Kalau kita amati foto di samping ini, secara formal, acara tersebut adalah perlombaan. Bisa jadi lomba lari atau lomba jalan cepat. Adanya spanduk Start dan Finish, kibasan bendera start, adalah bukti bahwa ada yang sedang dilombakan.
Namun kalau kita amati sekali lagi bagaimana posisi, sikap berdiri, serta tingkat usia peserta, kita semua langsung faham bahwa de facto, itu bukanlah lomba. Acara itu hanyalah dolanan, seneng-senengan, fun, dan lain-lain yang tidak ada hubungannya dengan kompetisi.
Tapi meski tidak ada kompetisi ada hadiah yang diperebutkan lho. Bagaimana cara mendapatkan hadiah itu?
Ya tentu saja diundi. Namanya bisa beraneka ragam: Door prize (meski di lapangan itu tidak ada pintunya), hadiah kejutan, hadiah kaget (yang mendapatkan tentu saja kaget), dan sebagainya. Semuanya mengacu kepada satu muara, keberuntungan. Jadi hanya yang beruntung saja yang dapat hadiah, bukan yang berprestasi.
Jangan heran, acara-acara semacam inilah yang sekarang paling digandrungi warga negeri ini. Setiap ada peringatan besar yang melibatkan banyak orang, maka acara yang sifatnya dolanan pasti tidak luput dari agenda panitia. Berita mengenai Fun bike, lari santai, jalan santai, jalan bersama keluarga, badminton on the road yang melibatkan banyak menteri, pernah menghiasai hampir semua media massa Ibu Kota.
Tentu saja tidak ada yang aneh dengan kegiatan di atas. Tapi sebenarnya ada yang mengganjal dengan suburnya kegiatan fun semacam itu. Apakah masyarakat kita tidak suka dengan kompetisi? Mengapa hampir semua panitia acara besar menghindari kompetisi sebagai acara puncak? Mengapa hanya yang beruntung saja yang mendapatkan reward?
"Sekarang zaman sudah berubah. Dulu hubungan kerja karyawan dengan perusahaan adalah long-life employment: Asal karyawan rajin kerja dan tidak berpindah-pindah maka tiap tahun gajinya naik. Atau 'work long-long salary high-high'. Nasib karyawan tanggung jawab perusahaan. Sekarang sudah berubah menjadi long-life employ ability: Nasib karyawan tergantung diri sendiri. Kalau tidak bisa berprestasi ya pasti digusur dari perusahaan," kata James Gwee.
Kondisi ini terjadi karena di dunia nyata sifat kompetisi juga sudah berubah. "Dulu kompetisi low profit high, sekarang kompetisi high profit low. Jadi hanya yang punya kemampuan high saja yang bisa bertahan," tambah James Gwee.
Maka menjadi mengherankan ketika sifat kompetisi makin ketat kita malah menghindari kompetisi. Ketika di dunia realita seseorang dinilai dari prestasinya kita malah menilai seseorang dari keberuntungannya. Ketika mind set orang lain sudah berlari, mind set kita malah jalan santai...
Jadi jangan heran kalau prestasi olah raga kita pada Sea Games tahun ini jadi hancur-hancuran, hancur lebur. Pertama kali dalam sejarah Indonesia berada di peringkat paling buncit di antara 5 negara Asean Founder (Thailand, Singapura, Malaysia, Filipina, Indonesia).
"Apa hubungannya jalan santai dengan prestasi Sea Games?" tanya teman saya
"Mentalitas bangsa kita menghindari kompetisi. Padahal di dunia nyata kompetisi makin ketat. Maka inilah hasilnya...."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar