Senin, 07 Juli 2008

Power of Pasrah

"Aku sekarang pokoknya pasrah banget. Aku merasakan betapa Gusti Allah itu mencintai saya. Kalau aku lagi mentok, nggak tahu harus ngapain, aku pasrah banget. E... biasanya kok pasti ada jalan dari Gusti Allah," cerita tetangga saya, Ny D, single parent, kepada istri saya pada suatu siang.

"Kayak kemarin itu pas aku mau nutup kiosku. Ada panitia pembangunan masjid datang, padahal daganganku lagi sepi, anakku sakit dan harus kubawa ke bidan. Akhirnya kupaksain ngisi kencleng. Aku yakin aja nggak mungkin Gusti Allah nggak bantu aku.

Eh, ketika di bidan bukannya aku harus mbayar tapi malah aku dikasih uang sama bidannya. Pas pulang ketemu kenalan. Nggak tahu kenapa kok dia ngasih anakku duit. Kalo dijumlah ternyata jumlahnya 10x lipat dari yang saya berikan ke kencleng," Ny D meneruskan ceritanya.

Siang itu lebih 30 menit dia cerita kepada istri saya. Padahal niat awal dia datang ke tempat saya sebenarnya cuma numpang lewat saja. Istri saya sendiri tidak tahu persis mengapa ibu ini kok cerita begitu banyak.

Kisah Ny D di atas hanyalah sekelumit kecil dari kisah-kisah dia yang sebenarnya cukup banyak. Dan hampir semua yang dialaminya banyak mengandung kejutan-kejutan (lebih tepatnya 'keajaiban') yang cukup susah dinalar dengan logika biasa.

Di kompleks perumahan saya mempunyai dua tetangga yang kisahnya mirip tapi outputnya sangat berbeda.

Ny D menjadi single parent karena sang suami sudah lebih dulu dipanggil Sang Pencipta. Anak mereka masih kecil-kecil. 'Kepergian' sang ayah cukup mendadak. Sore hari sang suami mengeluh tidak enak badan, dan Maghrib dia dipanggil menghadap-Nya.

Tulang punggung keluarga pun runtuh. Selama ini keluarga ini mendapatkan nafkah dari pekerjaan sang suami yang jadi karyawan teknis sebuah kontraktor. Tidak ada lagi gaji bulanan yang bisa dinikmati. Pesangon yang ada pun tidak mampu menopang kehidupan keluarga ini karena kantor tempat sang suami bekerja hanyalah kontraktor 'gurem'.

Guncangan 'gempa' kehidupan yang melanda Ny D dengan tiba-tiba memang membuatnya terjerembab. Masih beruntung karena Ny D langsung 'berdiri' lagi. 'Masih' beruntung lagi karena Ny D sejak dulu selalu menabur kebaikan di mana-mana. Tenaganya selalu ada kalau ada orang yang minta tolong. Dia cukup ringan langkah kalau diminta membantu orang lain. Tidak pernah terucap 'tidak' kalau pengurus RT/RW memintanya membuat konsumsi untuk kegiatan sosial.

Dan ketika roda kehidupan kembali berputar normal, Ny D sadar bahwa kini dia sendirian harus melanjutkan perjuangan demi sang anak yang kini 'dititipkan' Sang Pencipta kepadanya. Ketrampilan yang dimilikinya adalah membuat makanan. Beberapa orang menganjurkan dia membuka warung.

"Percaya nggak, saya disuruh membeli display second cuma Rp 50 ribu. Padahal barangnya masih bagus banget, kalau dijual 300 ribu pasti banyak yang mau," ceritanya kepada istri saya. Tidak sampai di situ saja, beberapa barang modal pun datang kepada Ny D seperti dikomando. Dan dalam waktu tidak begitu lama Ny D bisa melanjutkan hidupnya dengan wajar...

Kisah Ny I, tetangga saya juga, mirip dengan Ny D. Ny I menjadi orang tua tunggal setelah sang suami dipanggil Yang Kuasa secara mendadak. Kisah Ny I ini pernah saya tulis di sini dengan judul Blitz.

Bedanya, Ny I sangat sulit untuk bangkit. Diberi motivasi seperti apa pun tidak mempan. Bahkan ketika diberi modal untuk buka usaha, yang ada cuma takut rugi.

"Katanya anak yatim itu harus disantuni, tapi kok orang-orang kurang peduli ya," gerutunya merenungi nasibnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar