Sabtu, 04 Juni 2011

Batik Gentongan Menyiasati Zaman

Tarimah (70) membawa selembar kain batik yang sudah selesai diberi malam. Badannya yang bungkuk berjalan pelan-pelan menyusuri lorong kecil di samping rumahnya. Langkah kakinya terdengar berat menapak.

Melalui lorong tadi, Tarimah menuju ke bagian depan rumahnya yang berada di Desa Paseseh, Kabupaten Bangkalan, Madura. Di situ terdapat bilik kecil berukuran sekitar 2 meter x 1,5 meter persegi yang terbuat dari tripleks tanpa jendela. Begitu pintu dibuka, secercah cahaya menerangi ruangan.

Tarimah masuk ke dalam bilik lalu mulai mencelupkan kain yang dibawanya ke dalam sebuah gentong kecil terbuat dari batu kali. Gentong itu usianya sudah lebih dari 100 tahun, jauh lebih tua dari usia Tarimah sendiri. Menurut Mahrufah (35), anak Tarimah, gentong itu peninggalan nenek Tarimah.

Paseseh adalah salah satu desa di Kecamatan Tanjungbumi, Bangkalan. Sejak lama masyarakat Tanjungbumi secara turun temurun menjadi pembatik yang proses pewarnaannya menggunakan gentong batu.

Menurut Muhammad Saad Asjari, budayawan asal Bangkalan, gentong batu sudah digunakan masyarakat Tanjungbumi untuk proses pewarnaan batik sejak abad ke-17. Teknik pewarnaan dengan cara mencelupkan kain yang sudah diberi malam ke dalam gentong membuat batik Tanjungbumi dikenal dengan nama batik gentongan.

Selain Paseseh, ada dua desa lain yang sampai sekarang masih membuat batik gentongan, yaitu Tanjungbumi dan Bandangdaja. Di ketiga desa itu hanya tinggal beberapa orang yang menguasai teknik gentongan. Mereka sudah tua dan kemudian mewariskan keterampilannya kepada anak-anaknya.

”Biasanya yang bisa memberi pewarnaan dengan gentong ya hanya keturunan mereka saja. Jarang sekali keahlian itu diwariskan kepada orang di luar garis keturunannya,” kata Maemunah, perajin batik gentongan yang kini memiliki galeri batik Pesona Madura.

Kearifan


Dari serangkaian panjang pembuatan batik di Tanjungbumi, pewarnaan menggunakan gentong merupakan proses paling penting dan sulit. Diperlukan ketekunan, ketelitian, serta keahlian meramu bahan-bahan pewarna alami, seperti kulit mengkudu, kulit mundu, kulit buah jalawe, kayu jambal, kayu jirek, dan lain sebagainya.

Pewarnaan dengan gentongan memerlukan waktu panjang, yaitu minimal enam bulan untuk satu kain batik. Selama itu pula, seorang pembatik harus berulang kali mencelupkan kain batik ke dalam gentongan lalu mengangin-anginkan di pekarangan rumah.

Batik Tulis Gentongan Motif Kucing Merindu
Proses gentongan ini sarat dengan mitos. Masyarakat setempat percaya bahwa sebelum proses pewarnaan dilakukan, mereka harus membuat ritual kecil agar proses pewarnaan berhasil dilakukan.

Proses pewarnaan gentongan harus dihentikan selama satu minggu bila ada warga desa yang meninggal. ”Dari mitos itu terlihat bagaimana hubungan sosial masyarakat Madura yang penuh dengan toleransi. Ketika ada tetangga yang meninggal, pembatik tidak egois menyelesaikan pekerjaannya meski diburu target pesanan. Mereka ikut serta membantu tetangga yang berdukacita,” kata Asjari.

Sempat meredup 

Batik gentongan sempat tergerus zaman. Karena proses pengerjaannya yang panjang—selembar kain bisa selesai hingga 15 bulan—membuat perajin batik gentongan memilih membuat batik dengan warna kimia yang lebih cepat mendatangkan uang.

Namun, sekitar tahun 2000, saat batik menjadi tren lagi di negeri ini, batik gentongan kembali dicari orang. Pamor batik ini mulai naik ketika beberapa perajin yang masih setia membuat batik gentongan mengikuti berbagai kegiatan pameran di Jakarta.

Dari situ batik gentongan dicari nyonya-nyonya yang tinggal di rumah gedongan. Menurut Mahrufah, pada tahun 2000 harga satu lembar batik gentongan masih Rp 900.000 hingga Rp 1,5 juta. Sekarang harga batik gentongan bisa mencapai Rp 6 juta per lembar.

Batik dari Tanjungbumi ini mengisi ruang-ruang pameran di hotel berbintang lima, gedung pameran yang sewanya dipatok dollar, atau dipamerkan di komunitas masyarakat asing.

Oleh desainer Edward Hutabarat, yang memopulerkan kembali batik di kalangan anak muda, batik gentongan dibawa ke Jepang. Ia merancang beberapa baju dan kimono untuk kalangan atas di Jepang.

Bagaimana gentongan bisa menyiasati zaman? ”Butuh perubahan dan penyesuaian motif,” kata perancang yang akrab disapa Edo ini. Agar gentongan bisa go international, Edo tetap mempertahankan motif yang biasa digambar orang Madura, seperti sulur-suluran atau motif hewan. Hanya saja, ukuran motif diperkecil dan detail isian dikurangi karena pasar luar negeri kurang suka dengan motif yang terlalu ramai.

Bulan April lalu, Edo bersama produsen Attack Batik Cleaner mengunjungi sentra batik gentongan di Paseseh. Mereka juga berkunjung ke sentra pembuatan batik Madura lain di Pamekasan.

Batik gentongan punya keistimewaan pada warna yang semakin cemerlang bila semakin tua usia batiknya. Selain itu, ada 50 motif batik khas gentongan yang berkembang di Madura. ”Motif tadi menggambarkan karakter demografis, adat istiadat, dan tradisi,” kata Maemunah.

Di Desa Paseseh, Tarimah mewariskan keahlian membuat batik gentongan kepada anaknya, Mahrufah. Namun, kini Mahrufah resah karena hingga berusia 40 tahun lebih ia belum punya ahli waris yang menguasai teknik pewarnaan gentongan.

sumber: kompas
foto: batik gentongan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar