"Harusnya perusahaan-perusahaan itu tahu dong kalau listrik di Indonesia tidak stabil, suka byar pet. Harusnya mereka siap dengan gen set...."
"Kalau masalah infra struktur, itu tugas Pemerintah. Di negara mana pun di dunia ini, infra struktur adalah investasi dari Pemerintah. Tidak mungkin soal infra struktur diserahkan kepada pengusaha..."
Demikian cuplikan polemik sahabat saya di sebuah milis alumni. Dialog di atas tidak persis seperti itu tapi substansi polemiknya seperti itu.
Saya pribadi sangat setuju dengan pendapat yang kedua, bahwa infra struktur adalah tugas Pemerintah. Tidak mungkin pengusaha dibebani dengan pembangunan infra struktur (jalan, listrik, jaringan telepon, dll), emang berapa profit pengusaha. Hanya perusahaan-perusahaan pertambangan raksasa yang bisa membangun infra struktur sendiri karena skala dan profitnya yang memang sangat besar.
Minggu-minggu ini terus terang kami merasa 'terteror' dengan pengumuman Pemerintah bahwa kita harus siap-siap dengan pemadaman bergilir. Pagi-pagi sekali kami harus membereskan semuanya. Air harus di-stok lebih banyak dari biasanya. Dan ketika jarum jam mulai merangkak ke angka delapan, kami semua deg-degan: mati-nggak-mati-nggak, byar-pet byar-pet.
Dan ketika listrik tetap menyala, semua lega. Kami melanjutkan pekerjaan masing-masing. Tapi ketika listrik mati, maka karyawan yang kerjanya bergantung pada listrik terpaksa balik kanan, pulang ke rumah.
"Pernah nggak sih Pemerintah mikir berapa kerugian yang dialami pengusaha, bagaimana pengusaha menghadapi komplain pelanggan, dan bagaimana upah pegawai yang terpaksa pulang lagi karena tidak ada pekerjaan. Pernah nggak sih Pemerintah mikir kompensasi yang harus diberikan kepada ribuan pengusaha-pengusaha jujur yang tidak pernah korupsi?"
"Kamu jangan hanya protes gitu, dong. Pemerintah juga pusing dengan krisis listrik ini."
"Tapi yang sangat nggak masuk akal adalah anjuran kepada sektor produktif (industri) untuk mengurangi jam kerja. Logika ini aneh. Harusnya pas krisis gini sektor produktif kan harus digenjot abis supaya ekonomi cepat pulih. Yang pemakaiannya harus dikurangi seharusnya sektor konsumtif."
"Kongkritnya gimana? Punya solusi nggak untuk mengurangi sektor konsumtif? Kalau nggak punya solusi lebih baik kamu diam saja, jangan bisanya cuma marah-marah."
"Sederhana sekali. Undang semua pers, baik cetak maupun televisi untuk datang ke Istana. Tunjukkan pada dunia bahwa mulai sekarang AC di Istana diset 30-an derajat celcius. Memang udara jadi lebih panas tapi nggak apa-apa, kan kelembaban udaranya tetap terjaga. Jadi tetap tidak akan berkeringat.
Dan karena suhu lebih panas dari biasanya maka pakaian resmi berupa jas-jasan kurang pas dipakai. Jas itu sebenarnya kan lebih cocok buat negara yang punya 4 musim. Untuk Indonesia yang tropis, kelembaban udaranya tinggi, yang pas untuk pakaian resmi ya... BATIK, hehe...
Instruksikan kepada semua gedung-gedung milik Pemerintah untuk men-set ulang suhu AC, matikan lampu-lampu gedung-gedung milik Pemerintah pada siang hari. Pokoknya apa pun yang dibiayai dengan rakyat harus dikurangi.
Kalau action ini dilihat rakyat Indonesia, maka menjadi mudah meminta masyarakat menghemat listrik, karena pemimpin yang memulai. Jadi jangan berharap sektor konsumsif mau melakukan penghematan kalau pemimpinnya 'enak-enak' saja, tidak mau mengurangi fasilitasnya...
Salam Batik... :)
"Kalau masalah infra struktur, itu tugas Pemerintah. Di negara mana pun di dunia ini, infra struktur adalah investasi dari Pemerintah. Tidak mungkin soal infra struktur diserahkan kepada pengusaha..."
Demikian cuplikan polemik sahabat saya di sebuah milis alumni. Dialog di atas tidak persis seperti itu tapi substansi polemiknya seperti itu.
Saya pribadi sangat setuju dengan pendapat yang kedua, bahwa infra struktur adalah tugas Pemerintah. Tidak mungkin pengusaha dibebani dengan pembangunan infra struktur (jalan, listrik, jaringan telepon, dll), emang berapa profit pengusaha. Hanya perusahaan-perusahaan pertambangan raksasa yang bisa membangun infra struktur sendiri karena skala dan profitnya yang memang sangat besar.
Minggu-minggu ini terus terang kami merasa 'terteror' dengan pengumuman Pemerintah bahwa kita harus siap-siap dengan pemadaman bergilir. Pagi-pagi sekali kami harus membereskan semuanya. Air harus di-stok lebih banyak dari biasanya. Dan ketika jarum jam mulai merangkak ke angka delapan, kami semua deg-degan: mati-nggak-mati-nggak, byar-pet byar-pet.
Dan ketika listrik tetap menyala, semua lega. Kami melanjutkan pekerjaan masing-masing. Tapi ketika listrik mati, maka karyawan yang kerjanya bergantung pada listrik terpaksa balik kanan, pulang ke rumah.
"Pernah nggak sih Pemerintah mikir berapa kerugian yang dialami pengusaha, bagaimana pengusaha menghadapi komplain pelanggan, dan bagaimana upah pegawai yang terpaksa pulang lagi karena tidak ada pekerjaan. Pernah nggak sih Pemerintah mikir kompensasi yang harus diberikan kepada ribuan pengusaha-pengusaha jujur yang tidak pernah korupsi?"
"Kamu jangan hanya protes gitu, dong. Pemerintah juga pusing dengan krisis listrik ini."
"Tapi yang sangat nggak masuk akal adalah anjuran kepada sektor produktif (industri) untuk mengurangi jam kerja. Logika ini aneh. Harusnya pas krisis gini sektor produktif kan harus digenjot abis supaya ekonomi cepat pulih. Yang pemakaiannya harus dikurangi seharusnya sektor konsumtif."
"Kongkritnya gimana? Punya solusi nggak untuk mengurangi sektor konsumtif? Kalau nggak punya solusi lebih baik kamu diam saja, jangan bisanya cuma marah-marah."
"Sederhana sekali. Undang semua pers, baik cetak maupun televisi untuk datang ke Istana. Tunjukkan pada dunia bahwa mulai sekarang AC di Istana diset 30-an derajat celcius. Memang udara jadi lebih panas tapi nggak apa-apa, kan kelembaban udaranya tetap terjaga. Jadi tetap tidak akan berkeringat.
Dan karena suhu lebih panas dari biasanya maka pakaian resmi berupa jas-jasan kurang pas dipakai. Jas itu sebenarnya kan lebih cocok buat negara yang punya 4 musim. Untuk Indonesia yang tropis, kelembaban udaranya tinggi, yang pas untuk pakaian resmi ya... BATIK, hehe...
Instruksikan kepada semua gedung-gedung milik Pemerintah untuk men-set ulang suhu AC, matikan lampu-lampu gedung-gedung milik Pemerintah pada siang hari. Pokoknya apa pun yang dibiayai dengan rakyat harus dikurangi.
Kalau action ini dilihat rakyat Indonesia, maka menjadi mudah meminta masyarakat menghemat listrik, karena pemimpin yang memulai. Jadi jangan berharap sektor konsumsif mau melakukan penghematan kalau pemimpinnya 'enak-enak' saja, tidak mau mengurangi fasilitasnya...
Salam Batik... :)
Pakai power inverter aja kalau utk menayalakan lampu sih.
BalasHapusPower inverter ini merubah tegangan DC menjadi AC 220V.
Tegangan DC didapat dari accu mobil.
Produk bisa diliat di winstore.wordpress.com