Ada pemandangan cukup menarik di depan sebuah SD yang terletak dekat dengan outlet kami.
Pagi itu banyak sekali siswa mengerumuni seorang pedagang. Saya tidak tahu persis apa yang dijual pedagang keliling itu karena saking banyaknya siswa SD yang mengerumuninya, sehingga sama sekali tidak kelihatan sosok sang pedagangnya.
Tapi lama kelamaan saya bisa menebak apa yang dijual sang pedagang keliling itu. Beberapa anak yang berhasil 'meloloskan' diri dari situasi suk-sukan terlihat membawa 'senapan'. Ada beberapa jenis 'senapan', mulai dari yang paling sederhana, yang cuma berbentuk silinder, sampai yang mirip dengan M-16 yang dilengkapi dengan 'peluncur' roket.
Dan tak lama kemudian halaman SD tersebut, juga tidak bisa dihindari halaman outlet kami, berubah menjadi medan 'pertempuran'. Puluhan anak dengan aneka jenis 'senapan' saling bertempur dengan menggunakan peluru khusus. Peluru itu berupa kertas koran basah yang dibentuk menjadi bulatan-bulatan sangat kecil, mirip peluru. Tapi jangan salah, meski cuma kertas basah padat, 'peluru' ini kalau mengenai kita pada jarak cukup dekat mampu membuat kulit kita perih dan memerah.
'Senapan' yang dijual sang pedagang dibuat dari bambu muda, dipotong-potong, dibentuk, dan hanya diikat dengan karet untuk menjadikannya mirip dengan senapan otomatis. Karena segmennya adalah anak-anak sekolah maka harganya juga disesuaikan dengan pangsa pasarnya. Untuk senapan sederhana cukup dengan Rp 1000 seorang anak sudah bisa memilikinya. Sedangkan senapan seperti pada foto di atas harganya Rp 2000. Sangat murah kalau dibandingkan dengan kreativitas yang dibutuhkan untuk bisa membuatnya.
Ketika bel sekolah berbunyi, dan anak-anak masuk ke kelas masing-masing, sang pedagang pun mulai membereskan barang dagangannya. Di sinilah saya benar-benar heran dengan apa yang dilakukan sang pedagang.
Padahal para pedagang lain yang juga menggelar di depan SD itu tidak ada satu pun yang memberesi barang-barangnya. Mereka menunggu saat istirahat nanti, karena saat istirahat adalah saat di mana rezeki akan mendatangi mereka. Saya sangat yakin kalau pedagang senapan itu masih membuka lapaknya, pada saat istirahat nanti pasti banyak anak yang masih ingin membeli senapannya.
Ketika saya mengemukakan keheranan ini, rupanya istri saya yang saat itu kebetulan juga ada di outlet, penasaran juga.
"Saya nggak enak dengan yang lain bu," jawab sang pedagang senapan ketika ditanya istri saya mengapa membongkar dagangannya.
"Saya lihat (pedagang) yang lain jadi sepi dengan adanya saya," tambahnya.
Kaget. Saya tidak menyangka dengan jawaban ini. Jawaban sederhana. Tapi di balik kesederhanaan jawaban ini terkandung ketinggian akhlak yang bagi saya menakjubkan. Sebuah sikap yang mengedepankan harmoni, keserasian, kerukunan, dan rahmat lahir dari sosok yang (mungkin) kita anggap sederhana. Sebuah sikap yang bisa diperas menjadi dua kata saja: tepo seliro, sebuah istilah dalam bahasa jawa yang artinya kurang lebih mengedepankan harmoni, keserasian, kerukunan, dan rahmat.
"Dari sini terus pulang?"
"Tidak bu, saya akan ke sekolah lain. Kalau dagangan saya rame, maka saya juga sebentar saja di tempat itu. Kasihan yang lain."
Hari itu saya dapat pelajaran sangat berharga. Sebuah ilmu yang lahir dari realitas hidup.
hmm
BalasHapushebat ya pedagang tersebut
berjiwa besar walaupun dagangannya kecil
Salut