Pertandingan bulutangkis kelas dunia, Djarum Indonesia Open (DIO) 2011, menjadi ajang bagi desainer Oscar Lawalata untuk memperkenalkan rancangan pakaian tradisional khas Indonesia bagi atlet olahraga tersebut. Pada tahun ini, para peserta mendapatkan "traditional experience". Jika tahun lalu peserta diberikan pelajaran dan kesempatan untuk membatik, tahun ini mereka akan mengenakan baju batik rancangan Oscar Lawalata, salah satu designer kenamaan Indonesia.
"Saya membuat sepuluh potong baju, masing-masing lima untuk perempuan dan laki-laki," ujar Oscar yang ditemui dalam acara jamuan makan tersebut, Selasa malam.
Ia mengatakan, tema rancangan yang menggunakan bahan batik Kudus tersebut bukan hanya elegan dan sporty, tetapi juga simpel, kasual namun tetap tampil beda.
"Saya melakukan riset dulu mengenai fisik calon pemakainya," kata saudara kandung artis Mario Lawalata yang mengaku mendapat permintaan untuk merancang busana tersebut sekitar satu setengah bulan lalu.
"Sebagai tuan rumah, tentu kami ingin menjamu dengan baik semua peserta yang telah jauh-jauh datang ke negara kita. Selain itu, kami ingin mereka mengetahui sedikit tentang budaya Indonesia, untuk itulah kami membalut nuansa welcome dinner yang biasanya berkesan western menjadi khas Indonesia," ujar perwakilan PT Djarum, Roland Halim.
Oscar adalah seorang designer yang kerap menggunakan kain-kain khas Indonesia dalam karyanya. Dengan ratusan klien, dan menjadi salah satu designer tersukses di Tanah Air, Oscar pun tercatat pernah mengadakan fashion show batik di Amerika Serikat pada 2009, kemudian pada 2010 dia mengeluarkan koleksi busana rancangannya dengan bahan dasar tenun ikat. Untuk para atlet DIO kali ini, Oscar menggunakan batik Kudus sebagai bahan dasar rancangannya.
Beberapa atlet yang tampak mengenakan batik pada malam itu adalah Taufik Hidayat, Lee Chong Wei, Peter Gade, Tine Baun, Lindaweni Fanetri dan Maria Febe Kusumastuti.
Selain itu, Peter Gade dan Tine Baun sempat mencoba membuat shuttlecock. "Saya mungkin baru bisa menyelesaikannya dalam tiga jam," kata Peter.
sumber: bisniscom, antaranews
foto: kaskus.com
Kamis, 23 Juni 2011
Senin, 06 Juni 2011
Citraan Batik dari Cakrawala
Pelukis asal Inggris mengabadikan lanskap Jawa dan Bali dengan teknik melukis dan teknik batik.
-----------
Langit itu bak menyemburkan awan hitam. Terasa ada gerak yang kuat memutar pada awan itu, seperti didera kekuatan angin. Warna kelam kontras dengan cahaya benderang putih dan kemerahan yang makin menghasilkan kesan energi yang bergelora. Di bagian bawah, ada hamparan citraan surealistik. Sejumlah alur berbentuk garis zigzag menampilkan refleksi gelora awan hitam di cakrawala, dan alur yang berhiaskan garis-garis yang mirip pola hias batik.
Adalah Sandy Infield yang melukiskan gelora awan hitam itu di atas kanvas dengan teknik batik dan lukisan. Dia memberi judul dua karya yang mirip Pools in Reflect Mount Merapi Eruption. Seniman asal Inggris ini terinspirasi dari pemandangan Gunung Merapi dari udara menjelang pendaratan di Bandara Adisutjipto. Dia memamerkan 39 karyanya di Sangkring Art Space Yogyakarta bertajuk �Patterns of Belonging: Homage to Java�, 22 Mei-6 Juni.
Berbekal naptol dan cat akrilik, Sandy merespons hamparan pegunungan dengan motif batik. Garis-garis dekoratif berupa paduan dua segitiga yang saling mengisi, seperti biasa ditemui di tepian kain batik, dilukis untuk memetakan hamparan sawah dan pegunungan.
Model yang sama juga dijumpai dalam karyanya yang lain. Tengger Masif 2, misalnya, atau Mount Agung Landscape dan Mount Agung Leaving Bali. Masing-masing lukisan itu dibuatnya pada tahun yang sama, 2010. Cokelat dan gelap warna gunung berpadu dengan biru lautan, dikombinasikan dengan garis dekoratif batik yang menjadi hamparan daratan. �Semua karya Sandy dibuat di Bali,� kata kurator pameran, Kadek Krishna Adidharma, kepada Tempo kemarin.
Bermula pada 2009, Sandy datang ke Yogyakarta untuk belajar bahasa Indonesia. Seniman alumnus Slade School of Fine Art, Inggris, ini berangkat dari Bali menggunakan pesawat terbang. Di atas udara, menjelang mendarat, dia begitu terpesona oleh pemandangan di bawah. Di Yogyakarta, dia banyak berkenalan dengan pembatik, dan menyerap teknik membatik. Sebagai seniman visual, motif batik dan cara pembatik bekerja itulah yang lantas mendorongnya mengkombinasikan dengan lukisannya.
Sandy melukis dengan memunculkan gambar serta mengkombinasikan dengan teknik pencelupan warna seperti pada membatik. �Ekspresinya (karya yang dihasilkan) abstrak,� kata Kadek. Dari pengalamannya berkenalan dengan teknik membatik, Sandy menemukan ada satu keterkaitan antara motif batik dan pemandangan (landscape) alam di Jawa. Hamparan petak-petak sawah, gunung, dan awan yang berarak tak beraturan adalah inspirasi motif-motif batiknya.
Citraan yang berbeda pernah dihasilkan Linda Kaun, pelukis asal Amerika Serikat, yang menggunakan teknik batik menghasilkan citraan realis.
sumber: Koran Tempo
Sabtu, 04 Juni 2011
Batik Gentongan Menyiasati Zaman
Tarimah (70) membawa selembar kain batik yang sudah selesai diberi malam. Badannya yang bungkuk berjalan pelan-pelan menyusuri lorong kecil di samping rumahnya. Langkah kakinya terdengar berat menapak.
Melalui lorong tadi, Tarimah menuju ke bagian depan rumahnya yang berada di Desa Paseseh, Kabupaten Bangkalan, Madura. Di situ terdapat bilik kecil berukuran sekitar 2 meter x 1,5 meter persegi yang terbuat dari tripleks tanpa jendela. Begitu pintu dibuka, secercah cahaya menerangi ruangan.
Tarimah masuk ke dalam bilik lalu mulai mencelupkan kain yang dibawanya ke dalam sebuah gentong kecil terbuat dari batu kali. Gentong itu usianya sudah lebih dari 100 tahun, jauh lebih tua dari usia Tarimah sendiri. Menurut Mahrufah (35), anak Tarimah, gentong itu peninggalan nenek Tarimah.
Paseseh adalah salah satu desa di Kecamatan Tanjungbumi, Bangkalan. Sejak lama masyarakat Tanjungbumi secara turun temurun menjadi pembatik yang proses pewarnaannya menggunakan gentong batu.
Menurut Muhammad Saad Asjari, budayawan asal Bangkalan, gentong batu sudah digunakan masyarakat Tanjungbumi untuk proses pewarnaan batik sejak abad ke-17. Teknik pewarnaan dengan cara mencelupkan kain yang sudah diberi malam ke dalam gentong membuat batik Tanjungbumi dikenal dengan nama batik gentongan.
Selain Paseseh, ada dua desa lain yang sampai sekarang masih membuat batik gentongan, yaitu Tanjungbumi dan Bandangdaja. Di ketiga desa itu hanya tinggal beberapa orang yang menguasai teknik gentongan. Mereka sudah tua dan kemudian mewariskan keterampilannya kepada anak-anaknya.
”Biasanya yang bisa memberi pewarnaan dengan gentong ya hanya keturunan mereka saja. Jarang sekali keahlian itu diwariskan kepada orang di luar garis keturunannya,” kata Maemunah, perajin batik gentongan yang kini memiliki galeri batik Pesona Madura.
Kearifan
Dari serangkaian panjang pembuatan batik di Tanjungbumi, pewarnaan menggunakan gentong merupakan proses paling penting dan sulit. Diperlukan ketekunan, ketelitian, serta keahlian meramu bahan-bahan pewarna alami, seperti kulit mengkudu, kulit mundu, kulit buah jalawe, kayu jambal, kayu jirek, dan lain sebagainya.
Pewarnaan dengan gentongan memerlukan waktu panjang, yaitu minimal enam bulan untuk satu kain batik. Selama itu pula, seorang pembatik harus berulang kali mencelupkan kain batik ke dalam gentongan lalu mengangin-anginkan di pekarangan rumah.
Proses gentongan ini sarat dengan mitos. Masyarakat setempat percaya bahwa sebelum proses pewarnaan dilakukan, mereka harus membuat ritual kecil agar proses pewarnaan berhasil dilakukan.
Proses pewarnaan gentongan harus dihentikan selama satu minggu bila ada warga desa yang meninggal. ”Dari mitos itu terlihat bagaimana hubungan sosial masyarakat Madura yang penuh dengan toleransi. Ketika ada tetangga yang meninggal, pembatik tidak egois menyelesaikan pekerjaannya meski diburu target pesanan. Mereka ikut serta membantu tetangga yang berdukacita,” kata Asjari.
Sempat meredup
Batik gentongan sempat tergerus zaman. Karena proses pengerjaannya yang panjang—selembar kain bisa selesai hingga 15 bulan—membuat perajin batik gentongan memilih membuat batik dengan warna kimia yang lebih cepat mendatangkan uang.
Namun, sekitar tahun 2000, saat batik menjadi tren lagi di negeri ini, batik gentongan kembali dicari orang. Pamor batik ini mulai naik ketika beberapa perajin yang masih setia membuat batik gentongan mengikuti berbagai kegiatan pameran di Jakarta.
Dari situ batik gentongan dicari nyonya-nyonya yang tinggal di rumah gedongan. Menurut Mahrufah, pada tahun 2000 harga satu lembar batik gentongan masih Rp 900.000 hingga Rp 1,5 juta. Sekarang harga batik gentongan bisa mencapai Rp 6 juta per lembar.
Batik dari Tanjungbumi ini mengisi ruang-ruang pameran di hotel berbintang lima, gedung pameran yang sewanya dipatok dollar, atau dipamerkan di komunitas masyarakat asing.
Oleh desainer Edward Hutabarat, yang memopulerkan kembali batik di kalangan anak muda, batik gentongan dibawa ke Jepang. Ia merancang beberapa baju dan kimono untuk kalangan atas di Jepang.
Bagaimana gentongan bisa menyiasati zaman? ”Butuh perubahan dan penyesuaian motif,” kata perancang yang akrab disapa Edo ini. Agar gentongan bisa go international, Edo tetap mempertahankan motif yang biasa digambar orang Madura, seperti sulur-suluran atau motif hewan. Hanya saja, ukuran motif diperkecil dan detail isian dikurangi karena pasar luar negeri kurang suka dengan motif yang terlalu ramai.
Bulan April lalu, Edo bersama produsen Attack Batik Cleaner mengunjungi sentra batik gentongan di Paseseh. Mereka juga berkunjung ke sentra pembuatan batik Madura lain di Pamekasan.
Batik gentongan punya keistimewaan pada warna yang semakin cemerlang bila semakin tua usia batiknya. Selain itu, ada 50 motif batik khas gentongan yang berkembang di Madura. ”Motif tadi menggambarkan karakter demografis, adat istiadat, dan tradisi,” kata Maemunah.
Di Desa Paseseh, Tarimah mewariskan keahlian membuat batik gentongan kepada anaknya, Mahrufah. Namun, kini Mahrufah resah karena hingga berusia 40 tahun lebih ia belum punya ahli waris yang menguasai teknik pewarnaan gentongan.
sumber: kompas
foto: batik gentongan
Melalui lorong tadi, Tarimah menuju ke bagian depan rumahnya yang berada di Desa Paseseh, Kabupaten Bangkalan, Madura. Di situ terdapat bilik kecil berukuran sekitar 2 meter x 1,5 meter persegi yang terbuat dari tripleks tanpa jendela. Begitu pintu dibuka, secercah cahaya menerangi ruangan.
Tarimah masuk ke dalam bilik lalu mulai mencelupkan kain yang dibawanya ke dalam sebuah gentong kecil terbuat dari batu kali. Gentong itu usianya sudah lebih dari 100 tahun, jauh lebih tua dari usia Tarimah sendiri. Menurut Mahrufah (35), anak Tarimah, gentong itu peninggalan nenek Tarimah.
Paseseh adalah salah satu desa di Kecamatan Tanjungbumi, Bangkalan. Sejak lama masyarakat Tanjungbumi secara turun temurun menjadi pembatik yang proses pewarnaannya menggunakan gentong batu.
Menurut Muhammad Saad Asjari, budayawan asal Bangkalan, gentong batu sudah digunakan masyarakat Tanjungbumi untuk proses pewarnaan batik sejak abad ke-17. Teknik pewarnaan dengan cara mencelupkan kain yang sudah diberi malam ke dalam gentong membuat batik Tanjungbumi dikenal dengan nama batik gentongan.
Selain Paseseh, ada dua desa lain yang sampai sekarang masih membuat batik gentongan, yaitu Tanjungbumi dan Bandangdaja. Di ketiga desa itu hanya tinggal beberapa orang yang menguasai teknik gentongan. Mereka sudah tua dan kemudian mewariskan keterampilannya kepada anak-anaknya.
”Biasanya yang bisa memberi pewarnaan dengan gentong ya hanya keturunan mereka saja. Jarang sekali keahlian itu diwariskan kepada orang di luar garis keturunannya,” kata Maemunah, perajin batik gentongan yang kini memiliki galeri batik Pesona Madura.
Kearifan
Dari serangkaian panjang pembuatan batik di Tanjungbumi, pewarnaan menggunakan gentong merupakan proses paling penting dan sulit. Diperlukan ketekunan, ketelitian, serta keahlian meramu bahan-bahan pewarna alami, seperti kulit mengkudu, kulit mundu, kulit buah jalawe, kayu jambal, kayu jirek, dan lain sebagainya.
Pewarnaan dengan gentongan memerlukan waktu panjang, yaitu minimal enam bulan untuk satu kain batik. Selama itu pula, seorang pembatik harus berulang kali mencelupkan kain batik ke dalam gentongan lalu mengangin-anginkan di pekarangan rumah.
Batik Tulis Gentongan Motif Kucing Merindu |
Proses pewarnaan gentongan harus dihentikan selama satu minggu bila ada warga desa yang meninggal. ”Dari mitos itu terlihat bagaimana hubungan sosial masyarakat Madura yang penuh dengan toleransi. Ketika ada tetangga yang meninggal, pembatik tidak egois menyelesaikan pekerjaannya meski diburu target pesanan. Mereka ikut serta membantu tetangga yang berdukacita,” kata Asjari.
Sempat meredup
Batik gentongan sempat tergerus zaman. Karena proses pengerjaannya yang panjang—selembar kain bisa selesai hingga 15 bulan—membuat perajin batik gentongan memilih membuat batik dengan warna kimia yang lebih cepat mendatangkan uang.
Namun, sekitar tahun 2000, saat batik menjadi tren lagi di negeri ini, batik gentongan kembali dicari orang. Pamor batik ini mulai naik ketika beberapa perajin yang masih setia membuat batik gentongan mengikuti berbagai kegiatan pameran di Jakarta.
Dari situ batik gentongan dicari nyonya-nyonya yang tinggal di rumah gedongan. Menurut Mahrufah, pada tahun 2000 harga satu lembar batik gentongan masih Rp 900.000 hingga Rp 1,5 juta. Sekarang harga batik gentongan bisa mencapai Rp 6 juta per lembar.
Batik dari Tanjungbumi ini mengisi ruang-ruang pameran di hotel berbintang lima, gedung pameran yang sewanya dipatok dollar, atau dipamerkan di komunitas masyarakat asing.
Oleh desainer Edward Hutabarat, yang memopulerkan kembali batik di kalangan anak muda, batik gentongan dibawa ke Jepang. Ia merancang beberapa baju dan kimono untuk kalangan atas di Jepang.
Bagaimana gentongan bisa menyiasati zaman? ”Butuh perubahan dan penyesuaian motif,” kata perancang yang akrab disapa Edo ini. Agar gentongan bisa go international, Edo tetap mempertahankan motif yang biasa digambar orang Madura, seperti sulur-suluran atau motif hewan. Hanya saja, ukuran motif diperkecil dan detail isian dikurangi karena pasar luar negeri kurang suka dengan motif yang terlalu ramai.
Bulan April lalu, Edo bersama produsen Attack Batik Cleaner mengunjungi sentra batik gentongan di Paseseh. Mereka juga berkunjung ke sentra pembuatan batik Madura lain di Pamekasan.
Batik gentongan punya keistimewaan pada warna yang semakin cemerlang bila semakin tua usia batiknya. Selain itu, ada 50 motif batik khas gentongan yang berkembang di Madura. ”Motif tadi menggambarkan karakter demografis, adat istiadat, dan tradisi,” kata Maemunah.
Di Desa Paseseh, Tarimah mewariskan keahlian membuat batik gentongan kepada anaknya, Mahrufah. Namun, kini Mahrufah resah karena hingga berusia 40 tahun lebih ia belum punya ahli waris yang menguasai teknik pewarnaan gentongan.
sumber: kompas
foto: batik gentongan
Langganan:
Postingan (Atom)