Setelah sekian lama batik ditinggalkan, menyebabkan pembuat batik banyak yang gulung tikar. Tidak melanjutkan usaha yang berciri budaya ini. Sangat sedikit yang serius dan tetap bertahan dengan ciri khas batiknya. Barangkali inilah yang menyebabkan ketika mode batik kembali digemari, jumlah pembuat batik tidak bertambah banyak dengan cepat karena memang tidak banyak yang bisa membuat batik.
Tulisan di Kompas.com hari ini cukup menarik:
-----------------------
Industri kerajinan batik tahun 2007 mencapai nilai produksi Rp 2,9 triliun dengan penyerapan tenaga kerja 792.300 orang untuk 48.300 unit usaha.
Hal itu dikatakan Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Kecil dan Menengah Fauzi Aziz yang membacakan sambutan Menteri Perindustrian Fahmi Idris saat membuka Pameran Batik di ruang Garuda, Departemen Perindustrian (Depperin), Jakarta, Senin (8/9).
"Memang ada kenaikan pertumbuhan industri batik dari tahun 2006 tapi hanya mencapai 5-10 persen saja, tak terlalu signifikan. Banyak daerah selain Yogya, Solo dan Pekalongan sekarang mulai bermunculan industri ini," tuturnya.
Fauzi mengatakan ada delapan provinsi yang menjadi wilayah utama penghasil batik yakni Jambi, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali."Saat ini telah tumbuh kegiatan usaha pembatikan di Sumatera Barat, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Papua. Ini yang terus kita dorong," katanya.
Mengenai pengaruh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) terhadap industri kerajinan batik, dikatakan Fauzi, memang dampaknya ada tetapi tidak terlalu signifikan. "Pengrajin batik itu kan memakai malam, bahan bakar minyak tanah itu yang lumayan memberatkan. Tetapi sejauh ini belum ada keluhan berarti dari mereka," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar