidupan. Beban itu cukup lah jadi 'beban' ibu saja.
Begitu totalitasnya seorang ibu terhadap kebahagiaan sang buah hati, maka hanya Tuhan yang mampu membalas keikhlasannya. Tidak ada seorang anak di dunia mana pun yang bisa membalas jasa ibunya. Maka jangankan seorang anak durhaka kepada bunda, hanya berkata 'ah' saja kepada sang ibu, sudah membuat Allah murka kepada seorang anak. Dan jika seorang anak berani menyakiti hati sang ibu berarti dia langsung berhadapan dan menantang sang khalik. Kita semua tentu sudah tahu resikonya : Hidupnya tidak mungkin bahagia dan berkah.
Seorang ibu selalu rela 'pasang badan' manakala ada yang kurang baik pada sang buah hati. "Anak ini kok tidak terurus, bagaimana sih ibunya?" adalah komentar pertama yang dilontarkan masyarakat bila melihat ketidak beresan seorang anak.
"Anak ini bandel sekali, kemana saja sih ibunya?" komentar yang lain
"Anak kok tidak pernah sarapan, emang ibunya tidak pernah memasak?" kata guru kelasnya.
Ibu juga selalu menjadi tumpuan kesalahan. Rumah tidak bersih, mainan anak berantakan, nilai sekolah anak jeblok, anak bandel, anak lapar, anak jatuh dari sepeda, dan sebagainya. Tetapi ketika semua keadaan jadi baik dan menyenangkan: Anak mendapat ranking di kelasnya, suasana rumah nyaman & bersih, maka sangat jarang pujian dialamatkan kepada sang ibu. Dan ibu tidak pernah protes untuk semua perlakuan yang tidak seimbang ini.
Dan ketika masa senja menjemput hari-harinya, ibu pun tidak pernah protes mengapa semua anaknya hidup menjauh dari sisinya. Dia sudah merasa nikmat hanya ditemani suami dan keheningan rumah yang telah banyak menorehkan catatan sejarah anak-anaknya. Rumah yang menjadi saksi bagaimana semuanya tumbuh dan berkembang.
Seorang ibu akan sangat berbahagia manakala telepon rumahnya berdering, dan dari seberang sana terdengar suara yang sangat akrab di telinganya: suara anak-anak dan cucun-cucunya.
Jadi mulai lah menambah frekwensi suara kita di telinga sang ibu. Kebahagiaan ibu mampu mempercepat upaya kita menggapai mimpi. Ridlo ibu mempermudah kita 'menemukan' jalan yang tepat.
"SELAMAT HARI IBU"